Senin, 27 Desember 2010

~ SALAH KAPRAH MEMAHAMI SUNNATULLAH SEBAGAI ‘CARA KERJA’ ALLAH ~

Saya sangat mengapresiasi saran sejumlah kawan yang menginginkan perubahan pada istilah SALAH KAPRAH dalam tema diskusi kita kali ini. Tetapi, setelah saya pertimbangkan, saya merasa belum waktunya. Saya ingin menuntaskan dulu sejumlah pokok bahasan ‘Salah Kaprah’ sampai ‘titik’. Atau, setidak-tidaknya ‘titik koma’.

Saya sangat menyadari pemakaian istilah SALAH KAPRAH ini bisa disalah-kaprahi pula sebagai klaim kebenaran. Seakan-akan saya merasa benar sendiri. Dan menyalahkan kawan-kawan lain yang berbeda pendapat dengan saya. Tetapi, bukankah sudah saya jelaskan pada serial salah kaprah ke-10 tentang DISKUSI TASAWUF MODERN bahwa istilah ini sekedar dimaksudkan untuk membuka ‘ruang diskusi’ diantara kita selebar-lebarnya. Bukankah semakin ‘berbeda di awal’, diskusinya semakin gayeng?

Kalau, belum apa-apa, saya sudah mengambil ‘jarak’ yang ‘terlalu dekat’ dengan Anda semua, maka ‘ruang diskusi’ diantara kita akan menjadi demikian sempit. Tidak ada lagi dinamika dan dialektika yang menyebabkan kita ingin beradu argumentasi, dan memperjuangkan pendapat. Karena pendapat saya dan Anda ternyata sudah hampir sama sejak awal. Atau bahkan sudah tidak ada bedanya… :(

Bukankah, disini kita sedang belajar dan menuntut ilmu bareng-bareng? Dan, koridornya sudah kita sepakati adalah mengikuti QS. 16: 125. Yakni, bil hikmah’ (dengan substansi yang mendalam), mau’idhatul hasanah (sistematika pembelajaran yang baik), dan ’jadilhum billati hiya ahsan’ (berdiskusilah dengan lebih baik)…

Maka, ayolah kita hilangkan prasangka buruk. Supaya saya tidak perlu mengulang-ulang klarifikasi, bahwa pendapat yang saya sampaikan ini bukanlah ’kebenaran mutlak’ dalam memahami Islam. Tetapi ini adalah sekedar ’presentasi’ materi keislaman dalam sudut pandang ’saya’. Silakan Anda berbeda pendapat, atau bahkan menolak sama sekali. Tidak akan menjadi masalah. Saya bukan guru Anda, dan Anda pun bukan murid saya. Atau sebaliknya. Kita sekedar bersahabat untuk sama-sama mencari ’jalan pulang’, kepada Yang Terkasih, Ilahi Rabbi. Marilah kita belajar dewasa dalam hal ini. Supaya umat Islam juga segera dewasa. Dan ini kelak akan sangat bermanfaat buat perkembangan peradaban Islam ke depan.

Perbedaan diantara kita sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, ini adalah Sunnatullah. Hukum Allah, yang dikenal pula sebagai ’hukum alam’ oleh orang-orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Ya mereka menamakannya sebagai The Law of Nature, sedangkan kita menyebutnya sebagai The Law of God. Meskipun, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka menggunakan hukum Allah, yang terbentang sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ya, memang, sunnatullah bekerja tidak hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua makhluk-Nya di alam semesta.

Gravitasi Bumi adalah hukum alam, Kekekalan Energi adalah hukum alam, Elektromagnetik, Nuklir, ekosistem, sosial-politik, budaya, ekonomi, dan semua hukum di sekitar kita adalah hukum alam. Yang sekaligus hukum Tuhan. Semua berada di dalam Grand Law, yang bekerja berdasar hukum keseimbangan. Karena, ternyata alam semesta ini diciptakan oleh-Nya dengan menggunakan sistem keseimbangan dinamis.

Jika alam sekitar mengalami ketidak-seimbangan, ia akan dengan sendirinya ’mencari jalan’ untuk menyeimbangkan diri lagi. Gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, tsunami, angin badai, perampokan, pencurian, pembunuhan, penyakit, demonstrasi, bangkrutnya rezim ekonomi dan politik, dan semua peristiwa di sekitar kita, tak lebih adalah sebuah mekanisme keseimbangan dinamis itu. Sunnatullah, yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.

QS. Ar Rahman (55): 7
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Infithaar (82): 7
Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,

Ya, seluruh alam semesta bekerja menurut hukum keseimbangan itu. Barang siapa menabrak keseimbangan sistem maka ia bakal ‘terpelanting’ seiring dengan besarnya usaha yang dia lakukan. Dan barangsiapa ’menyatu’ dalam keseimbangan alam semesta, maka ia akan memperoleh ’harmoni’ yang besarnya berlipat kali dibandingkan usaha yang dia lakukan. Dalam istilah al Qur’an: siapa berbuat jahat akan kembali kepada dirinya, dan siapa berbuat baik juga akan kembali kepada dirinya. Itulah Sunnatullah. Dan sunnatullah tidak akan berubah sampai hancurnya alam semesta.

QS. Al Qashash (28): 84
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.

QS. Al Mukmin (40): 40
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat (menabrak keseimbangan), maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan (harmoni dalam keseimbangan) laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa perhitungan lagi.

QS. Al Fath (48): 23
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu kala, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Maka, agaknya kita perlu menyetel mind set alias pola pikir kita kembali tentang cara kerja alam, alias cara kerja Allah ini. Hukum alam tidak berubah sampai akhir zaman. Dengan hukum yang stabil inilah manusia bisa memahami mekanisme kerja alam, sekaligus Sang Pencipta.

Bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Bagaimana Allah menciptakan manusia. Bagaimana Allah menciptakan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan benda-benda seluruhnya. Bagaimana Allah menciptakan seluruh peristiwa kehidupan. Bagaimana pula Allah memelihara dan menjalankan keseimbangan antara semua komponen di dalamnya.  Lantas, bagaimana kelak akan menghancurkan serta melenyapkannya kembali.

Kadang-kadang ada diantara kita yang berpikir bahwa manusia telah mengintervensi sunnatullah? Atau, bahkan ada yang berpendapat bahwa sesuatu bisa terjadi di luar sunnatullah. Sesungguhnya, tidak ada satu pun kejadian bisa terjadi di luar sunnatullah. Selama peristiwa itu terjadi di dalam alam semesta, ia pasti berjalan mengikuti sunnatullah.

Apakah benda yang jatuh ke atas, misalnya, adalah sunnatullah? Tentu saja. Karena, ia menghasilkan gaya ’anti-gavitasi’. Apakah, laut terbelah adalah sunnatullah? Tentu saja, karena terjadi Tsunami misalnya. Apakah seseorang yang tak mempan dibakar itu juga sunnatullah? Tentu saja, karena tubuh manusia bisa menghasilkan ’jaket elektromagnetik’ yang bisa melindungi tubuhnya dari energi panasnya api. Apakah bayi tabung, kloning, stem sel, transplantasi organ, dan rekayasa genetika itu adalah sunnatullah? Tentu saja, karena mereka sama sekali tidak menciptakan apa pun, melainkan sekedar ’memanfaatkan’ cara kerja alam. Yakni, cara kerja Allah.

