Kamis, 23 September 2010

~ Mendaki Gunung Sinai di Waktu Sahur ~

EKSPEDISI SUNGAI NIL (27)

oleh Agus Mustofa pada 06 September 2010 jam 12:18

~ Mendaki Gunung Sinai di Waktu Sahur ~


dons" title="Ebook islam, shalat sempurna, cara shalat nabi, shalat berjamaah di masjid, shalat khusyu, web islam, jadwal waktu shalat, artikel islami, makna bacaan dan doa salat">Ebook islam, sholat
sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu,
web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa
solat

Menjelang Maghrib kami baru sampai di kota St Katherine. Inilah sebuah kota kecil di kaki gunung Sinai, yang penduduknya hanya beberapa ribu keluarga. Kotanya tenang, jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Kawasan lembah ini berada di cekukan perbukitan batu yang tandus dan tebing-tebing tinggi. Bagaikan bayang-bayang raksasa yang sedang berkerumun, saat matahari hampir tenggelam, jam tujuh malam.

Kami langsung mencari penginapan agar bisa beristirahat sejenak, setelah berkendara 6 jam melintasi gurun pasir. Sejumlah hotel strategis yang kami datangi fully-booked, tak ada kamar kosong. Kami pun mencari yang agak ke ujung jalan, dan alhamdulillahmasih ada. Ternyata, sejumlah hotel itu dipesan oleh rombongan turis dari Eropa. Beberapa bis berderet-deret di depan hotel mereka.

Jam dua dini hari, usai shalat malam dan sahur, kami telah berada di kaki gunung Sinai. Terminalnya penuh dengan bis dan kendaraan para peziarah. Kebanyakan datang dari Eropa, dan beragama kristen. Sebagiannya lagi orang-orang Yahudi. Dan sedikit diantaranya beragama Islam. Bagi orang Kristen dan Yahudi, berziarah ke gunung Sinai ini setara dengan umroh ke tanah suci Mekkah bagi umat Islam.

Mereka terlihat membawa perbekalan yang cukup untuk mendaki gunung setinggi 2.285 meter dari permukaan laut. Tetapi, pendakian dari kaki Sinai sebenarnya tinggal menyisakan sekitar 1000 meter saja. Jalan setapaknya hanya bisa dilewati unta dan manusia. Saya lihat, kebanyakan peziarah membawa ransel kecil berisi makanan dan minuman, sambil memegang tongkat.

Yang paling penting adalah minuman atau air mineral. Karena dari pengalaman para peziarah sebelumnya, pendakian itu akan memakan waktu 4 jam untuk naik, dan 3 jam untuk turun. Jadi, total sekitar 7 jam. Tentu, harus mengganti tenaga yang hilang dengan makanan dan minuman. Sayang, kami tidak akan bisa melakukan itu, karena sedang berpuasa. Tetapi, tekat kami sudah bulat. Kami harus sampai ke atas. Terutama saya, agar bisa bercerita untuk pembaca.

Di waktu sahur itulah kami mulai mendaki dengan berjalan kaki. Suasana gelap malam hari mengharuskan peziarah membawa lampu senter. Tapi, setelah beberapa saat berjalan dalam kegelapan, kami memilih untuk tidak menggunakannya lagi. Mata kami sudah beradaptasi dengan kegelapan malam. Apalagi, bulan sepotong di langit sangat membantu menerangi jalanan setapak yang kami lewati.

Tak berapa lama berjalan, kami bertemu dengan gereja besar di kaki gunung Sinai: Gereja St Katherine, gereja legendaris masyarakat kota ini. Di depannya ada pos penjagaan polisi. Kami ditanyai, apakah sudah membawa pemandu untuk berziarah. Sebab, bagi yang tidak kenal rutenya, bisa tersesat. Dan tidak diizinkan untuk meneruskan perjalanan. Kecuali, ’menyewa’ salah satu polisi itu sebagai guide. Kami berusaha menawar, agar kami bisa mendaki sendiri, karena salah satu anggota tim ekspedisi ~ Dadan S. Junaedy ~ sudah pernah mendakinya.

Mereka tetap bersikukuh melarang. Kecuali, bila kami mau menyewa unta dan penggembalanya yang orang Badui. Akhirnya, kami memutuskan menyewa unta saja, empat ekor. Sekalian untuk berhemat tenaga karena sedang dalam kondisi puasa. Maka, menjelang subuh itu kami mengendarai unta menuju ke puncak Sinai.

