Kamis, 28 Oktober 2010

~ BIKIN LOMBA TAKBIRAN UNTUK OBATI RINDU ~(mesir 12)





Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Berlebaran di Mesir membuat masyarakat Indonesia yang tinggal disini rindu tanah air. Betapa tidak, suasananya sangat jauh berbeda dengan Indonesia yang penuh kehangatan. Sejak malam lebaran sampai sesudah Shalat Id, suasananya ’dingin’ dan biasa-biasa saja. Seperti tidak sedang hari raya Idul Fitri. Sehingga, perkumpulan mahasiswa di Kairo pun membuat ’kehebohan’ sendiri.

Saya yang baru pertamakali berlebaran di Kairo, juga merasakan hal itu. Begitu Maghrib datang sebagai tanda selesainya bulan puasa, kita yang terbiasa mendengar suara takbiran dari masjid-masjid, surau, dan bahkan takbir keliling di jalan-jalan raya Indonesia, menjadi merasa kehilangan sesuatu.

Masjid-masjid dan jalanan lengang dari suara takbir ’kemenangan’ setelah sebulan berpuasa. Karena, umat Islam disini bertakbir hanya dengan suara pelan saat-saat seusai shalat fardu – Maghrib, Isya’ dan Subuh – dan tidak disalurkan ke pengeras suara untuk diperdengarkan ke masyarakat umum. Baru dikeraskan esoknya di tempat-tempat shalat Id, sebagai penanda lokasi shalat.

Malam Lebaran tahun lalu, mahasiswa Indonesia pernah ditegur oleh tetangganya karena menggelar takbiran di sekretariat kekeluargaan mahasiswa Indonesia, yang ada di lingkungan apartemen. Mereka dianggap membuat gaduh. Sang tetangga, yang juga beragama Islam tersebut, mendatangi para mahasiswa dan menanyakan apa yang sedang mereka lakukan itu. Para mahasiswa menjawab, itulah takbiran khas Indonesia.

’’Takbiran kok sambil diiringi tetabuhan? Kan mestinya dilakukan dalam suasana khusyuk?,’’ kata sang tetangga sambil bersungut-sungut meninggalkan mereka. Anak-anak mahasiswa pun tertawa berderai sambil terus melanjutkan takbirannya, tutur Yovi Saddan. Tetapi, tak lama kemudian mereka menghentikannya karena ’sungkan’ dengan para tetangga yang melihat itu sebagai keanehan.

Tahun ini, para mahasiswa benar-benar merasa rindu dengan suasana itu. Sehingga mereka menyalurkannya dalam bentuk lomba takbiran. Pelaksanaannya tentu bukan di kawasan permukiman melainkan di lapangan milik Universitas Al Azhar, yang biasa dipakai untuk kegiatan lomba-lomba, yaitu Mukhayyam Ad Daim. ’’Disini kami bebas bertakbir sepuas-puasnya,’’ papar Zacky Muttaqin, ketua panitia lomba Takbir yang didukung oleh berbagai organisasi kekeluargaan Indonesia. Untuk meramaikan suasana, para mahasiswa juga menggelar bazar lebaran dan lomba-lomba lainnya.

’’Ini benar-benar mengobati rindu kami kepada kampung halaman,’’ tutur Mahasiswa Ushuluddin, Al Azhar itu. Peserta yang memastikan ikut lomba Takbir diantaranya dari Kekeluargaan Pelajar dan Mahasiswa Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Selatan, dan Perwakilan NU Cabang Kairo.

Sayang, kata pemuda asal Bandung itu, di Kairo mereka sulit menemukan bedug. Sehingga tetabuhan yang mereka lakukan serasa kurang mantap. Karena itu mereka berusaha mencari tetabuhan pengganti yang bisa membuat suasana menjadi ’heboh’ tanpa mengurangi makna takbiran. Beberapa juri disiapkan untuk menilai setiap grup yang tampil. Mulai dari kostumnya, vokal dan kekompakannya, serta kreativitasnya.

Setiap grup membawa tetabuhan khas dari daerahnya. Ada yang membawa angklung, ada yang menggunakan rebana, dan ada yang berkreasi dengan tetabuhan yang mereka ciptakan sendiri, seperti pralon, galon, dan peralatan dapur, tapi ada juga yang saya lihat memanfaatkan peralatan full-Band.

Acara yang didukung oleh KBRI di Kairo ini memang menjadi salah satu acara perekat kebangsaan dan sekaligus pengobat rindu. Untuk meneguhkan rasa kecintaan kepada tanah air sekaligus rindu berlebaran itu mereka mengusung tema : ’’Satu Takbir, Satu Tanah Air’’. Dan lapangan di Kampus Al Azhar itu benar-benar menjadi ’sangat Indonesia’ sepanjang malam lebaran. Kerinduan pada kampung halaman beserta pernak-pernik budaya dan makanan khasnya pun menjadi sedikit terkurangi.

Esoknya, sesudah shalat Id mereka ’unjung-unjung’ kepada sahabat dan para pejabat KBRI, karena orang-orang Mesir memang tidak merayakan Idul Fitri dengan acara silaturahim seperti itu. Mereka hanya bepergian ke tempat-tempat wisata, taman-taman, dan menikmati perahu yang berlayar di sepanjang sungai Nil.
 (agusmustofa_63@yahoo.com ~ Dimuat di Grup Jawa Pos, 10 September 2010).

Selasa, 19 Oktober 2010

~ PARA PENGHUNI KOTA MATI ~(mesir 11)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Ketika membuka peta kota Kairo, Anda akan melihat sebuah kawasan yang namanya aneh sekaligus menyeramkan: City of The Dead. Alias, Kota Mati. Kawasan itu membentang luas di sekitar benteng Shalahudin sepanjang beberapa kilometer. Sehingga bagi turis asing yang baru pertamakali membuka peta, blok itu sebenarnya sangat mencolok mata.

Namun demikian, tidak banyak turis yang datang mengunjungi Kota Mati. Diantaranya, karena kawasan itu kelihatan tidak terawat. Apalagi ketika malam tiba, kelihatan sangat gelap, kurang penerangan. Kecuali di jalan raya yang melintasi bagian luar kawasan, cukup terang dengan lampu-lampu jalannya. Begitu memasuki lorong-lorongnya, suasana sepi terasa langsung menyergap. Sambil, sesekali terlihat anjing berkeliaran.

Kota Mati adalah pekuburan massal. Yang karena demikian luasnya, sampai disebut sebagai ’kota’. Apalagi, bentuk kuburan di Kairo tidak seperti di Indonesia yang terbuka dan berbatu nisan. Di Kairo, sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik ini, petak pekuburannya berbentuk rumah. Pada umumnya sekitar 40-60 meter persegi. Meskipun sebagiannya ada yang berukuran besar, dengan kubah menjulang dan halaman ditumbuhi beberapa tanaman hias. Yang demikian ini biasanya milik keluarga kaya.

Yang menarik, sebagian besar rumah-rumah makam itu berpenghuni. Bukan dihuni oleh pemilik rumah, melainkan oleh penjaga makam. Seringkali mereka tinggal disana bersama keluarganya. Bahkan lantas beranak pinak, selama berpuluh tahun menempatinya. Salah satu rumah makam yang saya datangi adalah makam keluarga dekat Raja Farouq. Bangunannya megah, dengan kubah yang menjulang tinggi. Dan halamannya cukup luas. Total lahannya sekitar 1000 meter persegi.

Penunggunya adalah lelaki tua bernama Shadiq. Ia tinggal di sana sudah puluhan tahun, sejak zaman orangtuanya. Padahal usia Shadiq sudah lebih dari 70 tahun. Dan kini sudah beranak cucu pula. Maka, ia tidak mau disebut sebagai ’penunggu makam’ lagi. Ia menyebut keluarganya sebagai ’penghuni’ rumah makam. Selain memperoleh gaji dari pemilik rumah, shadiq dan anak cucunya bekerja serabutan, untuk mempertahankan kehidupan keluarga. Termasuk menerima pemberian orang-orang yang berkunjung dan berziarah ke rumah makam tersebut, ketika menjelang Ramadan.