Kalau ada seorang pasien gagal ginjal, kemudian dicangkokkan ginjal orang lain kepadanya, maka itu sama sekali tidak bekerja di luar sunnatullah. Karena, dia cuma memanfaatkan mekanisme kerja jaringan di dalam tubuh manusia. Kalau ada sepasang suami isteri memutuskan ikut program bayi tabung, dan lantas dokternya mempertemukan sel telur dan spermanya di luar rahim, untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim si isteri, itu sama sekali bukan berarti dokternya menciptakan bayi dan menyaingi Tuhan. Dia tetap saja bekerja berdasar sunnatullah, yakni hukum biologi ’bab reproduksi’.

Bahkan, jika seorang ahli biomolekuler berhasil ’menciptakan manusia’ lewat teknologi kloning pun bukan berarti ia telah bekerja di luar sunnatullah. Dan lantas menjadi pesaing Allah. Karena sebenarnya, dia cuma memanfaatkan sunnatullah belaka. Karena, jika ia tidak memahami cara kerja Allah dalam rekayasa genetika itu, ia tidak akan berhasil melakukan kloning..! Walhasil, tidak ada satu peristiwa pun di alam semesta ini yang bisa keluar dari sunnatullah. Semuanya berada di dalam kendali Allah. Dan berjalan atas izin-Nya.

Orang yang berbuat jahat melakukan kejahatannya lewat sunnatullah. Sebaliknya, orang yang berbuat baik melakukan kebaikannya juga di dalam sunnatullah. Lantas, apakah itu berarti Allah mengizinkan orang berbuat jahat? Tentu saja. Kalau tidak diizinkan, pasti dia tidak bisa berbuat jahat. Tetapi, ingat, diizinkan bukan berarti diridhai-Nya. Siapa saja berbuat jahat, maka ia akan memperoleh balasan kejahatan. Dan siapa saja berbuat baik, akan memperoleh balasan atas kebaikannya. Semua tetap bekerja di dalam sunnatullah.

Apakah orang mencuri diizinkan Allah? Tentu saja. Jika tidak diizinkan, ia pasti tidak bisa mencuri. Tetapi, dari perbuatan jahatnya itu ia bakal menuai konsekuensi dari sunnatullah yang bekerja. Jadi begitulah, iblis bekerja berdasar sunnatullah. Sebagai aktor kejahatan, iblis telah diizinkan Allah untuk merayu manusia berbuat kejahatan. Tetapi ingat, sunnatullah akan bekerja untuk memberikan balasan yang setimpal kepadanya. Kapan? Bisa hari ini. Bisa besok. Bisa tahun depan. Bisa ketika kematian datang menjemputnya. Atau, kelak di alam akhirat sebagai balasan yang berlipat ganda besarnya.

Semakin lama tertunda balasannya, semakin besar konsekuensinya. Perhatikanlah ketika sekelompok masyarakat merusak hutan. Sesaat setelah hutan ditebangi, alam akan membalasnya dengan suhu udara yang kering dan panas. Jika ini tidak segera diatasi, misalnya dengan menanami kembali, maka tahun depan balasannya akan lebih besar. Mungkin akan terjadi kekeringan di daerah itu. Jika tidak diatasi lagi, maka tahun depannya akan terjadi tanah longsor. Kemudian waktu berikunya lagi banjir bandang, dan seterusnya dan seterusnya, semakin lama semakin besar. Orang yang berbuat dosa, dan tidak segera bertaubat kepada Allah, maka ia sedang menyiapkan balasan yang lebih besar di masa depannya..!

Maka, sungguh manusia bebas berbuat apa saja. Setiap diri akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Barangsiapa memahami sunnatullah dengan sempurna, dan mengikuti cara kerjanya, insya Allah dia bakal selamat di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa tidak belajar memahami sunnatullah, dan kemudian menabrak mekanisme keseimbangannya, maka sungguh ia sedang menyiapkan penderitaan yang akan menyengsarakannya ...!

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...

 aGUS MUSTOFA
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

Selasa, 21 Desember 2010

~ KONTROVERSI SEPUTAR ‘NABI ISA’ ~

Keberadaan Nabiullah Isa menjadi sumber salah kaprah selama ribuan tahun. Bukan saja di kalangan non muslim di zaman sebelum Nabi Muhammad lahir, melainkan juga di kalangan umat Islam setelah Rasulullah SAW wafat.

Ada 3 salah kaprah yang meliputi cerita Nabi Isa, yakni: kelahirannya, mukjizatnya, dan kematiannya. Semuanya menimbulkan salah persepsi, sehingga Allah meluruskan lewat rasul sesudahnya, termaktub dalam kitab Al Qur’an al Karim.

Salah kaprah yang pertama, tentang kelahiran Nabi Isa. Kelahirannya yang tanpa bapak, membuat sejumlah umatnya menganggap beliau sebagai anak Tuhan. Bukan hanya dalam arti ’simbolis’, melainkan benar-benar dalam arti ’biologis’. Sehingga Allah pun berkali-kali 'meng-counter’ persepsi itu, dalam berbagai firman-Nya.

QS. Ali Imran (3): 47
Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah cuma berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia.

Ya, hanya karena terlahir tanpa bapak, lantas banyak yang mengatakan ia adalah anak Tuhan. Kata Allah, itu berlebihan. Meskipun, tampak sebagai sesuatu ’keajaiban’, tidaklah cukup sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa Isa adalah anak Tuhan. Karena, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini milik Allah belaka. Dalam istilah al Qur’an, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia cukup mengatakan ’kun’ maka jadilah segala sesuatu itu. Termasuk Isa.

QS. Yunus (10): 68
Mereka berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya belaka apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah (argumentasi yang kuat) tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?

Dalam sudut pandang ilmiah, ’keajaiban’ lahirnya seorang bayi tanpa bapak itu kini sudah bisa dijelaskan lewat teori parthenogenesis. Yakni, terjadinya kehamilan tanpa pembuahan. Hal ini bisa terjadi secara alamiah, ketika sel telur seorang calon ibu terstimulasi sehingga membelah dengan sendirinya. Padahal, biasanya sebuah sel baru akan membelah ketika sudah dibuahi. Dalam sejarah manusia, kelahiran secara parthenogenesis ini ternyata bukan hanya terjadi pada Maryam. Melainkan juga pada sejumlah wanita di zaman modern.

Dan di abad ini, bahkan stimulasi itu sudah bisa dilakukan oleh para ahli biomolekuler dengan menggunakan kejutan listrik. Ini sudah biasa dilakukan dalam teknologi kloning ataupun pembuatan stem sel. Bahwa, sebuah sel ternyata bisa disengaja untuk membelah, tanpa harus lewat pembuahan. Dan jika sel yang membelah ini dimasukkan ke dalam rahim seorang perempuan, maka sel tersebut akan tumbuh menjadi janin. Dan kelak akan lahir menjadi bayi tanpa bapak.