Ternyata, naik unta dalam waktu lama tidak senyaman yang kita duga. Perut dan pinggang serasa dikocok-kocok, sakit semua. Lebih nikmat berjalan kaki. Apalagi, di jalanan menanjak, dan unta yang kadang tidak dijaga sepenuhnya oleh para penggembalanya. Setiap dua ekor unta dijaga oleh satu orang Badui. Maka, satu jam naik unta, isteri saya menyerah. Ia yang sempat ketakutan karena untanya lepas kendali, akhirnya minta turun di pos peristirahatan pertama. Dan tidak mau melanjutkan mendaki lagi. Dia ketakutan naik unta di jalanan terjal, apalagi badan terasa pegal-pegal.

Saya memutuskan melanjutkan perjalanan berdua dengan Dadan. Sedang anggota tim lainnya, Yovi saya minta untuk menemani isteri saya di pos tersebut. Perjalanan yang tersisa masih sekitar 2,5 jam. Dengan rute yang semakin menanjak. Saya shalat subuh di atas unta. Karena tidak ada musholla atau tempat yang layak untuk turun shalat.

Dua jam kemudian, punggung dan perut saya benar-benar terasa sakit. Hampir-hampir tak tahan rasanya. Untung, di depan saya sudah terlihat tempat pemberhentian terakhir, yaitu pos ke tujuh. Sisa rutenya, sudah tidak bisa ditempuh dengan naik unta lagi. Harus berjalan kaki. Dan, masya Allah, sisa rute itu ternyata berupa tebing terjal menuju puncak Jabbal Musa. Di depan saya membentang anak tangga dari bebatuan dengan kemiringan antara 45 – 60 derajat.

Anak tangga itu berjumlah sekitar 800 buah. Ketinggian setiap trapnya sekitar 30 cm. Jadi, tebing yang masih harus didaki sekitar 250 meter lagi. Inilah perjuangan terakhir, sebelum para peziarah menikmati matahari terbit di puncak Sinai dan merasakan suasana Nabi Musa saat berada di sana. Dengan mengempos semangat, saya melangkah mendaki tebing curam dengan hati-hati, menjelang pagi.      

Ketinggian yang hanya 250 meter itu serasa berkilo-kilo meter saja laiknya. Setiap belasan anak tangga, nafas saya terengah-engah. Maklum sudah lebih dari 20 tahun tidak pernah berjalan mendaki gunung lagi. Dan, tenggorokan yang kering disebabkan nafas memburu, kini tidak bisa dibasahi air lagi karena berpuasa.

Tapi, semangat saya tak surut sedikit pun, terbayang betapa nabi Musa naik ke bukit ini sendirian untuk bermunajat kepada Allah. Sekitar setengah jam kemudian, perjuangan itu berakhir. Jantung terasa hampir copot. Dan nafas memburu, dalam dinginnya hawa pegunungan yang berkadar oksigen rendah.

Namun, sungguh luar biasa pemandangan di puncak Jabbal Musa. Di ufuk Timur, matahari sedang beranjak memperlihatkan dirinya. Warna langit yang kuning kemerahan menjadi latar belakang puncak-puncak gunung di sekitarnya, diantara lembah dan ngarai yang tiada tara: Subhanallah...!

Di puncak itulah para peziarah mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Dalam bahasa agama masing-masing. Saya melihat ada dua tempat ibadah tak berapa besar yang bertengger di puncak Sinai, yaitu sebuah musholla dan gereja. Sebagian peziarah memanfaatkannya untuk berdoa. Sebagian lagi memilih di tempat terbuka sambil menikmati matahari terbit.

Saya memilih berdoa dan bersyukur di atas sebuah batu besar, yang dari tempat itu saya bisa melihat lembah sekeliling puncak Jabbal Musa. Saya membayangkan, disinilah dulu utusan Allah itu bermunajat kepada-Nya, berdialog langsung dengan-Nya. Dan ketika beliau meminta kepada Allah untuk bisa melihat Zat-Nya, bukit di sekitar puncak Jabbal Musa itu pun bergetar hebat, lantas runtuh membuat Nabi Musa pingsan karenanya.

Kini, saya menyaksikan bukit-bukit batu itu. Memang berbeda dengan bukit-bukit yang lebih jauh di sekelilingnya. Bebatuan di sekitar puncak Jabbal Musa itu terlihat pecah belah berantakan. Seperti pernah dilanda gempa..!