Gedung megah yang didirikan dengan biaya jutaan USD itu berada di pinggiran jalan raya kawasan City of The Dead. Karena itu, tidak seberapa ’menyeramkan’. Lain halnya, dengan rumah-rumah makam yang masuk ke lorong dan gang-gang yang gelap. Saya sempat menelusurinya. Jalanannya lengang. Sesekali saja ada orang berseliweran. Atau kadang, seorang tua yang duduk sendirian di depan rumah makam yang ditinggalinya. Ia memandangi kami yang lewat sambil tersenyum melambaikan tangan. Saya menangkap rasa kesepian di sinar matanya.

Tak jauh dari situ, ada seorang wanita tua yang menunggui barang dagangannya. Ia jualan roti gandum khas Mesir, sambil menggendong cucunya. Kami berhenti untuk sekedar ngobrol dengannya tentang kawasan rumah pekuburan yang unik. Ia yang berjualan di depan tempat tinggalnya itu bernama Faizah. Punya anak empat, sebagiannya sudah berkeluarga. Suami Faizah telah meninggalkan mereka sejak 25 tahun yang lalu. Dan, kini mereka menyambung hidupnya dengan berjualan roti gandum. Sambil bekerja apa saja.

Mereka juga bawwab alias penjaga rumah makam. Tinggalnya di dalam makam, dan sehari-hari berdampingan dengan jenazah-jenazah yang dikuburkan disitu. Beberapa lama kami ngobrol, saya minta izin untuk masuk ke dalam ’rumahnya’ melihat-lihat isinya. Ternyata, rumah makam itu telah beralih fungsi menjadi rumah tangga. Saya bisa membandingkan, karena saya pernah masuk ke sebuah rumah makam yang masih baru dibangun milik keluarga Muhammad Dardeerie, beberapa waktu yang lalu.

Ruang gudang satu-satunya, yang biasanya digunakan untuk tempat peralatan, kini telah disulap menjadi ruang tidur. Lorong pintu masuk yang tidak seberapa luas, disulap menjadi ruang tamu. Dan halaman terbuka yang menjadi akses untuk masuk ruang bawah tanah dipetak-petak ala kadarnya untuk aktifitas masak, makan, dan mandi.

Ruang terbuka sisanya adalah akses untuk masuk ke ruang bawah tanah tempat penyimpanan jenazah. Karena, di Kairo pemakaman jenazah memang memanfaatkan ruang bawah tanah. Tidak dikubur dengan cara diurug, melainkan dibaringkan begitu saja di atas lantai sambil ditaburi tanah atau pasir, sebagai syarat bersentuhan dengan tanah. Posisinya dimiringkan ke arah kiblat, untuk yang muslim. Lantas, ditutup dengan pintu yang kedap agar baunya tidak menyebar keluar dari ruang bawah tanah itu.

Selain sebagai tradisi yang unik ~ semacam tradisi mumi keluarga Firaun ~ pemakaman di ruang bawah tanah ini memang menjadi solusi yang sesuai untuk kawasan padang pasir. Menggali tanah di kawasan seperti ini sangat sulit, dikarenakan dua hal. Yang pertama, kebanyakan tanahnya adalah bebatuan yang sangat keras. Sehingga akan menyulitkan para penggali kubur, jika setiap kali ada orang meninggal harus dibuatkan lubang galian seperti di Indonesia.

Yang kedua, jika tidak berupa batu, biasanya kawasannya adalah padang pasir. Tentu, sulit juga untuk membuat galian di padang pasir, karena longsor terus saat digali. Maka, yang paling rasional memang membuat ruang bawah tanah. Kemudian meletakkan jenazah-jenazah disana sampai membusuk. Ketika sudah membusuk, tulang-belulangnya dimasukkan ke dalam karung untuk dipindahkan. Dan ruang yang masih kosong bisa ditempati jenazah baru lainnya.

Rumah makam yang telah beralih fungsi seperti itu bertaburan di kawasan City of The Dead. Fungsi semula adalah untuk pekuburan, yang dijaga oleh para bawwab. Tetapi seiring dengan waktu, karena keluarga bawwab itu beranak pinak, rumah itu menjadi tempat tinggalnya selama puluhan tahun. Dan akhirnya, rumah-rumah makam itu menjadi rumah tangga yang di bagian dalamnya ada pekuburan.

Ribuan rumah makam telah beralih fungsi seperti itu, sehingga kawasan pekuburan pun menjadi kawasan pemukiman yang setengah hidup setengah mati, karena fasilitasnya yang sangat minim untuk dihuni sebagai pemukiman. Pasokan listrik dan air bersihnya minim, demikian pula perawatan kebersihan lingkungannya. Sehingga lorong-lorong Kota Mati itu, di malam hari menjadi seperti Kota Hantu yang menyeramkan. Sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berpendar terang-benderang dengan lampu yang berwarna-warni. Kairo malam hari memang sangat indah, dibandingkan siang hari yang berselimut debu di seluruh penjuru kotanya.

Kota Mati adalah wajah buram kota Kairo yang terwujud secara ’tidak sengaja’, disebabkan oleh munculnya ribuan keluarga penjaga kuburan yang beranak pinak disana. Anak-anak kecil bermain-main di atas kuburan adalah pemandangan biasa, karena kuburan itu memang telah menjadi rumah mereka. Dan ketika saya tanya, apakah mereka tidak takut hantu yang muncul dari dalam kuburan itu, mereka menjawab sambil tertawa: ’’Bukankah mereka telah mati, dan kita semua akan mengalaminya?’’ Rupanya, hantu Mesir tidak semenakutkan hantu Indonesia..! (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 8 Agustus 2010).

Senin, 18 Oktober 2010

~ PARA PERAIH NOBEL NEGERI FIRAUN ~(mesir 10)

 
Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Selain Naguib Mahfouzh ~ peraih Nobel bidang Sastra yang saya tulis di edisi lalu ~ Mesir memiliki tiga nama lagi yang berkelas hadiah Nobel. Mereka adalah Presiden Anwar Saddat, di bidang Perdamaian; Muhamed El Baradey, pejuang perlucutan senjata nuklir, dan Ahmed Hasan Zewail, peraih Nobel bidang Kimia. Masyarakat Mesir membanggakan mereka, meskipun sebagiannya menanggapi dengan kontroversi.

Apartemen saya tidak jauh dari monumen Anwar Saddat. Sehingga saya sering melewati, dan pernah mengunjunginya sekali. Pemerintah Mesir menghargai Anwar Saddat sebagai pendahulu yang sukses dalam mengantarkan Mesir ke percaturan politik internasional. Sehingga Presiden Husni Mubarak sebagai penggantinya merasa perlu menjadikan lokasi terbunuhnya Anwar Saddat oleh prajuritnya sendiri, 6 Oktober 1981, sebagai monumen.

Anwar Saddat yang memulai karir sebagai tentara menjadi Presiden ketiga Mesir, setelah Jenderal Muhammad Najib (1953-1954), dan Kolonel Gamal Abdul Nasser (1956-1970). Ia sendiri berpangkat Marshal ketika dilantik menjadi Presiden (1970-1981). Dan penggantinya adalah presiden Husni Mubarak (1981-sekarang) yang juga kepala Angkatan Udara Mesir. Karena itu tidak heran, suasana pemerintahan negeri Mesir terasa sangat militeristik. Dan, memberlakukan undang-undang darurat militer sampai kini, seperti zaman Orde Baru di Indonesia.

Anwar Saddat memperoleh hadiah Nobel dikarenakan langkahnya untuk menandatangani perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel, 1978. Perjanjian itu sebenarnya ditentang oleh banyak negara Timur Tengah, karena menempatkan Israel sebagai kekuatan militer yang tidak ada tandingannya lagi di kawasan tersebut. Sebelum ditandatanganinya perjanjian itu, Mesir dan Syria menjadi kekuatan penyeimbang yang sangat diperhitungkan Israel dan AS. Tetapi dengan sangat taktis Israel dan AS merangkul Mesir, dengan mengembalikan semenanjung Sinai kepadanya. Sambil, menolak mengembalikan dataran tinggi Golan kepada Syria. Karena ’jasanya’ dalam perjanjian Camp David itulah Anwar Saddat dianugerahi hadiah Nobel di bidang perdamaian, pada tahun itu juga. Dan kebijakan itu diteruskan oleh penggantinya, presiden Husni Mubarak sampai kini.

Kalangan masyarakat Mesir sendiri terbelah dalam menyikapi keputusan Anwar Saddat. Apalagi tahun 1981, ia melakukan tindakan represif kepada kalangan radikal yang terus menentangnya. Langkahnya menuai kecaman dari seluruh dunia, dan dianggap melanggar HAM. Akhirnya, Anwar Saddat mati terbunuh, ditembak oleh tentaranya yang menjadi anggota pergerakan fundamentalis dalam sebuah parade militer. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya sebagai presiden hingga kini, Husni Mubarak.

Peraih hadiah Nobel lainnya adalah Muhamed El Baradey. Dia memperolehnya pada tahun 2005, karena dianggap sebagai pejuang perlucutan senjata nuklir yang gigih. lulusan Fakultas Hukum Universitas Cairo dan Doktor hukum dari Universitas New York, AS itu memperoleh penghargaan di bidang perdamaian. Selama 2 periode El Baradey menjabat sebagai Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA ~ International Atomic Energy Agency) yang berpusat di Wina, Austria, (1997-2009).

Penganugerahan hadiah Nobel kepadanya juga disikapi secara terbelah oleh sejumlah kalangan di Mesir. Di satu sisi ia dipuji sebagai penggiat antinuklir yang gigih. Dia memperjuangkan dilucutinya senjata nuklir sebagai peralatan perang, serta mendorong penggunaannya untuk kepentingan damai. Diantaranya sebagai sumber energi bagi pembangkitan tenaga listrik.

Akan tetapi, di sisi lain ia dipersepsi sebagai kepanjangan tangan Barat untuk menekan perkembangan teknologi nuklir di wilayah Timur. Diantaranya adalah di Iran, dan Korea Utara. Penguasaan teknologi nuklir dianggap sebagai ancaman strategis bagi Barat. Bukan hanya ketika digunakan sebagai persenjataan militer, tetapi juga ketika dikuasai sebagai sumber energi masa depan. Ini terkait dengan ’perang penguasaan sumber energi’, seiring dengan semakin surutnya sumber energi fosil.

Harapannya, jika negara-negara selain blok Barat tidak menguasai energi masa depan ini, mereka akan sangat bergantung kepada Barat dalam bidang energi. Yakni, ketika minyak bumi, gas alam, dan batubara semakin bermasalah. Pilihan yang paling mungkin adalah energi nuklir. Sedangkan energi-energi terbarukan seperti matahari, angin, dan biomassa tidak akan mencukupi untuk diproduksi dalam skala besar.

Sumber energi nuklir milik negara-negara Barat sangatlah besar, terutama yang berasal dari hulu ledak senjata nuklir yang dicairkan. Dari konsentrasi Uranium yang diatas 90 persen, dicairkan menjadi sekitar 3 persen. Sungguh itu akan menjadi cadangan energi yang tiada habisnya bagi mereka. Semua itu disimpan untuk digunakan ketika dunia mengalami krisis energi fosil yang tak teratasi lagi.

Saat itulah negara-negara non Barat akan kelimpungan, termasuk Indonesia. Karena minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan belasan tahun saja. Sedangkan minyak dunia, hanya bertahan puluhan tahun. Gas alam, sebagai sumber energi yang relatif bersih juga masih bertahan puluhan tahun. Sisanya adalah batubara yang diperkirakan masih bertahan di atas seratus tahun tapi dengan kadar polusi yang mengkhawatirkan. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga air terkendala oleh lingkungan hidup yang semakin buruk, sehingga sumber-sumber air mengecil.

Maka, tidak heran Iran ngotot untuk menguasai teknologi bahan bakar nuklir. Mereka berpikir strategis ke masa depan. Tidak harus untuk militer. Meskipun, itu hanya tinggal selangkah saja. Sebagai gambaran, di seluruh dunia kini ada 441 reaktor nuklir. Dan sampai tahun 2020 akan bertambah 126 buah lagi. 40 buah diantaranya milik China yang sudah memutuskan nuklir sebagai sumber energi masa depan. Sebagian besarnya ada di negara-negara blok Barat. Jepang saja, 40 persen sumber listriknya berasal dari nuklir. Bahkan, di Prancis 78 persen sumber listriknya juga nuklir. Semua negara yang maju dan ingin maju, memilih nuklir sebagai alternatif sumber energi. Sayang, Indonesia termasuk negara yang tidak memilihnya. Entah karena alasan poilitik atau sekedar ketakutan disebabkan provokasi Barat. Saya khawatir kesadaran akan datang terlambat..!

Peraih Nobel yang ketiga adalah Ahmed Hasan Zewail. Berbeda dengan Anwar Saddat dan El Baradey yang sangat kental muatan politisnya, Zewail memperoleh hadiah Nobel karena jasanya yang sangat akademik. Ia menemukan teknik spektroskopi dengan menggunakan pancaran laser gelombang pendek yang disebut femtosecond laser. Teknik yang diketemukan Zewail diperkirakan akan mengubah wajah dunia keilmuan dan teknologi masa depan, khususnya di bidang Kimia dan industrinya. Kini, ia direkrut menjadi guru besar di California Institute of Technology, Pasadena, USA. Sayang juga, manfaatnya tidak dinikmati oleh Mesir yang menjadi negara kelahirannya..!
(agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 29 Juli 2010)

Kamis, 14 Oktober 2010

~ INSPIRASI NOBEL DI CAFE FISHAWI ~(9)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat








Belum lengkap rasanya, kalau berkunjung ke Kairo tanpa mampir ke bazar Khan El Khalili. Inilah pusat cindera mata sekaligus deretan cafe yang selalu dikunjungi oleh para turis mancanegara. Ibaratnya kota Yogyakarta, inilah Malioboronya. Atau, kalau di Bali, inilah kawasan Kuta. Belum disebut kesana jika belum mengunjunginya.

Sudah dua kali, saya berkunjung. Yang pertama, saat belum menetap di Mesir. Ketika itu saya datang bersama keluarga, sepulang umroh. Kami membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Indonesia. Yang kedua, beberapa hari yang lalu, ketika mendampingi sejumlah jamaah umroh yang bareng saya mampir ke Mesir.

Demikian terkenalnya bazar Khan El Khalili, sehingga tercantum di dalam buku-buku tur, brosur, peta, dan berbagai petunjuk turisme yang dijadikan pegangan oleh para pelancong. Bahkan sampai dibuat ’replikanya’ di mall terbesar kota Kairo: City Stars. Setiap hari bazar ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Lokasinya, berdampingan dengan kampus Al Azhar dan masjid Al Hussein, yang berada di kawasan lama kota Kairo. Karena itu, suasananya sangat klasik dan penuh aroma sejarah.

Bazar Khan El Khalili tak lebih dari sebuah pasar tradisional, yang digelar di lorong-lorong bangunan apartemen kuno. Bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal dan sejumlah penginapan. Sedangkan lorong-lorongnya menjadi pasar tradisional. Sebagian besar dagangan digelar di dalam kios dan toko. Tapi sebagiannya lagi meluber sampai ke gang-gang. Barang yang diperdagangkan sangat beragam, dan khas Mesir. Mulai dari pernak-pernik aksesoris Mesir kuno, seperti miniatur piramida, kuil, patung Firaun, pakaian tradisional, lukisan dan kaligrafi di kertas papirus, alat-alat musik tradisional, sampai perhiasan dan permata. Harganya murah, tapi harus pandai menawar.