Yang begini ini, sekarang bukan lagi keajaiban di dunia biomolekuler. Melainkan salah satu standard operating procedure (SOP) untuk menghasilkan ’manusia buatan’ lewat kloning. Atau ’sel induk buatan’ lewat parthenogenesis. Dalam istilah Al Qur’an, Allah cukup mengucapkan ’kun’ maka jadilah makhluk ciptaan-Nya, dengan mengikuti sunatullah yang sudah ditetapkan-Nya sejak awal penciptaan alam semesta. Kenapa dulu dianggap ajaib? Sebenarnya, hanya karena belum ada yang bisa menjelaskan saja... :)

Maka, ringkas kata, kelahiran Isa yang tanpa bapak itu adalah hal yang biasa-biasa saja dalam sudut pandang ilmu biomolekuler. Apalagi dalam sudut pandang Allah Yang Maha Berilmu. Karena itu, Allah meluruskan pendapat yang ’hanya karena proses seperti itu’ lantas ada yang menyebut Isa sebagai anak Tuhan. Sebuah kesalahkaprahan yang dilarang oleh Allah.

Sebagai catatan, kelahiran Isa tanpa bapak itu bukan kloning. Karena jika kloning, Isa akan menjadi duplikat 100% dari ibunya, Maryam. Artinya, Isa akan terlahir sebagai perempuan. Karena kloning adalah ibarat ’fotokopi manusia’. Kelahiran itu juga bukan karena Maryam Hermaphrodite yang berorgan reproduksi ganda.

Penjelasan yang lebih baik dan bisa diterima secara ilmiah adalah, Isa terlahir secara parthenogenesis, yakni kehamilan tanpa pembuahan. Dimana sel telur ibunya terbelah oleh stimulasi kejutan listrik di dalam dirinya sendiri. Dalam catatan sejarah parthenogenesis, keturunan yang lahir lewat cara ini tidak akan bisa memiliki keturunan lagi disebabkan adanya kelainan chromosom di dalam sel-sel reproduksinya. Karena itu, Nabi Isa sudah diwafatkan Allah ketika beliau masih bujang...

Salah kaprah yang kedua adalah menyikapi mukjizat yang dibawanya. Memang, mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa luar biasa hebatnya. Terutama dalam dunia kedokteran. Karena beliau bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit, yang waktu itu tidak tersembuhkan. Bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah mati untuk bersaksi. Dan juga, bisa mencipta burung dari tanah liat yang dibentuk.

Sebagian kemampuannya itu, kini mulai bisa dijelaskan lewat perkembangan ilmu biomolekuler yang semakin terbuka. Ternyata, sebagian besar penyakit itu bersumber dari perintah genetika yang malfunction. Maka, jika kelainan genetika itu bisa diperbaiki, penyakit apa pun yang diderita seseorang bakal sembuh dengan sendirinya dari dalam.

Yang begini ini, sekarang sedang menjadi ladang garapan para ahli biomolekuler: mengutak-atik DNA di dalam inti sel untuk merekaya fungsi genetikanya. Ilmunya disebut sebagai rekayasa genetika. Kelak, berbagai cacat bawaan, seperti orang buta sejak lahir pun, insya Allah akan bisa disembuhkan dengan cara rekayasa genetika ini. Atau dengan menggunakan stem sel. Saya telah membahas hal ini dalam buku serial 22: Heboh Spare-Part Manusia.

Yang belum bisa dijelaskan dengan baik adalah tentang bangkitnya seseorang yang sudah mati. Bagaimana orang yang sudah mati lantas bangkit dan berbicara di depan orang banyak, dan kemudian setelah kesaksiannya ia mati kembali. Akan tetapi, fenomena tentang ’mati suri’ mungkin bisa sedikit mengungkapkan mekanisme hidupnya seseorang yang sudah mati itu. Bahwa, ternyata nyawa yang telah berpindah ke alam jiwa itu bisa kembali lagi masuk ke dalam raga si jenazah, untuk beberapa lama.

Ke masa depan, sangat boleh jadi, mekanisme seperti ini bisa direkayasa. Tentu saja dengan memanfaatkan Sunnatullah. Semua adalah ilmu Allah, yang barangkali sekarang belum terbuka saja. Karena sesungguhnya peristiwa demikian sudah berulangkali diceritakan Allah di dalam al Qur’an. Misalnya, tentang Ashabul Kahfi yang ’ditidurkan’ Allah selama 300 tahun, QS. 18: 25. Atau, seorang ahli ibadah yang dimatikan 100 tahun, kemudian dihidupkan kembali, QS. 2:259. Atau, kejadian serupa di zaman nabi Musa, QS. 2:73. Jadi, apa yang terjadi pada nabi Isa sebenarnya bukanlah satu-satunya keajaiban.

Salah kaprah yang ketiga, adalah tentang kematian beliau. Banyak diantara kita yang masih percaya bahwa nabi Isa belum wafat. Hanya ’diangkat seutuhnya' oleh Allah ke langit. Dan kelak akan diturunkan lagi sebagai juru selamat dunia. Alias Imam Mahdi. Ini juga sebuah kesalah-kaprahan yang diluruskan oleh Al Qur’an. Karena sesungguhnya ’juru selamat’ akhir zaman ini bukan nabi Isa, melainkan Nabi Muhammad. Beliaulah Nabi Akhir zaman, yang tidak ada lagi Nabi sesudah beliau.

QS. Ash Shaff (61): 6
Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".

QS. Al Ahzab (33): 40
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kalau pun al Qur’an menyebut ada utusan kepada setiap umat manusia, maka itu sudah ditutup dengan hadirnya Nabi Muhammad yang disebut Allah sebagai Nabi penutup. Dunia informatika yang sedemikian canggih ini sudah cukup menjadi media yang menyatukan seluruh permukaan bumi sebagai ’desa kecil’ belaka yang menghubungkan antar benua di dalam laptop di hadapan kita.

Jadi kini, semua adalah umat yang satu, di bawah ’juru selamat’ bernama Muhammad. Yang Kitabnya juga berlaku universal untuk kehidupan akhir zaman. Bagi siapa pun, bangsa apa pun, dan dimana pun kita berada. Tak ada lagi Nabi sesudahnya. Termasuk Nabi Isa yang diisukan akan turun lagi ke dunia untuk melawan Dajjal alias kekuatan perusak akhir zaman. Nabi Isa telah wafat di usia muda, dengan cara yang tidak diketahui. Yang jelas, bukan berada di tiang salib para penguasa Romawi waktu itu.

QS. An Nisaa’ (4): 157
dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, `Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan `Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang `Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah `Isa.

QS. Ali Imran (3): 55
(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai `Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat (derajat)-mu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".

QS. An Nisaa’ (4): 159
Tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (`Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari Kiamat (Akhirat) nanti `Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka (sebagaimana nabi-nabi lainnya menjadi saksi bagi umatnya).

QS. Maryam (19): 33
Dan semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadaku (Isa), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".

Maka, Nabi Isa adalah manusia biasa yang terlahir di muka bumi dengan cara yang berbeda dengan kebanyakan kita. Allah mengangkatnya sebagai hamba dan rasul bagi bani Israil. Dan menjadikannya sebagai bukti Kekuasaan Allah yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak atas segala ciptaan-Nya...

QS. Az Zukhruf (43): 59
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.