Saya menjadi ingat firman-Nya di dalam al Quran: ’’... Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung, maka gunung itu pun hancur dan Musa jatuh pingsan. Setelah tersadar, Musa berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman". [QS. 7: 143].

Bersambung besok: //Menyusuri Laut Merah ke Tempat Nabi Khidr//

HAMPIR PAGI: Perjuangan mencapai puncak Jabbal Musa.
TURUN GUNUNG: Istirahat sejenak diantara para peziarah yang antre turun gunung.
HANCUR: bukit tempat Nabi Musa pingsan setelah ingin melihat Allah.













dons" title="Ebook islam, shalat sempurna, cara shalat nabi, shalat berjamaah di masjid, shalat khusyu, web islam, jadwal waktu shalat, artikel islami, makna bacaan dan doa salat">Ebook islam, sholat
sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu,
web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa
solat



EKSPEDISI SUNGAI NIL (28)

oleh Agus Mustofa pada 07 September 2010 jam 13:22

~ Menyusuri Laut Merah ke Tempat Nabi Khidr ~

dons" title="Ebook islam, shalat sempurna, cara shalat nabi, shalat berjamaah di masjid, shalat khusyu, web islam, jadwal waktu shalat, artikel islami, makna bacaan dan doa salat">Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Turun dari Jabbal Musa, kami sampai di penginapan pukul 10 pagi. Untuk menghilangkan lelah setelah mendaki gunung Sinai semalaman, saya beristirahat segera. Apalagi, setelah Zhuhur kami harus check out untuk melanjutkan perjalanan ke Sharm el Sheikh, sebuah kota di tepi laut merah yang masih berjarak sekitar 270 km ke arah selatan.   

Menuju ke Sharm el Sheikh, kami tidak melewati rute datang, melainkan mengambil rute selanjutnya. Kalau awalnya datang dari arah teluk Suez di sebelah timur, maka kini kami melanjutkan ke arah barat sehingga bertemu dengan pantai teluk Aqabah yang berseberangan dengan jazirah Arab. Setelah itu, berbelok ke kanan melewati kota Dahab, menuju ke ujung paling selatan dataran Sinai.

Kurang lebih 4 jam kami menyusuri pegunungan batu dan padang pasir. Separo perjalanan terakhir, kami menyusuri pantai teluk Aqabah yang berseberangan dengan negara Saudi Arabia. Pemandangan di kawasan ini tak kalah indah dengan pantai Timur, di Teluk Suez. Lebih dari 100 km kami menyusuri pantai yang bersebelahan dengan perbukitan batu yang indah. Di sebelah kanan, bukit dan padang pasir. Sedangkan di sebelah kiri, laut yang indah membiru.

Keindahan itu berujung di Sharm el Sheikh. Sebuah kota paling selatan dari dataran Sinai. Ia berada di tepi pantai Laut Merah yang luar biasa. Disinilah selat Aqabah bertemu dengan selat Suez. Di sebelah kanan kami adalah laut yang menjorok ke teluk Suez, dan sebelah kiri kami adalah laut yang menjorok ke teluk Aqabah. Kami persis berada di persimpangan dua laut itu.

Memasuki pintu gerbang kota sudah kelihatan pantai yang ramai dengan kapal-kapal pesiar. Disepanjang pantainya berdiri gedung-gedung yang megah, hotel, apartemen maupun villa bergaya Eropa. Kota yang memanjang searah pantai itu terbagi dalam 3 wilayah, yakni wilayah permukiman lama yang disebut sebagai Old Town.

Yang kedua adalah kawasan tepi pantai yang disebut Sharm el Moya. Disini terdapat hotel-hotel mewah, tempat-tempat hiburan malam, spa, pusat perbelanjaan, dan segala macam permainan yang disukai turis-turis Barat. Dan yang ketiga, adalah El Hadaba, kawasan yang dipenuhi dengan permukiman warga asing untuk berlibur, seperti villa, kondominium, dan apartemen. Berada di kota ini seperti berada di kawasan Eropa. Apalagi, yang kebanyakan berlalu lalang adalah para bule.

Kota Sharm el Sheik sudah jauh berubah dibandingkan tahun 80-an. Dulu daerah ini adalah sebuah desa nelayan yang kecil. Dan sempat menjadi kawasan yang diperebutkan antara Mesir dan Israel. Pernah diduduki Israel pada tahun 1956 dan 1967. Tetapi, kemudian dikembalikan ke Mesir pada tahun 1982, atas tekanan PBB dan dunia internasional. Sekarang kawasan yang sangat strategis ini menjadi pantai wisata nomer wahid di Mesir, bahkan di Timur Tengah.