Para tour guide selalu mengingatkan, agar para turis menawar dengan diskon 70 persen terlebih dulu dari harga yang ditawarkan, lantas merambat naik sampai sekitar separo harga. Malahan, sambil bercanda, Shrouk Farouk Mohamed, seorang pemandu wisata menyarankan agar tidak segan-segan menawar sampai 90 persen. Dan harus pandai-pandai beradu mulut. Atau beradu bahasa tarzan alias bahasa isyarat, jika ingin memperoleh harga terbaik.

Di lorong-lorong itu juga terdapat sejumlah café. Salah satunya adalah Café Fishawi. Inilah cafe yang sering dipakai nongkrong oleh Naguib Mahfouzh, salah seorang peraih penghargaan Nobel di bidang sastra. Warga negara Mesir yang menerima Nobel tahun 1988 itu memiliki puluhan karya yang legendaris. Diantaranya adalah yang berjudul Khan El Khalili, nama pasar tradisional itu. Dan, di Cafe Fishawi itulah dia menggali inspirasinya.

Saya menyempatkan diri untuk mampir ke cafe itu. Ingin merasakan suasana yang membuat Naguib bisa memperoleh inspirasi-inspirasi kelas dunia. Situasinya memang sangat khas Mesir: perpaduan antara tradisi dan modernitas. Dinding-dinding ruangannya dilapisi kayu ukir khas Mesir, dengan warna coklat gelap. Di beberapa bagiannya dipadu dengan kaca cermin ukuran besar, agar ruangannya terasa lapang. Karena, memang cafe itu tidak seberapa besar. Bahkan ruangan dalamnya sempit, hanya sekitar 2 meter x 10 meter,  sehingga sebagian besar kursinya harus ditata di jalanan ~ lorong bazar Khan El Khalili yang berupa gang.

Pengunjungnya sebagian besar adalah turis mancanegara. Dari Eropa, AS, Jepang, Rusia,  Australia dan negara-negara Asia. Maka, suasananya menjadi sangat khas dari berbagai bangsa. Demikian pula suara-suara teriakan bahasa slank Mesir bercampur dengan bahasa Inggris, Rusia, Jepang, dan lainnya. Namun, saya lihat pengunjung sangat menikmati. Padahal, menunya tidak banyak. Tidak ada minuman keras. Yang ada hanya Qahwa (kopi), Syai (teh), Ashir (jus buah), Maya (air mineral), dan sejumlah makanan kecil.

Selain itu, bagi yang ingin mencoba rokok khas Mesir bisa mencoba Shisa. Itu adalah sebentuk piala yang diisi dengan semacam tembakau beraroma buah-buahan atau wewangian lainnya. Cara mengisapnya, lewat selang panjang yang saluran asapnya dilewatkan air di dalam tabung yang berfungsi sebagai filter. Banyak bule yang saya lihat mencobanya. Sekali merokok, membayar antara 10 – 20 LE (pound Mesir), bergantung pada jenis ’tembakaunya’.

Saya sendiri dan isteri hanya pesan Ashir Mango (jus Mangga) seharga 8 LE dan Maya Barid (air mineral dingin) seharga 3 LE. Sedangkan kawan saya, Yovi pesan Syai Suhna (teh panas) seharga 6 LE. Dengan itu kami sudah bisa duduk berlama-lama sambil mengobrol dan menikmati suasana internasional yang mengasyikkan.

Rupanya suasana internasional itulah yang memunculkan inspirasi bagi Naguib. Disana berkumpul beragam karakter yang mengilhami novel-novelnya. Perpaduan antara tradisi kental a la Mesir dan komunitas internasional yang terbuka. Ia menulis lebih dari 30 buku novel dan 350 cerita pendek yang dimuat di berbagai media, selama 72 tahun masa produktifnya. Karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia juga menghasilkan sejumlah karya dan script film layar lebar. Dan pernah menjabat sebagai direktur utama lembaga perfilman serta konsultan Departemen Kebudayaan Mesir.

Sejumlah tulisannya sangat kontroversial. Diantaranya yang menyulut kekerasan adalah ‘Anak-anak Gebelawi’ (1959) yang dilarang beredar di Mesir, karena dianggap merendahkan agama-agama Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ia dianggap murtad dari Islam oleh sebagian kelompok radikal Mesir. Dan kemudian ditarget untuk dibunuh, saat keluar dari Cafe Fishawi, di kawasan Khan El Khalili.

Saat itu, 1994, Mahfouzh berusia 82 tahun. Untung, luka tusuk di lehernya tidak sampai mengantarkan pada kematiannya. Dia bisa diselamatkan. Dan sejak itu ia tidak berani lagi melakukan kebiasaan nongkrong di cafe. Ia memindahkan tempat mencari inspirasinya ke sebuah rumah yang dibelinya di pinggiran sungai Nil. Disanalah ia menghabiskan waktunya sampai tutup usia di tahun 2006, pada usia 94 tahun.

Namun, nama Naguib Mahfouzh tetap dikenang oleh masyarakat Mesir. Baik yang pro maupun yang kontra. Apalagi setelah menerima hadiah Nobel. Negara-negara sekitarnya yang dulu ikut mem-black list, lantas memberikan izin bagi peredaran buku-buku kontroversialnya. Mahfouzh menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Arab, karena dialah satu-satunya penerima Nobel Sastra dari kawasan ini.

Sementara itu, di kawasan Khan El Khalili nama Naguib Mahfouzh masih melekat, karena kesukaannya nongkrong disana. Sebagian turis berkunjung ke Cafe Fishawi untuk sekedar merasakan suasana yang menginspirasinya dalam menulis novel-novel yang legendaris. Termasuk saya. Siapa tahu, saya ketularan olehnya..!
 (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 22 Juli 2010)

Rabu, 13 Oktober 2010

~ Umroh dari Mesir, Paspor Dikirim ke Indonesia ~(mesir 8)



Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Baru kali ini saya berangkat umroh dari Mesir. Biasanya, saya berangkat dari Indonesia bersama jamaah. Hal ini terpaksa saya lakukan, karena sejak beberapa bulan lalu saya memang tinggal di Mesir untuk setahun ke depan.

Ternyata agak rumit juga urusannya. Semula, saya kira, dengan tinggal di Mesir kegiatan umroh saya akan lebih mudah. Sebab, jaraknya lebih pendek – hanya sekitar 2 jam perjalanan dari Kairo menuju Jeddah. Juga, selisih waktunya hanya 1 jam. Dengan demikian adaptasinya tidak seperti dari Indonesia yang memiliki selisih waktu 4 jam, dan menempuh perjalanan sekitar 10 jam dengan pesawat.

Masalahnya bukan pada soal adaptasi waktu dan lamanya perjalanan. Melainkan, administrasi dan dokumen. Untuk bisa berumroh dan berhaji dari Mesir, seorang warga asing harus sudah tinggal di Mesir selama setahun. Dan, memperoleh izin tinggal alias visa selama 6 bulan selanjutnya. Walhasil, saya tidak memenuhi syarat itu. Dan terancam tidak bisa berangkat umroh Juli 2010.

Padahal, jamaah yang mendaftar umroh di Indonesia sudah puluhan orang. Dan mereka sudah membayar biaya pendaftaran untuk umroh khusus bersama saya. Memang, setiap tahun saya menyelenggarakan umroh 2-3 kali. Saya sempat was-was, bagaimana jadinya jamaah, kalau saya tidak bisa berangkat kali ini.

Maka saya pun mencari informasi ke kawan-kawan yang sering umroh dari Mesir. Ternyata ada dua cara yang biasa dilakukan. Yang pertama, menggunakan jasa travel setempat. Tentu saja dengan ’biaya’ cukup mahal, karena harus ’menyiasati’ waktu-tinggal saya yang belum setahun di Mesir. Dan yang kedua, mengurus visa di Indonesia, dengan cara mengirim paspor saya dan istri ke Jakarta. Meskipun yang ini sangat riskan, karena paspor bisa ketlingsut di tengah jalan. Sebenarnya, ada biro travel yang bisa ’mengatur’ urusan visa saya di Mesir, asal saya mau membayar biayanya, sekaligus uang jaminan 1000 USD, untuk kembali ke Mesir.

Mengenai ’uang jaminan’ ini memang ada ceritanya. Ternyata banyak orang yang berangkat umroh dari Mesir, tidak kembali lagi ke Mesir. Kebanyakan mereka mencari kerja di Saudi. Jadi, umrohnya itu sekedar untuk ’jembatan’ bisa masuk ke Saudi. Sejak trik semacam itu ketahuan pemerintah Saudi, dibuatlah peraturan tentang ’uang jaminan’. Setiap jamaah harus menaruh ’uang jaminan’ bahwa mereka tidak akan menetap di Saudi, dan akan kembali ke Mesir dalam kurun yang telah diberikan izinnya.

Selain oleh para TKI, umroh sering dijadikan ’jembatan’ juga oleh mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menetap sementara di Arab Saudi. Biasanya, mereka berangkat umroh di bulan Ramadan. Dan kemudian menetap di Saudi sampai datangnya musim Haji. Untuk apa? Selain melaksanakan Haji, ternyata untuk bekerja selama musim haji.

’’Mereka yang berangkat umroh di bulan Ramadan, hampir bisa dipastikan bertujuan untuk menetap sampai musim haji,’’ kata seorang mahasiswa S-2 Al Azhar yang sering mengoordinasikan jamaah umroh dari kalangan mahasiswa. Padahal, menetap sampai musim Haji itu adalah ilegal. Jika ketahuan pasti ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi. Kemudian didenda 3000 riyal atau 1000 USD. Karena itu, travel-travel mengenakan uang jaminan sebesar 1000 USD, sebab merekalah yang bakal menanggung dendanya, jika jamaahnya ’menghilang’.

Bagi mahasiswa Indonesia di Mesir, bisa pergi haji adalah kebanggaan sekaligus berkah. Karena relatif mudah bagi mereka untuk memperoleh rezeki disana. Sebagai mutowwifalias pemandu haji, atau pun ’tukang dorong’ kursi roda bagi jamaah yang sudah berusia lanjut. ’’Sekali dorong dapat 100 USD. Jadi lumayanlah buat kantong mahasiswa. Selama musim haji, kadang bisa mencapai 20 dorongan. Dan, mendapat 2000 USD atau setara Rp 20 juta. Benar-benar tukang becak termahal di dunia,’’ katanya lantas tertawa.

Dengan memperoleh rezeki sebesar itu, mahasiswa Indonesia banyak yang tergiur. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib ke Saudia, sambil beribadah. ’’Biaya haji saya tertutup oleh hasil kerja disana mas,’’ tuturnya lagi. Memang, kalau dihitung-hitung, tertutupilah ’biaya haji’-nya. Mereka berhaji dengan biaya umroh Ramadan, yaitu sekitar 600 USD jika menggunakan kapal laut. Atau, 800 USD jika menggunakan pesawat. Untuk menghemat biaya, banyak diantara mereka yang menggunakan kapal laut. Lantas, membayar biaya jaminan 1000 USD. Jadi masih bisa tersisa 400 USD. Atau lebih, jika mereka bekerja keras selama musim haji.

Tetapi, yang celaka adalah penyelenggara umroh mahasiswa. Disebabkan oleh banyaknya jamaah yang menetap sampai musim Haji, ia tidak lagi dipercaya oleh Kedutaan Saudi saat pengurusan visa. Sudah dua tahun ini ia menemui masalah. Visa sulit keluar. Bahkan tahun lalu, dari seratus visa yang diajukan hanya keluar 7 buah. Sehingga banyak jamaah yang tidak bisa berangkat. Padahal sudah membayar uang muka sebesar 200 USD untuk pengurusan dokumen. Dan, sudah hampir setahun ini uang administrasi itu tetap ditahan oleh pihak travel. Alasannya bermacam-macam.

Yang lebih parah, 2 tahun sebelumnya. Si penyelenggara umroh mahasiswa itu harus kehilangan sertifikat rumah yang dijadikan jaminan. Ceritanya, karena seringnya mahasiswa Indonesia ’menghilang sampai musim haji’ selama di Saudia, maka pihak kedutaan Arab di Indonesia meminta jaminan kepada penyelenggara. Ia menjaminkan sertifikat rumahnya. Ia berani melakukannya, karena sekitar 100 mahasiswa yang berangkat itu berjanji akan kembali ke Mesir tepat waktu. Ternyata tidak. Sekitar 60 persen jamaah yang berangkat ’menghilang’ sampai musim haji. Maka, kena dendalah si penyelenggara umroh. Ia harus membayar denda sekitar 60.000 USD alias Rp 600 juta. Sertifikat rumah pun melayang.

Sejak itu, umrah Ramadan dari Mesir bermasalah. Meskipun visa diurus di Indonesia. Biasanya, paspor jamaah dikirim lewat kurir ke Indonesia, lantas dimintakan visa disana. Setelah selesai, dikirim balik ke Mesir. Mengirimnya tidak bisa pakai ekspedisi, karena pasti nyantol di imigrasi bandara. Harus lewat kurir. Atau, dititipkan orang Indonesia yang sedang pulang kampung. Itupun, pengurusan di kedutaan Arab Saudi di Indonesia tidak mudah, disebabkan pengalaman buruk yang terjadi sebelumnya.

Begitu juga visa umroh saya kali ini. Saya harus mengirimkan paspor saya ke Indonesia. Tidak bisa pakai ekspedisi, harus lewat kurir atau kenalan yang pulang kampung. Selama beberapa hari saya tidak menemukan solusinya. Tapi, syukurlah ternyata ada yang pulang ke Indonesia persis di tanggal-tanggal saya membutuhkan pengurusan visa. Beliau adalah yang terhormat Dubes RI, Bapak A.M. Fachir. Tentu saja saya tidak menitipkan kepada beliau, melainkan kepada staf beliau, yang kebetulan adalah sabahat saya. Alhamdulillah, Allah memang Maha Pemurah...!
Agus Mustofa
 (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 15 Juli 2010)

Senin, 11 Oktober 2010

-Alexandria, Perpaduan Keindahan & Sejarah ~(mesir 6)





Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Alexandria benar-benar sangat indah. Kota pantai terpanjang di Mesir itu juga menyimpan sejarah yang sangat tinggi nilainya. Sosoknya terpampang jelas sampai kini. Inilah kawasan paling utara Mesir yang menjadi saksi sejarah masuknya peradaban Islam dan Romawi ribuan tahun silam.

Pantainya menghadap ke laut Mediterania yang benar-benar memesona. Pasirnya putih kekuningan, khas padang pasir Timur Tengah. Berbaur dengan bebatuan yang menonjol disana-sini. Saya sempat menyusuri pantainya dengan berkendara mobil, dan mengukur jauhnya. Ternyata panjang sekali, sekitar 25 kilometer. Benar-benar pantai yang sangat eksotik.

Diujung paling barat terdapat benteng Qait Bey ~ sultan dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir dan Suriah tahun 1468-1496 M ~ dan di ujung paling timur ada Taman  Muntazah seluas 155 ha, dimana istana Raja Farouq berada. Raja Farouq adalah keturunan terakhir dari dinasti Muhammad Ali yang menjadi penguasa Mesir sejak abad 19. Raja Farouq digulingkan lewat kudeta militer oleh Gamal Abdul Nasser yang kemudian menggantikannya. Sekaligus mengubah sistem kerajaan menjadi sistem Republik, sejak tahun 1953.

Kudeta militer itu dilakukan, karena Raja Farouq dikenal sebagai raja yang suka berfoya-foya dalam kemewahan. Dan dianggap menghabiskan kekayaan negara untuk berbagai aktifitas pribadinya. Maka ia pun diasingkan ke Monaco, sampai meninggalnya. Disebabkan oleh kebiasaan makannya yang buruk, tubuhnya menjadi sangat gemuk dengan bobot 140 kg. Ia meninggal di atas meja makan, saat jamuan makan di Roma Italia, pada usia 45 tahun.

Asetnya yang sangat banyak dilelang oleh negara, setelah ia meninggal. Dan istananya yang di Alexandria pun dialihkan menjadi milik negara. Kini, Istana Raja Farouq digunakan sebagai tempat menerima tamu-tamu kenegaraan Mesir. Arsitek bangunannya sangat menawan, dan posisinya strategis. Dari sini kita bisa melihat hamparan laut Mediterania yang memesona. Apalagi di sana terdapat jembatan peninggalan Raja Farouq, yang khusus dibangun sebagai tempat untuk menikmati kawasan indah itu, lengkap dengan taman dan gazebonya.

Benteng Qait Bey adalah bangunan pertahanan yang didirikan oleh Sultan Qait Bey untuk menghadang gempuran pasukan Turki, dinasti Usmani. Bangunannya persis di pinggir laut, di bagian daratan yang menjorok. Berada di bagian paling atas, saya menyaksikan air laut yang langsung menghampar luas. Sehingga, memang sangat strategis untuk menghadang pasukan yang datang dari bagian utara, lewat laut.

Terdapat ruang-ruang perlindungan yang berlubang-lubang untuk menyorongkan senjata laras panjang ataupun meriam, menembaki musuh yang datang ketika mereka sudah berada dalam jarak jangkau tembakan. Sangat khas peperangan abad pertengahan. Tentu sekarang sudah tidak berguna lagi, karena bisa diserang dengan menggunakan pesawat terbang dengan bom-bom yang dijatuhkan dari atasnya. Atau, lebih gawat lagi dengan mengunakan peluru balistik yang memiliki daya jangkau ratusan sampai ribuan kilometer. Karena itu, benteng ini tinggal menjadi kenangan masa lalu, dan kini sekedar menjadi museum yang menyimpan sejarahnya.

Obyek menarik lainnya adalah perpustakaan Alexandria, tidak jauh dari benteng Qait Bey. Inilah perpustakaan terbesar dan tertua di dunia, yang menyimpan jutaan buku dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mulai dari zaman sebelum Masehi sampai zaman modern kini.
Cikal bakalnya dirintis pada tahun 323 SM, ketika kawasan ini dikuasai oleh Alexander The Great. Atau yang kita kenal sebagai Iskandar Zulkarnaen. Karena itu, oleh masyarakat Mesir kawasan ini disebut dengan 2 nama, yaitu Alexandria atau Iskandariyah. Inilah ibukota Mesir di zaman itu. Selama sekitar 1000 tahun Mesir berpusatkan disini. Dan baru dipindahkan ke Kairo oleh Amru bin Ash, ketika Islam masuk ke Mesir pada tahun 621 M.

Iskandar Zulkarnaenlah yang mula-mula membangun kota ini dengan mendatangkan sejumlah arsitek dari Yunani. Maka, kawasan ini sangat terasa selera Romawinya. Dan masih nampak dari berbagai bangunan peninggalannya. Termasuk, gedung theatre tempat adu gladiator yang sempat saya kunjungi. Tiruan gedung Colloseum di Italia, yang sudah ambruk dan berbentuk setengah lingkaran itu.

Iskandar Zulkarnaen memiliki panglima perang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, yaitu Ptolemi 1. Di zaman ptolemi 1 inilah ia mulai membangun perpustakaan yang sangat besar. Sehingga sampai di era Ptolemi 3, jumlah buku dan manuskrip yang ada di dalamnya sudah mencapai sekitar 700.000 buah. Sayang, perpustakan itu dihancurkan oleh Yulius Caesar, saat ia menyerang Mesir pada tahun 38 SM. Tak kurang dari 400.000 buku ludes dilalap api. Meskipun, kemudian Yulius Caesar meminta maaf dan menggantinya dengan menyumbang buku sebanyak 200.000 buah kepada ratu Mesir, Cleopatra, yang kemudian menjadi kekasihnya.

Perpustakaan yang sangat bersejarah itu lantas dibangun kembali pada tahun 1990 atas bantuan UNESCO. Baru selesai pada tahun 2002. Dan menjadi perpustakaan modern terbesar di dunia, dengan biaya sekitar USD 220 juta. Dilengkapi 500 komputer yang bisa mengakses semua buku secara digital, perpustakaan ini bisa menyimpan tak kurang dari 8 juta buku dari berbagai disiplin ilmu. Daya tampung ruangannya sekitar 1.700 orang. Difasilitasi ruang-ruang seminar dan pusat penelitian.

Disini tersimpan buku-buku dari berbagai bahasa, sejak zaman Yunani, Mesir Kuno, zaman keemasan Islam, sampai zaman modern. Diantaranya juga terdapat kitab Hindu dan Budha. Dari perpustakaan ini pula lahir nama-nama besar ilmuwan abad ketiga SM seperti Archimedes yang ahli matematika, Aristarchis yang secara spekulatif menyodorkan teori astronomi Bumi mengelilingi matahari, dan Euclides sang penemu ilmu geometri, matematika dan arsitektur.

Menyusuri kawasan wisata di Alexandria menjadi lebih lengkap dengan berziarah ke makam Luqman el Hakim yang namanya diabadikan dalam kitab suci al Qur’an sebagai nama surat ke-31. Dia adalah ’orang biasa’ yang dipuji-puji oleh al Qur’an karena nasehatnya yang bijak kepada anak-anaknya. Diantaranya, harus berbakti dan memuliakan orang tua, serta hanya bertuhan kepada Allah saja.

Juga masjid Al Abbas Al Mursyi, masjid berarsitektur unik dengan bentuknya yang segi enam dan empat kubah yang menjulang megah ke angkasa. Inilah masjid utama di Alexandria yang mengisi langit kawasan wisata itu dengan seruan ibadah. Al Mursyi adalah guru tasawuf Ibnu Atho’illah pengarang kitab Al Hikam yang banyak dibahas dan dipelajari oleh kalangan salaf di Indonesia.

Mengakhiri kunjungan di Alexandria, kami makan ikan bakar dan seafood di rumah makan yang menghadap ke pantai lepas. Sungguh romantis. Sayang, masakan disini lebih cenderung berasa hambar khas Eropa dan sangat kecut kesukaan orang Mesir. Tidak begitu cocok dengan lidah Indonesia. Apalagi harganya mahal, khas daerah wisata. Enakan makan nasi bebek dengan sambalnya yang pedas di Surabaya: berkeringat dan murah meriah..! (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Jawa Pos Grup, 2 Juli 2010).
Agus mustofa....




Sabtu, 09 Oktober 2010

~ MAL PUN DIJAGA ANJING MILITER ~(mesir 5)


Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat




Nuansa politik yang militeristik di Mesir terasa sampai di pusat-pusat perbelanjaan. Pokoknya, dimana pusat keramaian, disitulah ada intel. Bahkan, tak jarang diiringi jejeran panser dengan pasukan bersenjata lengkap. Termasuk di sekitar masjid al Azhar ketika menyelenggarakan shalat Jum’at. Suasana ’tegang’ semacam itu, bisa dijumpai dimana-mana, dan terasa oleh mereka yang baru datang ke Mesir. Sementara, bagi penduduk setempat, itu adalah hal biasa.

Hari Jumat, untuk pertamakalinya , saya shalat di masjid Al Azhar yang legendaris. Bayangan saya, inilah masjid kampus tertua di Mesir yang telah mencetak ribuan ulama di seluruh dunia. Tentu, suasananya sangat akademik dan megah secara keilmuan. Bahkan, dalam bayangan saya, masjid itu juga megah secara fisik dan terawat dengan baik, di lingkungan yang asri, karena merupakan peninggalan sejarah yang tak ternilai dalam khasanah Islam.

Memasuki kawasan Al Azhar, saya tidak merasakan apa yang menjadi bayangan saya. Jalanan di sekitar al Azhar sedemikian ramainya. Cenderung macet. Apalagi menjelang waktu shalat Jum’at begini. Bahkan, hari-hari biasa pun, kawasan ini terkenal padat karena dekat dengan pasar Hussein dan bazaar Khan el Kholili. Mirip ’pasar seng’ di Mekkah yang menyediakan segala macam keperluan masyarakat. Mobil bercampur sepeda motor, gerobak, dan jejalan orang berjalan kaki. Saya teringat kawasan Ampel di Surabaya tempo dulu. Meskipun sekarang sudah semakin mending karena mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya.

Saya benar-benar menyayangkan kondisi ini. Karena, tempat-tempat bersejarah yang lain seperti Piramid, museum Mesir kuno, benteng shalahuddin, dan berbagai situs yang komersial, mendapatkan perawatan yang cukup baik. Mungkin, karena mereka memperoleh dana perawatannya dari tiket masuk. Tetapi, menurut saya, masjid-masjid bersejarah itu pun mestinya bisa dikelola dengan cara sedemikian. Bukan hanya Al Azhar, masjid Amru bin Ash pun sama memprihatinkannya. Padahal dia adalah tokoh ’pembuka Mesir’, di zaman khalifah Umar bin Khathab. Dan juga Masjid Imam Syafii, dimana makam tokoh Mazhab terbesar di dunia Islam itu berada. Semuanya sangat mengenaskan. Berbungkus debu tebal dan kurang terawat.

Pikiran saya yang ’melantur’ tiba-tiba buyar ketika saya hampir memasuki pintu gerbang kampus al Azhar. Saya merasa aneh, karena di depan saya berjejer belasan panser, dan puluhan personal keamanan bersenjata lengkap. Ada yang berdiri di jalanan dan kemudian mondar-mandir. Ada yang di dalam mobil sambil mengoperasikan peralatan komunikasi. Ada yang duduk-duduk selonjor di dalam truk, tapi sambil melirik-lirik dengan pandangan mata tajam penuh selidik kepada setiap orang yang lewat.

Waktu itu, saya kebetulan membawa kamera foto, baru pulang dari mengelilingi tempat-tempat bersejarah. Tidak nyaman rasanya meninggalkan kamera di mobil. Maka, kamera pun saya tenteng masuk masjid. Ternyata bermasalah. Saya dicegat oleh personal keamanan. Dan ditanya macam-macam. Intinya dilarang membawa kamera ke dalam kampus. Untung, saya bersama sejumlah mahasiswa al Azhar. Mereka menunjukkan kartu Mahasiswanya, dan menjelaskan bahwa saya adalah tamu mereka. Turis biasa.

Seorang mahasiswa al Azhar, mengatakan kepada saya, jangan sampai saya menyebut diri sebagai shohafian ~ wartawan. Bisa-bisa dikuntit intel kemana pun saya pergi. Masuk dalam daftar orang-orang yang harus diawasi. Tensi politik di Mesir benar-benar sangat tinggi. Orang yang dicurigai secara politik, bisa ditangkap tanpa proses hukum apa pun. Dalam guyonan mereka, ’setiap satu orang target dikuntit oleh 3 orang intel’, dalam urusan politik.

Saya tanyakan kepada mahasiswa al Azhar, kenapa penjagaannya sedemikian ketatnya. Padahal, itu adalah kawasan masjid dan kampus. Katanya, pemerintah tidak mau kecolongan terhadap mahasiswa-mahasiswa yang berdemonstrasi. Karena, tidak jarang, seusai shalat Jum’at ada demo semacam itu. Misalnya, demo tentang penyerangan Israel terhadap Palestina beberapa waktu yang lalu. Ataupun, demo-demo lain yang bernuansa politis. Pemerintah menerapkan sistem militeristik untuk menekannya. Kestabilan keamanan adalah nomer wahid di Mesir.

Yang lain-lain boleh, dan diberi keleluasaan untuk berkembang seluas-luasnya. Tetapi jangan coba-coba menyentuh sektor keamanan. Terutama keamanan pemerintahan yang sedang berkuasa. Pemerintah pimpinan presiden Husni Mubarak berkuasa sejak tahun 1981, seusai Presiden Anwar Sadat terbunuh dalam suatu upacara militer. Ketika itu, Husni Mubarak menjabat sebagai wakil presiden dan lantas mengambil alih kekuasaan, sepeninggal Anwar Sadat. Militer berada di belakangnya sepenuhnya selama 30 tahun kekuasaannya.

Saat ini usia Husni Mubarak menginjak 81 tahun. Pada pemilu tahun depan, diperkirakan akan muncul kandidat-kandidat baru untuk menggantikannya. Diantara tokoh kuatnya adalah Letnan Jendral Omar Suleiman, Direktur Jenderal Badan Intelijen Mesir. Dia adalah tokoh kepercayaan Husni Mubarak, yang pernah menyelamatkannya dari percobaan pembunuhan di ibukota Etiopia, Adis Ababa, 1995.

Mesir stabil selama pemerintahan Mubarak. Negara dikendalikan dengan undang-undang darurat militer, yang diperpanjang lagi dua bulan lalu. Siapa saja berani melakukan aktifitas yang mengganggu, apalagi menggoyang kekuasaan langsung berhadapan dengan mekanisme militer. Dan diamankan tanpa ba bi bu lagi. Karena itu, tidak heran dimana-mana di penjuru Mesir terlihat panser dan tentara bersenjata lengkap siap mengamankan siapa saja yang berani coba-coba bikin onar.

Bahkan di Mal terbesar di Kairo, City Stars, saya sempat dibikin heran karena di pintu masuknya ada pasukan keamanan dengan anjing pelacak besar-besar. ’’Ada apa ini mas, kok diperiksa pasukan keamanan di pintu masuk Mal?’’ tanya saya kepada Rizky, mahasiswa Al Azhar yang saya ajak waktu itu. ’’Ah, ini biasa saja pak Agus. Beginilah setiap harinya, pasukan keamanan dimana-mana. Yang penting kita tidak mengutak-atik politik, aman-aman saja,’’ paparnya.

Dua anjing Herder yang sangat besar selalu diajak pasukan keamanan untuk memeriksa mobil-mobil yang masuk ke lokasi parkir. Rasanya seperti mau memasuki kawasan dengan kerahasiaan tingkat tinggi saja layaknya. Bukan pusat perbelanjaan. Namun, penduduk setempat sudah biasa dengan yang demikian itu. Bahkan sebagian kalangan malah merasa nyaman dengan situasi dan kondisi semacam ini. Maka, Mal City Stars ~ yang lebih megah dan lebih besar dari Tunjungan Plaza ~ itu pun menjadi tempatfavourite berkumpulnya para selebritis Mesir.

Yang masih tetap aneh bagi saya, disini pun kami sempat dilarang untuk memotret oleh penjaganya. Padahal, sekedar berpose di dekat pintu gerbang. Tapi, kemudian saya berusaha memakluminya, ketika sampai di pintu masuknya. Disitu pun terdapat peralatan scanning seperti di bandara-bandara. Setiap tas dan barang-barang yang ditenteng harus melewati sensor sinar x dan detektor logam, untuk memastikan apakah ada barang berbahaya di dalamnya. Mungkin mereka takut kecolongan seperti yang terjadi di Mega Kuningan, Jakarta. Bom meledak di pusat pertemuan orang-orang penting dari berbagai negara manca. Mudah-mudahan, bukan karena paranoid semata... (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 25 Juni 2010)



Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Jumat, 08 Oktober 2010

~ Nyaris Terkubur Bersama Fir’aun ~(mesir 4)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat

Peninggalan Firaun bertebaran di negeri Mesir. Salah satunya adalah kuburan Firaun yang ada di Kairo, yaitu Piramid. Sebenarnya, jenazahnya sudah tidak lagi disana, tersimpan di Museum Kairo dalam bentuk mumi, tetapi kuburan kosong itu masih menyimpan begitu banyak misteri yang menyeramkan. Konon banyak pintu dan lorong misterius di dalamnya, atau senjata-senjata rahasia yang mematikan bagi siapa saja yang memasukinya. Diantara tujuannya, agar kuburan itu tidak terjamah manusia.

Di Kairo, piramid terletak di kawasan Giza, pinggiran ibukota Mesir. Pucuk-pucuknya menjulang ke langit dan sudah tampak dari jalanan di pusat kota. Mengalahkan gedung-gedung tinggi pencakar langit yang menyesaki kawasan padat. Maka, untuk menuju ke kuburan penguasa Mesir Kuno itu hanya butuh waktu 20-30 menit saja.

Ada tiga Piramid yang berjejer secara diagonal. Yang paling besar piramid Cheops, berada di tengah. Diapit dua piramid yang lebih kecil Chevren, dan lebih kecil lagi Menkaura. Saya sempat masuk ke salah satu piramid bersama anak-anak saya. Bukan yang paling besar, melainkan yang nomer dua. Isteri saya tidak berani masuk ke dalamnya, karena jalan masuknya memang agak ’mengerikan’. Seperti lubang sumur yang curam dan gelap. Kedalamannya sekitar 30 m. Dengan arah lubang tidak tegak lurus ke bawah, melainkan turun dengan kemiringan sekitar 45 derajat.

Dari mulut gua yang curam itu, remang-remang kelihatan lantai dasar yang jauh disana. Di ujung anak tangga yang berjumlah ratusan langkah. Kalau setiap anak tangga berjarak 25 cm, maka ada minimal 120 anak tangga untuk sampai ke lantai dasarnya, yang entah akan mengantarkan kita kemana.

Yang lebih mengerikan, selain curam dan remang-remang, lubang masuknya tidak cukup dilalui dengan cara berdiri. Tinggi atap gua itu cuma sekitar 1 meter. Jadi, harus dengan cara membungkuk. Bisa Anda bayangkan, berjalan membungkuk sejauh 120 anak tangga, dan menurun curam dengan kemiringan 45 derajat. Saya awalnya ragu. Tetapi, didorong rasa ingin tahu, dan rayuan anak-anak, akhirnya saya pun membulatkan tekat untuk merasakan petualangan masuk ke kuburan Fir’aun.

Saya turun duluan. Di belakang, menyusul anak-anak saya Citra, Oka, dan Nindya. Berjalan membungkuk sambil menuruni anak tangga yang curam ternyata tidak mudah. Saya, berjalan sambil berpegangan pagar besi di kanan kiri tangga. Yang agak menyulitkan, cahaya di depan saya menjadi remang-remang karena tertutup oleh badan kami berempat. Ya, cahaya dari mulut gua di belakang kami terhalang.

Maka, saya turun dengan hati-hati, karena takut terpeleset. Jika itu terjadi, sungguh berbahaya, karena saya bisa menggelinding seperti batu yang jatuh dari lereng bukit. Setiap anak tangga saya jejaki dengan cermat. Di setiap bibir anak tangga itu dipasangi batang besi, untuk menahan agar anak tangga yang sudah berusia ribuan tahun tidak longsor. Maka, saya bisa menjejak dengan cukup kuat.

Semakin ke bawah, suasananya semakin seram dan misterius. Tetapi anak-anak di belakang saya berusaha mencairkannya dengan bercanda, sambil sesekali mengingatkan saya agar hati-hati dalam melangkah. Saya merasakan keringat dingin mulai meleleh di kening. Dan ada sesuatu yang menghimpit di dada. Nafas mulai memburu. Saya agak heran, kenapa bisa demikian.

Meskipun medannya agak berat dan curam, mestinya saya tidak perlu ngos-ngosan seperti itu. Karena saya tidak sedang mendaki. Saya sedang turun, dengan langkah yang hati-hati. Dan mestinya tidak mengeluarkan tenaga terlalu besar, kecuali tercekam oleh suasana yang agak misterius saja. Tetapi, saya merasakan keringat semakin banyak meleleh, dan nafas semakin berat.

Tak berapa lama, kami sampai di dasar gua. Atau, lebih tepat saya sebut ’sumur miring’ itu. Ruangannya agak lapang, kira-kira berukuran 3 x 3 meter. Disini saya bisa berdiri tegak, sambil melepas lelah karena selama sekitar 15 menit harus berjalan sambil membungkuk. Cahaya matahari pun agak terang menyinari dasar gua. Yang pertama karena mata kami sudah beradaptasi; dan yang kedua karena tidak terhalang lagi oleh badan kami seperti saat di tangga tadi.

Tapi, saya masih merasa aneh, karena keringat dingin terus meleleh di kening dan leher. Dan, dada saya semakin terasa sesak. Berat bernafas. Badan juga agak loyo. Ouhh, tiba-tiba saya menjerit tertahan. Saya baru sadar, ini adalah efek kekurangan oksigen. Ya, saya kekurangan oksigen, disebabkan turun ke dalam ‘sumur miring’ sedalam 30 meter. Jantung saya berdegup kencang, karena tahu bahaya yang sedang mengancam. Kami bisa mati lemas di dalam sini. Terkubur bersama Firaun...!

Saya menjadi bimbang untuk meneruskan petualangan. Saya melihat di depan saya ada anak tangga lagi yang bisa mengantarkan kami masuk ke wilayah lebih dalam. Ruangannya lebih gelap. Tapi, saya dengar ada suara bergema-gema, cukup ramai.

Tiba-tiba, semburat belasan anak muda menuruni tangga, keluar dari ruangan gelap itu. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak dan terengah-engah melewati ’ruangan transit’ dimana kami berada. Mereka berebut merayapi anak tangga yang baru saja saya turuni. Dan bergegas naik ke mulut gua, 30 meter ke atas sana. Rupanya, mereka adalah turis-turis lokal dari luar kota Kairo. Mereka tidak kuat berlama-lama di ruangan bagian dalam itu. Kondisinya sama, kurang oksigen! Apalagi dimasuki oleh belasan orang, benar-benar berebut oksigen diantara sesama mereka.

Udara di sekitar ’ruangan transit’ pun terasa lebih panas. Badan saya semakin berkeringat. Nafas pun serasa lebih sesak, berebut udara dengan anak-anak yang semburat menaiki tangga. Saya menoleh kepada anak-anak saya. Dan bertanya, apakah mereka mau melanjutkan petualangan ke bagian yang lebih dalam...

Mereka menampakkan wajah penasaran. Sebaliknya, saya khawatir. Saya maklum, anak-anak muda memiliki rasa keingintahuan yang lebih besar dibandingkan orang tuanya. Maka, saya katakan ke mereka, bahwa mereka boleh masuk lebih ke dalam, tetapi dengan catatan: harus segera kembali jika oksigennya semakin tipis. Tandanya, bernafas terasa semakin berat.

Maka, Citra, Oka dan Nindya pun bergerak menapaki tangga naik di depannya, menuju ruangan bagian dalam. Sedangkan saya, memutuskan untuk kembali ke atas, ke mulut gua. Belum jauh saya memanjat ’tangga miring’ sambil membungkuk, saya mendengar anak-anak saya berteriak-teriak memanggil saya. Terengah-engah mereka berebut memanjat tangga menyusul saya, untuk kembali ke mulut gua.

Perjalanan memanjat tangga sepanjang 30 meter itu terasa sangat lama dan mencekam. Kami seperti sedang diburu ’hantu Firaun’ yang mengancam jiwa. Dalam keadaan kurang oksigen, kami harus memanjat tangga yang curam seperti itu. Benar-benar sangat riskan. Bisa-bisa kami kolaps di tengah perjalanan, karena oksigen yang kami butuhkan untuk menghasilkan energi tidak mencukupi..!

Tapi syukurlah, akhirnya kami sampai juga di mulut gua. Dengan kaki lemas, hampir tak kuat melangkah. Meskipun, kami sangat lega dan bahagia karena bisa bernafas lagi dengan leluasa di udara terbuka. Alhamdulillaahh...

Di dalam hati kami menggerutu: ’’huhh, ada-ada saja Fir’aun itu. Sudah lama mati, masih juga menyusahkan orang-orang yang ingin ’menziarahinya’...!’’
 Agus Mustofa
(agusmustofa_63@yahoo.com)