 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

Senin, 20 Desember 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘KURSI ALLAH’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Salah satu pelajaran Tauhid yang sering kita salah-pahami adalah tentang ‘Kursi Alllah’. Seorang jamaah umroh pernah saya tanya tentang persepsinya terhadap Allah, saat dia menjalankan shalat ‘menghadap’-Nya. ‘’Apakah yang terbayang di dalam benak Anda tentang Allah, ketika Anda shalat?’’ Dia menjawab: ’’Allah berada di depan saya, sedang duduk di atas Singgasana-Nya...’’.

Tentu saja ini salah kaprah. Sehingga saya perlu mengajaknya diskusi cukup lama untuk menjelaskan berbagai statement al Qur’an yang bisa menjebak persepsi kita dalam memahami-Nya. Masalahnya, memang, Allah memperkenalkan Diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan menggunakan bahasa personifikasi manusia.

Ketika Allah mengatakan, Dia Maha Melihat maka otomatis tebersit di benak kita Allah memiliki mata. Ketika Allah mengatakan, Dia Maha Mendengar, otomatis pula kita mempersepsi Allah punya telinga. Demikian pula ketika Allah mengatakan menggulung langit dengan tangan-Nya, berkata-kata, dan bersemayam di atas singgasana, maka kita langsung saja membayangkan Allah punya tangan, mulut, dan sosok yang duduk di atas kursi.

Kenapa bisa demikian? Padahal, kita semua sudah tahu jawabannya, bahwa persepsi kita itu adalah sebuah kekeliruan massal, alias salah kaprah. Karena, kosa kata yang digunakan Allah untuk memperkenalkan Diri-Nya itu adalah kosa kata yang sudah sehari-hari kita gunakan untuk menjelaskan aktifitas manusia. Sehingga memorinya sudah telanjur berada di dalam otak kita. Bahwa melihat ituya dengan mata, mendengar itu ya dengan telinga, memegang itu ya dengan tangan, dst.

Maka, untuk mengurangi efek mis-persepsi itu kita lantas mengatakan begini: Dia melihat dengan penglihatan yang bukan seperti penglihatan kita, Dia mendengar dengan pendengaran yang ’bukan’ seperti pendengaran kita, Dia menggunakan tangan yang ’bukan’ seperti tangan kita, Dia duduk di atas kursi yang ’bukan’ seperti kursi kita, dan seterusnya.

Tetapi, tetap saja persepsi di benak kita tidak beranjak jauh dari persepsi semula. Kenapa? Karena kita hanya menambahkan kata ’bukan’ di depan kata ’tangan’. Maka yang yang terbayang ya tetap saja tangan. Atau, kata ’bukan’ di depan kata ’kursi’, ya tetap saja yang terbayang adalah ’kursi’, meskipun dengan ’bentuk’ yang lain... :)

Ya, itulah masalahnya: bahasa personifikasi. Kita telanjur mengenal istilah tersebut untuk menjelaskan sifat-sifat-Nya yang sebenarnya tidak bisa terwadahi oleh istilah apa pun. Dalam bahasa apa pun. Setiap kali kita menggunakan bahasa untuk mendefinisikan sifat-Nya, setiap itu pula kita telah membatasi ’kemutlakan-Nya’. Bagaimana mungkin ’Sesuatu’ yang tidak terbatas, diceritakan dengan istilah atau definisi yang terbatas? Apalagi, makna kata ’definisi’ adalah ’batasan’. Allah adalah Dzat yang tidak bisa didefinisikan..! Karena itu Dia mengatakan diri-Nya sebagai laisa kamitslihi syai-un ~ tidak seperti apa pun yang kita persepsikan,setelah menjelaskan tentang sifat-sifat-Nya.

Kita definisikan sebagai ‘ketiadaan’, salah. Kita definisikan sebagai ‘beradaan’, juga belum benar. Kita definisikan secara scientific sebagai ‘singularitas’, keliru. Kita definisikan sebagai ‘non singularitas’, ya belum betul. Bahkan kita definisikan sebagai ‘tidak bisa dijelaskan’ pun tidak pas. Karena, sebenarnya Dia bisa dijelaskan, meskipun penjelasan itu belum mewakili ’seluruhnya’. Bahkan, istilah ‘mutlak’ juga belum bisa mewakili-Nya. Karena dia sekaligus ’Tidak Mutlak’. Dia adalah Dzat yang meliputi segala kontradiksi.

Lantas, untuk apa kita menjelaskan eksistensi Allah, kalau seluruh bahasa sudah tidak bisa mewadahi-Nya. Bukankah semua yang kita lakukan adalah sebuah kekeliruan semata, dan hasilnya selalu ’bukan itu’? Kalau kita tidak berusaha menjelaskannya, kita malah semakin keliru. Disebabkan ketidak-mengertian. Adalah lebih baik kita ’mengerti’, daripada tidak mengerti. Meskipun, dalam ’mengerti’ itu ada grade-nya: mulai dari ’tidak mengerti’, ’agak mengerti’, ’semakin mengerti’,  dan ’paling mengerti’. Tetapi tidak pernah ”sudah mengerti’.

Lantas, bagaimana cara kita mengenal Allah? Tentu saja, sangat banyak caranya, sebanyak kepala manusia yang ada di muka bumi. Setiap kita pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan orang lain. Sebagai misal, meskipun Anda sedang sama-sama membaca tulisan saya ini, saya jamin setiap Anda memiliki persepsi yang berbeda tentangnya. Tidak apa-apa. Sangat manusiawi...

Dalam hal persepsi, yang harus kita lakukan adalah membuka peluang untuk memperoleh persepsi seluas-luasnya. Sehingga tercapai kesimpulan yang semakin utuh alias holistik, dalam sudut pandang selebar-lebarnya. Untuk itu, kita mesti menggali ayat-ayat Qur’an sebanyak-banyaknya, dan di-cross-check dengan data yang sevalid-validnya sebagai bukti ayat-ayat Kauniyah yang dihamparkan-Nya di sekitar kita. Termasuk yang ada pada diri kita sendiri. Bukankah kata Al Qur’an, kita bisa memahami eksistensi Allah dengan cara mengenal alam sekitar dan diri sendiri?

QS. Adz Daariyaat (51):20- 21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi orang-orang yangyakin, dan (juga) pada dirimu sendiriMaka apakah kamu tiadamemperhatikan?

Maka, jangan hanya mendefinsikan dengan satu-dua kata tentang eksistensi-Nya. Melainkan, ’definisikanlah’ dengan jutaan kata, atau syukur-syukur dengan ungkapan yang tiada berhingga. Karena, kita memang tidak akan pernah bisa mendefinisikan dengan sebenarnya, kecuali hanya mendekati. Yang bisa kita lakukan memang cuma menggeser batas definisi yang kita gunakan agar ’lebih memahami’-Nya.

Ada ribuan ayat yang bercerita tentang Allah di dalam Al Qur’an. Mulai dari yang bersifat definisi sampai perintah untuk melakukan investigasi. Semua itu mesti disusun dalam sebuah ’gambar’ besar tentang-Nya. Meskipun ’gambar’ yang kita peroleh tentang-Nya itu belum benar, tapi lumayanlah untuk modal dasar bagi upaya kita mendekatkan diri kepada-Nya, dari waktu ke waktu sampai ajal menjemput kita. Sampai datangnya hari Akhirat yang berdimensi lebih tinggi, dimana kita akan bisa memahami Allah dengan jauh lebih baik dari pada sekarang. Meskipun, tetap saja kita tidak akan pernah bisa memahami-Nya dalam arti yang sesungguhnya.

Ada beberapa ayat yang seringkali saya gunakan untuk mendasari pemahaman Tauhid, diantaranya adalah berikut ini.

1. Bahwa Allah demikian Besar-nya, sehingga Dzat-Nya meliputi seluruh langit dan Bumi. Jadi segala sesuatu yang berada di dalam alam semesta, dengan sendirinya berada di dalam Diri-Nya. Tetapi tidak sama dengan Diri-Nya. ’Larut’ tetapi tidak ’menjadi’. Karena itu, kemana pun kita menghadap, kita berhadapan dengan Allah.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah AllahMaha Meliputi segala sesuatu.

QS. Al Baqarah (2): 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamumenghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

2. Sebagai Dzat yang Maha Besar, maka Allah meliputi bukan hanya ruang, melainkan juga waktu. Sehingga, ’awal’ dan ’akhir’ berada di dalam Diri-Nya pula. Waktu ke nol dan waktu ’tak berhingga’ semuanya berada di dalam Allah. Selain itu, Allah juga meliputi segala yang zhahir (lahiriah) dan bathin (batiniah). Yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pendek kata segala yang bersifatkontradiktif: dulu & sekarang, disana & disini, kelihatan & tersembunyi, besar & kecil, bergerak ataupun diam, nol & tak berhingga, dlsb, semuanya berada di dalam-Nya.

QS. Al Hadiid (57): 3
Dialah Awal dan AkhirZhahir dan Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Maka bagaimanakah memahami ’Kursi Allah’ yang besarnya meliputi langit dan bumi? Yang meliputi alam semesta. Yang mana black-hole hanya menjadi salah satu anggota saja dari eksistensi alam semesta. Meskipun, di dalam black-hole itu segala hukum alam runtuh dan tak bisa dijelaskan lagi. Tetapi, bukankah di luarblack-hole masih terdapat segala ’yang bisa dijelaskan’, sebagai anggota alam semesta? Maka, black hole bukan segala-galanya yang mewakili eksistensi-Nya. Melainkan hanya sebagai bagian dari ’kontradiksi’ yang sedang diliputi oleh Kursi-Nya yang agung.

QS. Al Baqarah (2): 255
... Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Karena itu, Kursi Allah bukan bertempat di dalam alam semesta yang tersusun dari ’ruang-waktu-materi-energi-informasi’. Melainkan meliputinya. Sehingga, tidak ada referensi yang bisa kita gunakan untuk memahami bentuknya. Jangankan Singgasana atau Arsy Allah, isi blac-khole saja tidak bisa dijelaskan, karena seluruh hukum alam runtuh di titik singularitas itu. Ibarat angka ’nol’, semua hukum matematika tidak berlaku lagi, ketika kita ’masuk’ ke dalam angka nol. ’Ada’ bilangannya memang, tetapi ’tidak ada’ isinya. Bagaimana mungkin kita bisa ’menghitung’ ketiadaan?

Maka, seluruh hukum sains tidak berlaku di dalam black-hole. Apalagi di dalam ’Arsy Allah yang meliputinya. Apalagi, untuk menjelaskan Dzat Allah...! Tidak ada perangkat yang bisa kita pakai, kecuali sekedar analogi dan perumpamaan belaka. Bahwa Arsy alias Kursi Allah adalah lambang Kekuasaan yang meliputi seluruh realitas alam semesta. Yang ’bisa didefinisikan’ maupun yang ’tidak bisa didefiniskan’...!

QS. Al A’raaf (7): 54
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. Dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan danmemerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

’Dimanakah’ Arsy Allah berada? Allah mengatakan di atas ’air’ saat penciptaan alam semesta raya. ’Air’ apakah itu yang sudah ada di awal penciptaan alam semesta? Bukankah H2O baru tercipta miliaran tahun setelah masa awal penciptaan jagat? Itulah zat yang menjadi ’cikal bakal’ alam semesta yang dalam terminologi Big Bang dikenal sebagai Sop-Kosmos. Yakni: seluruh materi-energi-ruang-waktu yang dikompres menjadi ’bahan’ berbentuk jelly dalam ukuran sangat kecil, dimana suhu, tekanan, dan kerapatannya tak berhingga besarnya, yang lantas memunculkan ketidakstabilan, dan kemudian meledak menjadi alam semesta dalam kendali Kekuasaan-Nya, di dalam Arsy Allah..

QS. Huud (11): 7
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah `Arsy-Nya diatas air (al maa’ ~ sop kosmos), agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya...

QS. Al Anbiyaa’ (21): 30
Dan apakah orang-orang yang ingkar tidak mengetahui bahwasanya langit danbumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkanantara keduanya. Dan dari air (al maa’) Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?

Agus Mustofa

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

Minggu, 12 Desember 2010

petunjuk gabung di TRADING FOREX

Assalamualaikaum wr wb

Terimakasih saudaraku telah berkunjung ke blog ini. Saya sangat yakin dengan ilmu dan pengalaman FOREX BISA dan BISA ... !! UNTUK membiayai hidup kita selamanya... Bila saudaraku yakin dan ikhlas ingin gabung dengan resiko kita tanggung bersama-sama dengan saya ,tidak ada garansi modal anda akan kembali tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan yang terbaik bagi kita bersama ..Berikut petunjuk gabung:

1. Minimal investasi U$300 Kurs sesuai di tukarduid.com
2. Saudara bisa transfer ke rek 
BCA : 1210408424
Atas nama ( Donny Ary Indra Irawan )
MANDIRI : 143-00-1088837-6
Atas nama ( Dony Aryu Indra Irawan )
JATIM : 0292182171
Atas nama ( Donny Ary Indra Irawan )

3. Setelah selesai transfer silahkan melakukan konfirmasi dengan mengisi data sbb :
Nama :
No HP :
Besarnya Transfer :
Jenis rekening : BCA / JATIM / Mandiri 
No Rekening :
Atas nama rekening :
4. Silahkan konfirmasi vis sms .isi sms : saya sudah transfer sebesar U$/Rp .Lalu data anda no 3 silahkan di kirim via email ke. donnyary2@ymail.com . 
5. Bagi hasil sebesar 50% buat investor dan 50% buat pengelola dan akan dibagikan tiap HARI SAPTU bila terjadi profit.Ingat keuntungan tidak dibagikan setiap bulan namun seminggu sekali tepatnya di hari SAPTU.....!!!!
6. Semua dana akan digabung menjadi satu dengan account pribadi saya U$6700 sehingga saya akan selalu tetap berusaha semaximal mungkin agar dana berkembang SEUMUR HIDUP KITA.....!!!!!!!
7. MARI KITA MAJU BERSAMA SALING MENOLONG MENCARI REJEKI DI DUNIA FOREX INI INSYAALLAH BAROKAH....DAN JANGAN LUPA BERAMAL...

Wassalamualaikum WR WB

Salam pemilik web blog
Donny Ary Indra Irawan ST
YM / FB : donnyary2@ymail.com
Alamat : Jl.Seruni Rt 01 Rw 01 Perante Asembagus Situbondo 68373
No HP : 08179683996

Rabu, 01 Desember 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘WAKTU’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Banyak orang yang salah kaprah menangkap substansi ‘waktu’. Sehingga, karenanya, keliru menyikapi pergerakan waktu. Dan, lantas tidak berani ‘berijtihad’ untuk mengolah ibadah-ibadah khusus yang terkait dengan ‘penentuan’ waktu. Atau, bahkan salah mempersepsi makhluk bernama ‘waktu’ ini sebagai penyusun Dzat Allah, Tuhan Penguasa Segala Sesuatu.

Apakah sebenarnya ‘waktu’ itu? Apakah ia adalah pergerakan Matahari? Sehingga ketika Matahari tidak ada atau tidak tampak, ’waktu’ pun tidak ada? Atau, apakah ia adalah pergerakan Bulan, sehingga ketika bulan menghilang, ’waktu’ pun ikut menghilang? Ataukah ia adalah ’jarum jam’ yang terus bergerak, sehingga ketika jarum jam terdiam, ’waktu’ juga ikut diam? Ataukah, waktu adalah berubahnya ’angka’ di sebuah jam digital, sehingga ketika baterainya habis, dan jam digitalnya mati, lantas waktu ikut mati?

Ataukah, waktu hanyalah ’perasaan’ kita saja, sehingga ketika kita tidak merasakannya, berarti waktu itu telah lenyap dari kehidupan kita? Atau sebaliknya, waktu adalah sesuatu yang ’mutlak’? Yang meskipun nggak ada matahari, bulan, jarum jam, angka digital, dan perasaan, waktu tetap saja berjalan mengikat segala dinamika kehidupan?

Lantas, apakah orang zaman dulu yang belum mengenal jam, tidak melihat waktu sebagai sesuatu yang ’bergerak’ karena tak ada jarum jam yang diamati? Tetapi, bukankah mereka tahu pasti bahwa dirinya semakin tua, keriput, dan kemudian mati seiring dengan perjalanan usia? Mereka tidak melihat ’jam kronologis’ namun melihat ’jam biologis’ yang terus berdenyut dalam tubuh mereka.

Sebagian yang lain, melihat waktu dalam benda-benda alam, berupa pergerakan matahari, bulan dan bintang. Namun, bagaimanakah dengan mereka yang berada di negara yang berbeda? Misalnya, mereka yang di kutub dan yang di negara tropis. Bukankah mereka melihat posisi matahari secara berbeda? Sehingga, waktu sehari bagi mereka juga berbeda panjangnya. Lantas, apakah waktu yang berlaku bagi mereka berbeda dengan kita? Ataukah sekedar ’tampak berbeda’ saja?

Apalagi, jika kita berada di planet yang berbeda. Ukuran waktunya pun semakin jauh berbeda. Satu hari di Bumi adalah 24 jam. Tetapi satu hari di planet Saturnus, misalnya, adalah 10 jam. Karena, yang namanya ’satu hari’ itu memang diukur dari satu kali putaran planet (rotasi), yakni terjadinya satu kali siang dan satu kali malam. Artinya sehari semalam Bumi = 24 jam, sehari semalam Saturnus = 10 jam.

Lebih berbeda, adalah sehari semalam di planet Venus, yakni memakan waktu 5.832 jam. Yang jika dibandingkan dengan planet Bumi, itu sama dengan 243 hari. Sama-sama sehari semalam, di planet Venus panjangnya 243 kali hari bumi. Ya, ternyata sehari di bumi, dan di planet-planet lain adalah berbeda panjangnya.

Tetapi, 1 jam di planet Bumi =  1 jam di planet Saturnus = 1 jam di planet Venus. Yaitu, sama-sama 60 menit. Atau 3.600 detik. Demikian pula 1 detik di seluruh penjuru alam semesta adalah sama, yakni diukur dari getaran atom Cesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Itulah yang dinamakan 1 detik, sebagai ukuran denyut waktu paling kecil.

Lantas, kalau atom Cesium-133 itu, karena sesuatu hal musnah dari alam semesta, apakah yang namanya ’denyut waktu’ juga bakal lenyap? Tentu saja tidak. Sebagaimana, jika matahari, bulan, bintang, planet, dan benda-benda lainnya yang kita jadikan sebagai ’patokan’ itu lenyap, tentu saja ’waktu’ tidak ikut lenyap. Yang namanya ’waktu’ akan tetap ada...!

Jadi, waktu adalah waktu. ’Sesuatu’ yang ’gerakannya’ menjadikan alam semesta ’bertambah tua’. Sel-sel tubuh kita bertambah usia. Organ-organ, tulang, kulit, dan seluruh penjuru tubuh kita menjadi mengeriput. Dan, jiwa kita bertambah dewasa. (Meskipun ruh tidak ikut berubah. Karena ruh kita adalah sebagian dari Ruh-Nya yang kekal abadi, tak terikat oleh pergerakan waktu...J)

Ya, semua yang ada di sekitar kita terus berubah menuju pada kerusakannya. Dan akhirnya, hancur total  dalam ’batas usia’ yang telah dijanjikan-Nya..! Lenyap dalam ’ketiadaan’ yang kekal abadi, musnah ke dalam ’Eksistensi-Nya’ ...

Lantas bagaimana kaitannya dengan Eksistensi-Nya? Apakah berarti, Allah tersusun dari waktu? Karena ternyata waktu adalah ’sesuatu’ yang ’mewadahi’ seluruh dinamika alam semesta? Yang telah ’meliputi’ segala eksistensi, sebagaimana DIA yang meliputi segala makhluk-Nya? Dan, semua ini digiring menuju pada kehancuran, yang tidak diragukan lagi kejadiannya, kembali kepada Diri-Nya..?

Bagaimana eksistensi ’waktu’, ketika alam semesta itu hancur? Apakah ’waktu’ ikut hancur? Ternyata iya, waktu ikut hancur. Sehingga, ketika itu tidak ada lagi yang namanya ’waktu’... (Dalam skala waktu alam semesta, ini bukan saat kiamat pertama yang hanya menghancurkan planet Bumi dan sekitarnya, melainkan terjadi pada Kiamat Kedua, yang memusnahkan alam semesta beserta isinya).

Dulu yang namanya ’waktu’ itu pernah tidak ada. Ibarat stopwatch, yang tombolnya belum dipencet, waktu belum berjalan. Memang ada stopwatch-nya, tetapi stopwatch bukanlah ’waktu’. Ia adalah ’benda’. Sedangkan, waktu adalah ’sesuatu’ yang tidak tampak, yang ’bergerak’ dan ’berdinamika’ ketika stopwatch dipencet...

Maka ibaratnya, dulu ada waktu ke nol. Dan sebelum waktu ke nol itu, waktu tidak bergerak. Alias tidak ada. Dan kelak, suatu ketika stopwatch itu akan berhenti pula, sehingga waktu pun diam tak lagi berdinamika. Saat itulah, waktu lenyap. Termasuk jika, stopwatch-nya dihancurkan.

Begitulah kira-kira perumpamaan ’waktu’. Ia ada bersamaan dengan ’benda’ alias ’materi’. Ia ada bersamaan dengan ’ruang’, yang mewadahi. Ia bersama dengan ’energi’ yang menjadi ’baterai’. Ia ada bersamaan dengan ’informasi’ yang menjadi media agar kita mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Alam semesta terbentuk seketika secara bersamaan tersusun dari: ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’.

Jika ada salah satunya, pasti ada empat yang lainnya. Dan jika hilang salah satunya, pasti juga akan hilang semuanya. Maka, pada waktu ke nol, ruang-materi-energi-informasi juga nol. Dan ketika waktu mulai ada, maka ruang-materi-energi-informasi itu pun menjadi ada. Dan ketika, suatu saat nanti, ’waktu’ musnah maka seluruh ’ruang-materi-energi-informasi’ itu bakal musnah. Kemana? Kembali kepada ketiadaan, yang menjadi asalnya.

Tapi, ’ketiadaan’ itu apa? Ketiadaan adalah: TIDAK ADA-nya ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Alias tidak adanya ’alam semesta’. Darimana munculnya ketiadaan itu? Dari sebuah ’Keberadaan’ yang menjadi sumber munculnya seluruh eksistensi di alam semesta ini. ’Keberadaan’ itu adalah DZAT yang mewadahi alam semesta yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’. Dan bukan sebaliknya.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Dia, yang kita sebut Allah itu, meliputi segala sesuatu, sehingga seluruh eksistensi ini ada di dalam Diri-Nya. Karena memang tidak ada zat yang lebih besar dari Dzat-Nya. Ruang, materi, energi, waktu, dan informasi pun berada di dalam-Nya. Dan ketika semua itu lenyap, juga lenyap ke dalam Diri-Nya.

Maka muncullah sejumlah pertanyaan yang sering kita dengar:

Jadi, kalau begitu, Allah berada dimana?
Oh, pertanyaan yang salah...!
Karena, bukankah ruangannya sudah musnah?
Maka, pertanyaan ’dimana’ tidak lagi memiliki makna...

Oke, jika demikian, sesudah itu apa?
Oh, pertanyaannya salah lagi...!
Karena, bukankah ’waktu’ sudah musnah?
Sehingga istilah ’sesudah’ dan ’sebelum’ pun menjadi tak bermakna...

Terus, kalau begitu, Allah itu apa, seberapa, dan bagaimana?
Oh, lagi-lagi pertanyaannya salah...!
Karena, bukankah ‘materi, energi, dan informasi’ sudah musnah pula?
Segala ukuran dan penjelasan tentang Diri-Nya sudah tak ada artinya...

Hhhh, lantas...?
Masih salah juga...!!
Bukankah seluruh bahasa sudah tidak ada?
Jadi apa gunanya kita bertanya. Apalagi kita sendiri sebagai makhluk yang terdiri dari ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’ juga sudah musnah...

Ya, semua yang terlintas dibenak kita ternyata bukanlah DIA.
Karena, sesungguhnya DIA bukanlah seperti apa pun yang kita gambarkan.
Segala yang ada ini ternyata hanya ’tanda-tanda’ yang menuntun kita untuk ’memahami’ ’Sesuatu’ yang tak akan pernah ’terpahami’ oleh siapa pun juga.

Dia memang ‘ada’, tetapi sekaligus ‘tidak ada’...
DIA memang ‘terlihat’ tetapi sekaligus ‘tidak terlihat’ ...
DIA memuat ’waktu-ruang-materi-energi-informasi’, tetapi DIA bukan itu semua...
DIA adalah ’Sesuatu’ yang bisa dijelaskan, tetapi sekaligus juga tidak bisa dijelaskan...
DIA disebut sebagai ‘kemutlakan’ tetapi sekaligus ‘bukan kemutlakan’...
Dia adalah segala-galanya, tetapi sekaligus bukan apa pun jua...

Setiap yang kita persepsikan tentang DIA, ternyata bukanlah DIA.
Karena, benak dan seluruh potensi kita tidak akan pernah bisa mewadahi dan menjelaskan Eksistensi-Nya...!

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka belum mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persepsikan.

 Agus Mustofa
Wallahu ’alam bishshawab.
~ salam ~

Senin, 29 November 2010

~ SALAH KAPRAH MEMAHAMI ‘SERIAL DISKUSI TASAWUF MODERN’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Ada kesalahkaprahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Apalagi ketika kita memahaminya dengan ‘hati jernih’ dan ‘tidak apriori’. Yaitu, persepsi terhadap buku-buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang saya terbitkan selama ini.

Sejak awal terbitnya, buku-buku tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan ‘kebenaran baru’. Karena, bagi saya memang tidak ada kebenaran lama maupun kebenaran baru. Kebenaran adalah ’kebenaran’, yang mutlak milik Allah semata. Yang kita lakukan sebagai manusia hanyalah mencoba melihat dan memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang yang berbeda dan terbatas, sebagai makhluk. Karena itu, kebenaran setiap kita adalah bersifat relatif, sesuai dengan background masing-masing.

Dalam prakteknya, memang ’kebenaran mutlak’ selalu menjadi ’kebenaranku’, ’kebenaranmu’, dan ’kebenarannya’. Dan semua itu, sama-sama bukan kebenaran yang sesungguhnya. Melainkan sekedar ’tafsir kebenaran’ belaka. Jadi, kadang terasa lucu juga jika kita memperdebatkan dan memperebutkan yang namanya ’kebenaran’. Lha wong, itu bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Sehingga dengan tegas, Allah mengatakan di dalam Kitab-Nya bahwa yang tahu tentang kebenaran itu hanya Allah sendiri. Bukan kita. Dialah nanti yang akan menilai apakah seseorang itu ’tidak benar’, ’kurang benar’, ’agak benar’, ’lebih benar’, dan ’semakin benar’. Tetapi tidak akan pernah ’benar’ dengan sebenar-benarnya.

Lantas, kenapa saya menulis buku-buku ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang seakan-akan ingin memperbarui ’kebenaran lama’ menjadi ’kebenaran baru’? Mestinya, pembaca sudah bisa menyimpulkan dari sub judul yang selalu saya cantumkan di halaman sampul setiap buku saya itu. Bahwa ini sekedar ’ajakan berdiskusi’. Karenanya, saya namakan: ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’. Bukan’Serial Kebenaran Tasawuf Modern’, misalnya.

Tapi, kenapa saya mesti mengajak umat Islam untuk berdiskusi? Jawabnya sederhana saja: karena saya ingin menyambut perintah Allah, mengajak manusia menuju jalan Tuhan dengan cara yang dianjurkan-Nya. Sebagaimana ayat yang sering saya kutip, berikut ini.

QS. An Nahl (16): 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yangbaik dan berdiskusilah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya TuhanmuDialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan ayat ini di berbagai forum, termasuk disini. Bahwa setiap kita diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ’kebenaran mutlak’ milik Allah itu kepada orang lain. Padahal, sudah pasti kita tidak memiliki ’kepahaman mutlak’ sebagaimana dimaksudkan Allah? Ternyata tiidak apa-apa, cukup sejauh yang kita pahami saja. Dan, Allah tetap memerintahkan kepada kita untuk melakukan syiar, mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Lantas bagaimana caranya? Ikuti saja kalimat dalam ayat tersebut, yakni harus menggunakan hikmah (substansi alias kedalaman makna beragama) dan yang kedua harus menggunakan mau’idhatul hasanah (metode dan sistematika pengajaran yang baik). Tapi, bukankah sebaik apa pun metodenya dan sedalam apa pun hikmah yang terkandung di dalamnya, setiap kita memiliki perbedaan dalam memahami? Lantas bagaimana kalau terjadi kondisi semacam itu? Ya, ikuti saja kalimat berikutnya dalam ayat di atas: ... ’’berdiskusilah dengan cara yang baik...’’

Nah, buku-buku saya adalah sebuah upaya untuk mengimplementasikan kandungan ayat tersebut. Sebuah ajakan diskusi dengan penuh hikmah danmau’idhatul khasanah. Tapi, lantas dipersepsi sebagai menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Itulah yang saya maksudkan terjadi kesalahkaprahan pada sebagian orang dalam mempersepsi buku-buku saya.

Bagi yang membaca buku-buku saya dengan hati jernih dan tidak apriori, insya Allah akan melihat bahwa apa yang saya sampaikan itu sekedar ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’saya’. Dan sangat mungkin berbeda dengan ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’Anda’ dan ’mereka’. Karena sesungguhnya, saya sangat tahu diri bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.

Pengungkapan pemikiran yang berbeda itu memang saya sengaja, kenapa? Tentu saja supaya terjadi diskusi, sebagaimana sub judul yang selalu saya tuliskan di sampul buku-buku itu. Kalau saya menampilkan pemikiran yang sama dengan kebanyakan pembaca, tentu tidak akan terjadi diskusi. Tidak mengena pada maksud diterbitkannya buku tersebut.

Lantas, kenapa harus dalam bentuk diskusi? [ Syukurlah saya tidak menyampaikan dalam bentuk doktrin... :) ]. Karena Allah memerintahkan kepada kita, agar umat Islam dalam peroses beragamanya tidak cuma ikut-ikutan. Harus paham benar apa yang dilakukan. Bertabayyun. Ingatlah, di akhirat nanti, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Kenapa melakukan ini, kenapa melakukan itu, dan apa alasannya. Lha, kalau cuma ikut-ikutan tentu kita akan ’gelagapan’ ketika Hari Pengadilan itu datang.

Lantas, kenapa saya menyampaikan semua itu dengan gaya ’seakan-akan’ saya sudah benar? Ah, masa iya, saat mengajak Anda berdiskusi, saya harus sambil mengatakan bahwa pendapat saya ini ’tidak benar’. Tentu, Anda tidak tertarik untuk berdiskusi. Lha wong, saya sebagai ’penyampai materi’ sudah tidak yakin terhadap apa yang saya kemukakan. Namun sebaliknya, bukankah saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pendapat saya ini adalah sebuah ’kebenaran’. Dan bukankah di setiap akhir ulasan, saya selalu mengatakan ’Allahu a’lam bishshawab – hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya’...?

Maka, sesungguhnya yang terjadi hanya sekedar sensitivitas dalam berdiskusi. Karena argumentasi yang saya sampaikan seakan-akan menabrak pendapat seseorang, atau sekelompok orang. Padahal yang saya maksudkan adalah ajakan untuk berdiskusi dengan sudut pandang berbeda, terbuka, dan egaliter alias sederajat, dalam memahami ilmu-ilmu Allah. Tentu, agar ajakan diskusi ini memperoleh sambutan dari khalayak, saya harus pintar-pintar ’menarik perhatian’. Tanpa harus mengorbankan misi ataupun melakukan klaim-klaim kebenaran.

Namun yang lebih penting dari itu semua, apa yang saya lakukan ini sebenarnya didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat mendalam terhadap SDM umat Islam yang stagnan alias ’jalan di tempat’. Umat yang didesain Allah sebagai umat teladan ini, ternyata sekarang tidak lagi menjadi teladan dalam kancah peradaban dunia sebagaimana zaman keemasan Islam. Bukan hanya 10 – 20 tahun, melainkan sudah 700 tahun terakhir. Di bidang politik kita tidak teladan. Di bidang ekonomi kita tidak teladan. Di bidang militer kita tidak teladan. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita juga tidak teladan. Sebutlah seluruh bidang-bidang dalam kehidupan kita, apakah umat Islam teladan..?! Bahkan di rumah tangga, pergaulan antar-tetangga, bermasyarakat dan bernegara, kita tidak menjadi teladan.

Ada apa ini dengan umat Islam? Umat yang didesain sebagai umat teladan koktidak menjadi teladan? Pasti ada yang ’salah kaprah’ dengan kita dalam beragama. Kalau cara beragama kita benar, tidak akan begini jadinya umat Islam. Pasti akan menjadi teladan di segala bidang. Ekonomi, politik, militer, sains & teknologi, kesehatan dan kedokteran, pendidikan, dan lain sebagainya. Itulah yang disebut Allah sebagai tatanan masyarakat yang ’rahmatan lil alamin’ dimana umat Islam sebagai khalifah alias panutannya.

Maka, saya ingin mengajak semua umat Islam untuk menata kembali cara beragamanya. Dimulai dari mana? Tentu saja dari ’pola pikir’ dulu. Mind-set yang Qur’ani. Kalau pola pikirnya saja sudah keliru, tentu semua tindakan berikutnya akan keliru. Dan tidak menghasilkan efek yang dijanjikan oleh al Qur’an. Buku-buku yang saya tulis dan forum-forum yang saya hadiri, adalah media untuk mengurai benang kusut yang belum kelihatan ujung pangkalnya itu. Saya kira, kita harus 'banyak bicara' untuk mengurai masalahnya terlebih dahulu. Kita harus berdiskusi tentang segala hal terkait dengan agama dan prakteknya dalam masyarakat. Dan, setelah itu baru melakukan action secara lebih tertata. Kalau dalam pembicaraan aja kita belum bisa mendeteksi masalahnya, maka sudah pastiaction kita tidak akan terarah.

Memang, barangkali akan butuh waktu panjang, lintas generasi, untuk mengatasi masalah kemunduran SDM ini. Tetapi, tidak bisa tidak, harus kita mulai sekarang. Masalah yang paling utama, adalah membuka pola pikir umat Islam seluas-luasnya. Membiasakan diri menerima kebenaran darimana pun itu datangnya. Karena kebenaran yang kita miliki ternyata berbeda dengan kebenaran yang orang lain miliki. Sikap membuka diri terhadap segala kebenaran yang bersumber dari semangat Al Qur’an ini akan menghasilkan arus informasi dan alternatif penyelesaian masalah yang sangat berguna bagi umat Islam ke masa depan. Bukan malah menutup diri terhadap dinamika realitas yang terus bergerak.

Umat Islam selalu ketinggalan kereta. Karena tidak terbiasa berada bersama dengan kenyataan yang melingkupinya. Dan lebih senang terkungkung pada masa lalunya. Padahal Islam dan Al Qur’an diwariskan kepada kita semua untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah keumatan yang semakin kompleks ke masa depan. Maka, kita harus menggali terus mutiara-mutiara hikmah yang ada di dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya di dalam kitab ajaib inilah solusi yang akan mengentas umat Islam untuk menjadi umat teladan kembali di pentas dunia...

QS. Ali Imran (3): 110
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman hanya kepada Allah semata ...

 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~