Presiden Husni Mubarak sangat suka dengan tempat ini, sehingga sering menerima tamu-tamu negara atau menyelenggarakan pertemuan internasional disini. Bahkan, hampir setiap tahun, selama liburan Idul Fitri, ia dan keluarga memilih berada di Sharm el Sheikh. Sampai-sampai ada yang menyebut kota ini sebagai kota Mubarak. Meskipun pernah dibom oleh kalangan radikal Mesir di tahun 2005, kota ini mendapat julukan City of Peace.

Memasuki kota, saya berusaha mencari lokasi yang disebut oleh al Qur’an sebagai tempat bertemunya dua laut itu. Dari peta kami tahu, itu adalah kawasan yang kini bernama Ras Muhammad. Kawasan itu, benar-benar berada di paling ujung dataran Sinai. Bentuknya adalah tanjung yang menjorok ke laut.

Kawasan sepi ini, kini menjadi cagar alam kehidupan biota laut, yang sangat digandrungi oleh wisatawan dunia. Mereka senang menyelam di lepas pantainya, karena di dasar lautnya ada ribuan jenis ikan dan terumbu karang yang unik. Bahkan, ada kawasan yang terdapat gugusan karang berusia dua juta tahun, yang memberikan banyak informasi tentang kondisi alam masa silam. Tak kurang dari 50 ribu penyelam setiap tahunnya datang ke Ras Muhammad, Sharm el Sheikh. Daratannya memang sepi, karena kebanyakan turis langsung membawa kapalnya dari dermaga, menuju ke lepas pantai dimana mereka ingin menyelam.

* * *

Sore kemarin menjelang matahari tenggelam, saya berada di pantai tempat bertemunya dua laut itu. Lokasinya seperti yang digambarkan oleh al Qur’an. Benar-benar surprise, dan merasa seperti dalam mimpi. Disinilah, ribuan tahun yang lalu, dua hamba Allah bertemu untuk mempelajari salah satu rahasia ilmu Allah yang luar biasa tingginya, yaitu tentang kesabaran. Mereka adalah Nabi Musa sang Kalimullah dan Khidr, seorang misterius ’penunggu pantai’ yang tidak terkenal.

Allah menceritakan ini di dalam al Qur’an al Karim, ketika memerintahkan Musa untuk bertemu dengan guru spiritual, yang tak disebut namanya itu. ’’Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun’’. [QS. 18: 60] ’’Lalu mereka bertemu dengan seseorang di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami’’. [QS. 18: 65]

Kenapa Musa yang hebat itu – memiliki sembilan buah mukjizat dan berbicara langsung dengan Allah di puncak Sinai – masih diperintah Allah untuk berguru kepada Khidr? Ternyata, Musa dianggap Allah belum memiliki kualitas kesabaran yang seharusnya. Apalagi, dalam menghadapi umatnya – Bani Israil – yang terkenal sangat cerewet dalam beragama.

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS. 18: 66]. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" [QS. 18: 67-68].

Mendalam sekali dialog dua hamba Allah itu. Musa yang sedemikian hebat diprediksi Khidr tidak akan bisa bersabar mengikutinya, karena ilmunya ’belum cukup’. Kesabaran, ternyata hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki ilmunya. Jika tidak, ia hanya bisa ’menyabar-nyabarkan’ diri belaka. Terpaksa sabar. Belum benar-benar bersabar. Dan terbukti, selama mengikuti Khidr, Musa sering protes kepadanya ketika Khidr melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal.

Sesuatu dikatakan masuk akal atau tidak, bergantung kepada seberapa tinggi ilmu yang telah kita miliki. Karena itu, Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu dan mengedepankan akal sehat dalam menjalankannya. Hanya orang-orang yang berilmu dan berakal sajalah yang bisa menjalankan agama ini dengan baik, sehingga tercapai tatanan masyarakat yang rahmatan lil alamin yang sebenar-benarnya. ’’... Dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari ilmu-ilmu Allah) kecuali orang-orang yang berakal. [QS. 3: 7]

Bersambung besok: //Mencegat Lailatul Qadr di Pantai Laut Mediterania//

dons" title="Ebook islam, shalat sempurna, cara shalat nabi, shalat berjamaah di masjid, shalat khusyu, web islam, jadwal waktu shalat, artikel islami, makna bacaan dan doa salat">Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat

Tidak ada komentar: