Senin, 29 November 2010

~ SALAH KAPRAH MEMAHAMI ‘SERIAL DISKUSI TASAWUF MODERN’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Ada kesalahkaprahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Apalagi ketika kita memahaminya dengan ‘hati jernih’ dan ‘tidak apriori’. Yaitu, persepsi terhadap buku-buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang saya terbitkan selama ini.

Sejak awal terbitnya, buku-buku tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan ‘kebenaran baru’. Karena, bagi saya memang tidak ada kebenaran lama maupun kebenaran baru. Kebenaran adalah ’kebenaran’, yang mutlak milik Allah semata. Yang kita lakukan sebagai manusia hanyalah mencoba melihat dan memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang yang berbeda dan terbatas, sebagai makhluk. Karena itu, kebenaran setiap kita adalah bersifat relatif, sesuai dengan background masing-masing.

Dalam prakteknya, memang ’kebenaran mutlak’ selalu menjadi ’kebenaranku’, ’kebenaranmu’, dan ’kebenarannya’. Dan semua itu, sama-sama bukan kebenaran yang sesungguhnya. Melainkan sekedar ’tafsir kebenaran’ belaka. Jadi, kadang terasa lucu juga jika kita memperdebatkan dan memperebutkan yang namanya ’kebenaran’. Lha wong, itu bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Sehingga dengan tegas, Allah mengatakan di dalam Kitab-Nya bahwa yang tahu tentang kebenaran itu hanya Allah sendiri. Bukan kita. Dialah nanti yang akan menilai apakah seseorang itu ’tidak benar’, ’kurang benar’, ’agak benar’, ’lebih benar’, dan ’semakin benar’. Tetapi tidak akan pernah ’benar’ dengan sebenar-benarnya.

Lantas, kenapa saya menulis buku-buku ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang seakan-akan ingin memperbarui ’kebenaran lama’ menjadi ’kebenaran baru’? Mestinya, pembaca sudah bisa menyimpulkan dari sub judul yang selalu saya cantumkan di halaman sampul setiap buku saya itu. Bahwa ini sekedar ’ajakan berdiskusi’. Karenanya, saya namakan: ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’. Bukan’Serial Kebenaran Tasawuf Modern’, misalnya.

Tapi, kenapa saya mesti mengajak umat Islam untuk berdiskusi? Jawabnya sederhana saja: karena saya ingin menyambut perintah Allah, mengajak manusia menuju jalan Tuhan dengan cara yang dianjurkan-Nya. Sebagaimana ayat yang sering saya kutip, berikut ini.

QS. An Nahl (16): 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yangbaik dan berdiskusilah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya TuhanmuDialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan ayat ini di berbagai forum, termasuk disini. Bahwa setiap kita diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ’kebenaran mutlak’ milik Allah itu kepada orang lain. Padahal, sudah pasti kita tidak memiliki ’kepahaman mutlak’ sebagaimana dimaksudkan Allah? Ternyata tiidak apa-apa, cukup sejauh yang kita pahami saja. Dan, Allah tetap memerintahkan kepada kita untuk melakukan syiar, mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Lantas bagaimana caranya? Ikuti saja kalimat dalam ayat tersebut, yakni harus menggunakan hikmah (substansi alias kedalaman makna beragama) dan yang kedua harus menggunakan mau’idhatul hasanah (metode dan sistematika pengajaran yang baik). Tapi, bukankah sebaik apa pun metodenya dan sedalam apa pun hikmah yang terkandung di dalamnya, setiap kita memiliki perbedaan dalam memahami? Lantas bagaimana kalau terjadi kondisi semacam itu? Ya, ikuti saja kalimat berikutnya dalam ayat di atas: ... ’’berdiskusilah dengan cara yang baik...’’

Nah, buku-buku saya adalah sebuah upaya untuk mengimplementasikan kandungan ayat tersebut. Sebuah ajakan diskusi dengan penuh hikmah danmau’idhatul khasanah. Tapi, lantas dipersepsi sebagai menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Itulah yang saya maksudkan terjadi kesalahkaprahan pada sebagian orang dalam mempersepsi buku-buku saya.

Bagi yang membaca buku-buku saya dengan hati jernih dan tidak apriori, insya Allah akan melihat bahwa apa yang saya sampaikan itu sekedar ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’saya’. Dan sangat mungkin berbeda dengan ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’Anda’ dan ’mereka’. Karena sesungguhnya, saya sangat tahu diri bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.

Pengungkapan pemikiran yang berbeda itu memang saya sengaja, kenapa? Tentu saja supaya terjadi diskusi, sebagaimana sub judul yang selalu saya tuliskan di sampul buku-buku itu. Kalau saya menampilkan pemikiran yang sama dengan kebanyakan pembaca, tentu tidak akan terjadi diskusi. Tidak mengena pada maksud diterbitkannya buku tersebut.

Lantas, kenapa harus dalam bentuk diskusi? [ Syukurlah saya tidak menyampaikan dalam bentuk doktrin... :) ]. Karena Allah memerintahkan kepada kita, agar umat Islam dalam peroses beragamanya tidak cuma ikut-ikutan. Harus paham benar apa yang dilakukan. Bertabayyun. Ingatlah, di akhirat nanti, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Kenapa melakukan ini, kenapa melakukan itu, dan apa alasannya. Lha, kalau cuma ikut-ikutan tentu kita akan ’gelagapan’ ketika Hari Pengadilan itu datang.

Lantas, kenapa saya menyampaikan semua itu dengan gaya ’seakan-akan’ saya sudah benar? Ah, masa iya, saat mengajak Anda berdiskusi, saya harus sambil mengatakan bahwa pendapat saya ini ’tidak benar’. Tentu, Anda tidak tertarik untuk berdiskusi. Lha wong, saya sebagai ’penyampai materi’ sudah tidak yakin terhadap apa yang saya kemukakan. Namun sebaliknya, bukankah saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pendapat saya ini adalah sebuah ’kebenaran’. Dan bukankah di setiap akhir ulasan, saya selalu mengatakan ’Allahu a’lam bishshawab – hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya’...?

Maka, sesungguhnya yang terjadi hanya sekedar sensitivitas dalam berdiskusi. Karena argumentasi yang saya sampaikan seakan-akan menabrak pendapat seseorang, atau sekelompok orang. Padahal yang saya maksudkan adalah ajakan untuk berdiskusi dengan sudut pandang berbeda, terbuka, dan egaliter alias sederajat, dalam memahami ilmu-ilmu Allah. Tentu, agar ajakan diskusi ini memperoleh sambutan dari khalayak, saya harus pintar-pintar ’menarik perhatian’. Tanpa harus mengorbankan misi ataupun melakukan klaim-klaim kebenaran.

Namun yang lebih penting dari itu semua, apa yang saya lakukan ini sebenarnya didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat mendalam terhadap SDM umat Islam yang stagnan alias ’jalan di tempat’. Umat yang didesain Allah sebagai umat teladan ini, ternyata sekarang tidak lagi menjadi teladan dalam kancah peradaban dunia sebagaimana zaman keemasan Islam. Bukan hanya 10 – 20 tahun, melainkan sudah 700 tahun terakhir. Di bidang politik kita tidak teladan. Di bidang ekonomi kita tidak teladan. Di bidang militer kita tidak teladan. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita juga tidak teladan. Sebutlah seluruh bidang-bidang dalam kehidupan kita, apakah umat Islam teladan..?! Bahkan di rumah tangga, pergaulan antar-tetangga, bermasyarakat dan bernegara, kita tidak menjadi teladan.

Ada apa ini dengan umat Islam? Umat yang didesain sebagai umat teladan koktidak menjadi teladan? Pasti ada yang ’salah kaprah’ dengan kita dalam beragama. Kalau cara beragama kita benar, tidak akan begini jadinya umat Islam. Pasti akan menjadi teladan di segala bidang. Ekonomi, politik, militer, sains & teknologi, kesehatan dan kedokteran, pendidikan, dan lain sebagainya. Itulah yang disebut Allah sebagai tatanan masyarakat yang ’rahmatan lil alamin’ dimana umat Islam sebagai khalifah alias panutannya.

Maka, saya ingin mengajak semua umat Islam untuk menata kembali cara beragamanya. Dimulai dari mana? Tentu saja dari ’pola pikir’ dulu. Mind-set yang Qur’ani. Kalau pola pikirnya saja sudah keliru, tentu semua tindakan berikutnya akan keliru. Dan tidak menghasilkan efek yang dijanjikan oleh al Qur’an. Buku-buku yang saya tulis dan forum-forum yang saya hadiri, adalah media untuk mengurai benang kusut yang belum kelihatan ujung pangkalnya itu. Saya kira, kita harus 'banyak bicara' untuk mengurai masalahnya terlebih dahulu. Kita harus berdiskusi tentang segala hal terkait dengan agama dan prakteknya dalam masyarakat. Dan, setelah itu baru melakukan action secara lebih tertata. Kalau dalam pembicaraan aja kita belum bisa mendeteksi masalahnya, maka sudah pastiaction kita tidak akan terarah.

Memang, barangkali akan butuh waktu panjang, lintas generasi, untuk mengatasi masalah kemunduran SDM ini. Tetapi, tidak bisa tidak, harus kita mulai sekarang. Masalah yang paling utama, adalah membuka pola pikir umat Islam seluas-luasnya. Membiasakan diri menerima kebenaran darimana pun itu datangnya. Karena kebenaran yang kita miliki ternyata berbeda dengan kebenaran yang orang lain miliki. Sikap membuka diri terhadap segala kebenaran yang bersumber dari semangat Al Qur’an ini akan menghasilkan arus informasi dan alternatif penyelesaian masalah yang sangat berguna bagi umat Islam ke masa depan. Bukan malah menutup diri terhadap dinamika realitas yang terus bergerak.

Umat Islam selalu ketinggalan kereta. Karena tidak terbiasa berada bersama dengan kenyataan yang melingkupinya. Dan lebih senang terkungkung pada masa lalunya. Padahal Islam dan Al Qur’an diwariskan kepada kita semua untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah keumatan yang semakin kompleks ke masa depan. Maka, kita harus menggali terus mutiara-mutiara hikmah yang ada di dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya di dalam kitab ajaib inilah solusi yang akan mengentas umat Islam untuk menjadi umat teladan kembali di pentas dunia...

QS. Ali Imran (3): 110
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman hanya kepada Allah semata ...

 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~

Sabtu, 27 November 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘ISRA’ MI’RAJ’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Ada kesalahkaprahan yang sudah terjadi berabad-abad, dan sebagian besar kita mendiamkannya saja. Yang saya pun sejak kecil ternyata menikmatinya. Dan kemudian dengan senangnya ikut menceritakan kisah itu kepada kawan-kawan sepermainan saya. Yakni tentang kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW.

Kisah yang saya dengar sejak kecil itu kurang lebih begini. Pada suatu malam Rasulullah melakukan perjalanan yang sangat hebat dari Mekah ke Palestina dengan mengendarai Buraq. Itulah sebuah kendaraan yang mirip hewan. Besarnya antara keledai dan kuda. Punya sayap untuk terbang, yang sekali melesat bisa mencapai jarak sejauh mata memandang. Dan kepalanya berbentuk manusia. Berwajah wanita cantik.

Sesampai di Palestina, Buraq itu ditambatkan di depan masjid al Aqsha. Kemudian Nabi Muhammad bersama malaikat Jibril melanjutkan perjalanan ke langit ke tujuh. Mereka berdua naik dengan menggunakan tangga menuju ke langit yang digambarkan seperti sebuah atap, alias langit-langit. Disana ada penjaganya, yaitu malaikat.

Setiap Nabi dan Jibril sampai di batas lapisan langit mereka mengetuk pintu langit, dan kemudian dari balik pintunya sang penjaga bertanya: siapakah yang datang dan mau kemana? Dijawab, yang datang adalah Jibril dan Muhammad, maka mereka dipersilakan masuk dan meneruskan perjalanan ke langit yang lebih tinggi.

Begitulah yang terjadi di setiap perbatasan langit. Selalu bertemu dengan pintu dan penjaganya, dan kemudian ditanya keperluannya. Sehingga sampailah mereka berdua ke langit yang tertinggi ~ langit ke tujuh ~ tempat keberadaan Sidratul Muntaha. Di tempat itulah Rasulullah bertemu dengan Allah. Dan Jibril tidak bisa masuk ke bagian yang paling dalam, yang bernama Mustawa.

Disana pula Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu, dengan cara tawar menawar atas saran Nabi Musa yang berada di langit ke 6. Semula perintah shalat itu sebanyak 50 waktu. Tetapi, nabi Musa mengatakan umat Muhammad tidak akan mampu melaksanakan. Karena itu, Musa menyarankan agar Nabi Muhammad naik lagi ke langit ke tujuh untuk meminta keringanan.

Lantas diceritakan, Allah memberikan potongan menjadi 45 waktu. Beliau turun ke langit ke 6, Nabi Musa menyuruh Rasulullah kembali untuk meminta keringanan menjadi 40, dan berkali-kali, sampai akhirnya tinggal 5 waktu: Maghrib, Isya, Subuh, Zhuhur, Ashar. Barulah kemudian Nabi turun ke bumi. Begitulah ngaji saya waktu kecil...

Ketika beranjak dewasa, cerita Isra’ Mi’raj sangat 'mengganggu' pikiran saya. Karena banyak hal yang sulit saya terima secara akal sehat. Disaat saya sedang getol-getolnya mencari substansi beragama. Apalagi, saya memiliki ketertarikan kepada sains, dimana saya belajar tentang Fisika Modern.

Muncul pertanyaan dalam benak saya tentang mekanisme perjalanan malam yang sangat menghebohkan itu.
  1. Saya merasa yakin, bahwa perjalanan itu benar-benar terjadi. Karena, yang bercerita adalah Allah sendiri di dalam al Qur’an.
  2. Tetapi benarkah beliau naik Buraq yang dipersepsi sebagai hewan sepertikuda yang bersayap, dan apalagi berkepala manusia, wanita cantik? Apakah ini bukan malah pelecehan, sebagaimana karikatur yang melecehkan Nabi yang dimuat media Barat beberapa tahun lalu? Kenapa kita malah menggambarkan perjalanan itu demikian ’karikaturis’? Bisakah kita menggambarkan perjalanan hebat itu dengan mekanisme yang berbeda, tanpa menghilangkan substansinya?
  3. Benarkah Rasulullah naik ke langit yang bentuknya seperti langit-langit? Sementara ilmu pengetahuan modern mendapati bentuk langit bukanlah seperti atap, melainkan berupa ruang. Dan kemudian beliau ’bertemu’ Allah di langit ke tujuh. Benarkah penggambaran seperti ini: bahwa Allahberada di langit ke tujuh, dan kemudian digambarkan sebagai suatu ’sosok’ yang Rasulullah bertemu face to face - berhadapan muka? Bukankah Allah adalah Dzat yang Maha Besar yang meliputi seluruh langit dan bumi? Yang sudah demikian dekatnya dengan kita lebih dekat dari urat leher kita sendiri? Yang kemana pun kita menghadap sudah berhadapan dengan-Nya? Kenapa kisah itu menggambarkan Allah sedemikian kecilnya sehingga Dzat-Nya terwadahi oleh langit ke tujuh, di Sidratul Muntaha?
  4. Benarkah Rasulullah menerima perintah shalat saat Mi’raj? Sementara beliau sudah shalat jauh-jauh hari sebelum melakukan perjalanan itu. Yang dalam kisah itu pun sudah digambarkan bahwa beliau melakukan shalat bersama arwah para nabi? Dan perintah shalat lima waktu ternyata bertaburan didalam Al Qur’an lewat wahyu biasa. Benarkah pula Rasulullah menerima perintah shalat dengan cara tawar menawar? Seakan-akan beliau orang yang tidak taat dan ikhlas menerima perintah Allah? Oh, saya tidak tega membayangkan Rasulullah yang demikian tinggi akhlaknya digambarkan sebagai Nabi yang suka menawar perintah Allah. Itu jelas-jelas bukan sifat Rasulullah. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya.

Maka, di tahun 2004 saya pun menulis buku serial ke-3: ’Terpesona di Sidratul Muntaha’, sebagai luapan kegalauan hati saya tentang berbagai keganjilandalam kisah yang mestinya penuh hikmah itu. Dan sampai sekarang, buku itu menjadi bahan diskusi yang hangat.

Saya lebih suka melihatnya dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, yang kebetulan menjadi ketertarikan saya. Sehingga dengan masuk akal bisa dicerna oleh akal sehat, dan bisa di-cross-check dengan data-data ilmiah yang sudah terbukti. Daripada saya bercerita bahwa beliau melakukan perjalanan dengan menunggang hewan berbentuk kuda yang bersayap dan berkepala wanita cantik, saya lebih suka menceritakan lewat teori teleportasi. Yakni tubuh beliau diubah Allah menjadi gelombang cahaya. Dan melakukan perjalanan dengan badan cahaya. Karena beliau memang sedang melakukan 'perjalanan cahaya' bersamamakhluk cahaya yang bernama Jibril dan Buraq. Jadi, cahaya bergerak berdampingan dengan sesama cahaya.

Secara Fisika modern ini semakin mendapat pengakuan dan pijakan bukti-bukti empiriknya, bahwa materi bisa dilenyapkan menjadi energi mengikuti rumus terkenal Einstein E=MC2. Apalagi secara laboratorium, juga bisa dibuktikan bahwa ketika sebuah partikel ditabrakkan dengan anti partikelnya, keduanya bakal lenyap berubah menjadi berkas cahaya. Sebaliknya, ketika seberkas cahaya itu dilewatkan medan inti atom dengan kekuatan tertentu, maka keduanya berubah kembali menjadi pasangan partikel-anti partikel. Ini kita kenal sebagai reaksiannihilasi, alias reaksi pemusnahan. Dan yang sebaliknya sebagai reaksi pair-production.

Memang, bukti-bukti empirik itu baru berada pada tataran laboratorium. Dan baru pada besaran partikel, tetapi itu sudah menjadi jalan keluar yang jauh lebih berharga untuk memberikan penjelasan tentang perjalanan cahayaRasulullah dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha. Karena istilah ’buraq’ itu bermakna ’kilat’. Tetapi, orang dulu menggambarkannya dengan ’kuda bersayap’, karena transportasi yang paling cepat waktu itu adalah kuda. Namun, kok dirasa kurang cepat, maka ditambahi saja sayap...:) Ini khas pemikiran abad pertengahan yang belum mengenal Fisika Modern.

Sedangkan saya lebih suka menggambarkan apa adanya, bahwa Buraq adalahbarqun yang bermakna kilat. Artinya, Rasulullah melakukan perjalanan itu dengan kecepatan kilat alias kecepatan cahaya. Yakni dengan mengubah badan beliau lewat reaksi annihilasi menjelang keberangkatan. Sehingga jarak Mekah-Palestina yang sekitar 1.500 km itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 0,05 detik saja. Yang pada zaman Nabi Sulaiman dikatakan sebagai kecepatan yang lebih cepat dari kedipan mata. Yakni, saat staf ahli nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Balqis dari negeri Saba’ ke Palestina.

Sedangkan masjid Al Aqsha, memang bukan masjid yang sekarang ada di Palestina itu. Karena masjid ini baru dibangun pada zaman Khalifah Umar bin Khathab dari reruntuhan tempat ibadah nabi-nabi sebelumnya. Gambaran masjid al Aqsha sebagai bangunan yang dilihat Nabi itu menjadi satu paket dengan kisah Isra’ Mi’raj yang saya dengar semasa kecil. Yang kemudian sekedar menjadi penegas tentang benarnya Rasulullah mengalami perjalanan Isra’.

Masjid al Aqsha bermakna ’tempat persujudan yang jauh’. Ini terkait dengan tempat asal mula berkembangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Bahwa, Ibrahim menyiarkan agama Islam dimulai dari Palestina dan berakhir di Mekah. Karena itu, keturunan Ibrahim sebagian besar berada di Palestina, mulai dari Ishaq sampai Isa. Sedangkan keturunan lainnya ada di Mekah, yakni Ismail dan Muhammad SAW.

Maka, pada awalnya, kiblat shalat umat Islam di zaman Nabi Muhammad pun adalah ke arah baitul maqdis, yakni Palestina. ’Tempat persujudan yang jauh’ dimana keturunan Ibrahim awalnya menyiarkan Islam, dan membangun berbagai tempat ibadahnya. Tapi kemudian, Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengubah kiblatnya ke Mekah, ke Ka’bah yang juga dibangun pendiri Islam: Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya, Ka'bah itulah rumah ibadah yang tertua, lebih tua dari yang ada di Palestina.

Perjalanan Isra’ Mi’raj pun memiliki makna napak tilas perjalanan syiar Islam yang bergerak diantara dua kota paling bersejarah itu: Mekah-Palestina. Sebab, Isra’ Mi’raj bertujuan untuk mengangkat semangat Rasulullah SAW yang sedang downdisebabkan perjuangan syiarnya sedang berada di titik paling berat. Diusir, diancam bunuh oleh orang Quraisy, dan ditinggal wafat paman dan Istrinya. Bahkan, setelah itu, Rasulullah memindahkan medan syiarnya ke kota Thaif pun malah diusir dan dilempari batu sampai berdarah-darah.

Maka dengan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim itu beliau bisa merasakan betapa beratnya juga perjuangan the founding father. Dan, lantas dilanjutkan dengan perjalanan ke puncak langit, Sidratul Muntaha. Apakah untuk bertemu Allah? Ternyata bukan. Melainkan, untuk menyaksikan kedahsyatan ciptaan Allah. Memandang alam semesta raya yang ’berlapis tujuh’ dari puncak tertinggi alam semesta. Sehingga, beliau sampai Terpesona di Sidratul Muntaha. Dan tidak mampu memalingkan pandangannya dari apa yang dilihatnya...

QS. An Najm (53): 14-18
Di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal (lambang keindahan tiada tara), ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu (misteri) yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling (terpaku & terpesona) dari apa yang dilihatnya dan tidak (bisa) melampauinya (tidka bisa melihat apa yang ada di baliknya). Sesungguhnya dia telah melihat sebagianayat-ayat (kekuasaan) Tuhannya yang paling hebat.

Jadi, Mi’raj bukan bertujuan untuk menurunkan perintah shalat, dan mempertemukan Muhammad dengan Allah, melainkan untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang Maha Dahsyat kepada Rasulullah saat-saat beliau sedang terjepit dalam masa perjuangannya. Maka, setelah Isra’ Mi’raj itu Rasulullah menjadi terangkat kembali motivasinya. Lantas berhijrah ke Madinah. Dan kemudian terbukti bisa menaklukkan kota Mekah dari Madinah...!

(Selebihnya, baca buku Terpesona di Sidratul Muntaha. Karena ternyata terlalu banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan disini, disebabkan keterbatasan halaman)
 Agus mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~

Jumat, 26 November 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘KEKHUSYUKAN’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Ada kesalah-kaprahan yang demikian meluas di kalangan umat Islam, yang saya sendiri pun pernah mengalami. Yakni, tentang kekhusyukan shalat. Banyak diantara kita yang tanpa sadar telah menjadikan ‘khusyuk’ sebagai tujuanshalat. Dan lantas, melupakan tujuan yang sesungguhnya dari shalat itu sendiri.

Sesungguhnya, shalat bukan bertujuan untuk memperoleh kekhusyukan. Karena fungsi dasar shalat memang bukan untuk mencapai kekhusyukan. Fungsi dasar shalat menurut al Qur’an ada dua, yakni: dzikrullah dan memintapertolongan.

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (lidzikriy).

QS. Al Baqarah (2): 45-46
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan)shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan bertemu Tuhannya (di dalam shalatnya), dan bahwa mereka (kelak) akan kembali kepada-Nya (bertemu di akhirat).

Khusyuk, dalam ayat di atas didefinisikan sebagai ’keyakinan’ akan bertemu Allah di dalam shalat maupun di luar shalat ~ kelak di hari akhir. Jadi khusyuk bukan tujuan, melainkan motivasi agar kita memiliki keyakinan bahwa kita bisabertemu Allah di dalam aktifitas ibadah kita.

Karena itu, khusyuk bukan menjadi tujuan yang harus dicapai. Cukup ditanamkan ke dalam jiwa kita bahwa kita akan bertemu dan bisa bertemu Allah. Di dalam shalat kita atau ibadah apa pun yang kita lakukan. Karena itu, istilah khusyuk bukan hanya digunakan di dalam ibadah shalat, melainkan juga dalam aktifitas keseharian. Yakni, menunjuk kepada orang-orang yang setiap saat merasa ‘bersama’ Allah. ’Dilihat’ Allah. Dan ’bertemu’ dengan-Nya kemana pun dia menghadapkan wajahnya. Yang karenanya, ia selalu berusaha untuk berbuat kebaikan-kebaikan.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 90
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalahorang-orang yang khusyuk kepada Kami.

Jadi, ketika kita merasa sudah selalu bersama Allah dalam setiap aktifitas, maka kita sudah termasuk orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang-orang yang seperti inilah yang berpotensi untuk khusyuk juga di dalam shalat. Asal tidak salah menempatkan niat, yaitu: shalat untuk mengejar kekhusyukan.

Maka, kalau Anda cermati QS. 2: 45-46 di atas, antara shalat dan kekhusyukan itu prosesnya lebih dulu kekhusyukan. Karena itu kalimatnya begini: ’... yang demikian (menjadikan shalat sebagai media minta tolong) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk...’

Jadi, hanya orang-orang yang sudah khusyuklah yang akan merasa mudah dan ringan untuk meminta pertolongan kepada Allah lewat shalat. Jangan terbalik: dengan shalat kita mengejar kekhusyukan.

Berarti, prosesnya harus dibalik. Kita belajar khusyuk dulu di luar shalat ~ yakni membangun kedekatan dengan-Nya setiap saat ~ maka dengan sendirinya, shalat kita akan menjadi mudah dan ringan untuk minta tolong kepada-Nya. Saat itu, pasti kita ’sudah bertemu’ dengan-Nya di dalam shalat. Bagaimana tidak, lha wong kita sudah berdialog untuk meminta pertolongan kepada-Nya.

Karena itu, bagi yang belum bertemu Allah di dalam shalat, sebaiknya belajar membangun kekhusyukan di luar shalat. Jadikanlah setiap peristiwa sebagai media untuk berdialog dengan-Nya. Dapat musibah dikaitkan dengan Allah, dapat kenikmatan juga dikaitkan dengan Allah. Bangun tidur dikaitkan dengan Allah, sarapan dikaitkan dengan Allah, bekerja dikaitkan dengan Allah, ketemu kawan dikaitkan dengan Allah, diskusi dikaitkan dengan Allah, dan seterusnya sampai tidur kembali dikaitkan dengan Allah.

Inilah orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang yang semacam ini, akan dengan ringannya melakukan shalat untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Di luar shalat ia khusyuk, di dalam shalat pun ia khusyuk. Karena kekhusyukan memang sudah menjadi jiwanya setiap saat...

Maka, melakukan ibadah shalat bukan untuk mengejar kekhusyukan. Orang yang demikian, justru telah menggeser perhatian utamanya: dari bertuhan kepada Allah menjadi bertuhan kepada kekhusyukan. Maka, Allah tidak akan menganugerahkan kekhusyukan kepadanya. Karena yang dirindukan memang bukan Allah, melainkan ’kekhusyukan’.

Allah tidak mengajarkan cara untuk mencapai kekhusyukan, melainkan sekedar memotivasi untuk menjadi khusyuk, yakni mengaitkan segala peristiwa dengan kehadiran-Nya. Apa pun yang hadir di sekitar kita adalah Allah. Baik maupun buruk. Allah sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita dalam semua peristiwa. Di luar shalat maupun di dalamnya.  Lha Dia sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita, kok kita tidak menyambut-Nya, melainkan malah sibuk mencari ’kekhusyukan’ dengan berpusat pada diri sendiri... :(

’Kekhusyukan’ baru akan diperoleh kalau kita memusatkan perhatian kepada Allah, bukan kepada diri sendiri. Kita tinggal memperhatikan-Nya dan kemudian menyambut-Nya, bukan mencari. Dia sudah hadir. Sudah hadir dimana pun dan kemana pun kita menghadap. Bukan dicari, cuma disadari dan ’diperhatikan’ belaka.

Dia sudah hadir di dalam segala yang kita lihat...
Dia sudah hadir di segala yang kita dengar...
Dia sudah hadir di segala yang kita ucapkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita pikirkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita diskusikan...
Dia sudah hadir di seluruh penjuru peristiwa yang melingkupi kita...
Bahkan Dia sudah hadir di triliunan sel-sel tubuh kita...
Karena Dia memang sudah meliputi kita dan seluruh alam semesta...
Kenapa kita masih mencari-Nya...?

Perhatikan saja apa yang sedang muncul dalam kesadaran Anda...
Dan kemudian rasakanlah, bahwa Allah sedang ’menampakan’ Diri-Nya di ufuk mana pun kita menghadapkan wajah...

QS. Al Baqarah (2): 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamumenghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah AllahMaha Meliputi segala sesuatu.

 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshwab
~ salam ~

(Dicuplik dan disarikan dari buku ke-26: ’KHUSYUK, berbisik-bisik dengan Allah’)



Kamis, 25 November 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘SANTUN & MENGULTUSKAN' ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Ternyata masih ada yang bingung membedakan antara makna kata ‘santun’ dan ‘mengultuskan’. Sehingga, memunculkan 'tanda tanya' di hati saya: apakah diskusi ini bisa diteruskan ke bagian yang ‘lebih dalam’? Karena, ternyata ada setumpuk persepsi yang ‘tidak klop’. Khawatir hanya akan menjadi debat yangkontraproduktif.

Allah memuji-muji Rasulullah sebagai orang yang santun dan berbudi pekerti tinggi. Jangan-jangan, nanti dipersepsi sebagai: Allah mengultuskan Rasul-Nya. Apalagi sampai memuji-mujinya di dalam Kitab Suci yang dibaca oleh miliaran manusia. Masih ditambahkan pula, memerintahkan kepada malaikat dan kita semua untuk bershalawat kepada beliau. Bisa-bisa dipersepsi dengan salah kaprah nantinya...

QS. Al Qalam (68): 4
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

QS. Al Ahzab (33): 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Nabi Ibrahim pun dipuji-puji oleh Allah karena kesantunannnya. Dengan sangat terbuka Allah menyebut beliau sebagai manusia yang sangat santun dan berhati lembut. Bahkan kepada orang tuanya yang jelas-jelas musyrik pun. Jangan-jangan pula, nabi Ibrahim disimpulkan mengultuskan orang tuanya yang musyrik.

QS. At Taubah (9): 114
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu memusuhi Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

QS. Huud (11): 75
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.

Lebih jauh, Al Qur’an mengajari kita semua untuk menjadi orang yang santun. Apalagi kepada sesama saudara muslim. Sehingga dalam ayat berikut ini Allah menunjukkan kepada kita, para sahabat Rasul saling mendoakan, sambil memohon untuk tidak dihinggapi rasa dengki kepada para pendahulunya. Dan doa itu disampaikan kepada Allah, Dzat Yang Maha Penyantun.

QS. Al Hasyr (59): 10
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkankedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Maka, ajaran dari manakah yang diambil oleh seseorang yang mengaku dirinya muslim tetapi ungkapannya setiap saat adalah kata-kata kasar, sumpah serapah, caci maki, dan penghinaan kepada sesama saudara dalam agama? Masih layakkah ia mengaku dirinya pengikut nabi Muhammad yang demikian santun dan berbudi pekerti tinggi?

Juga masih layakkah dia mengaku dirinya Islam, sebagaimana Nabi Ibrahim yang dijadikan contoh keteladanan tertinggi dalam agama ini, sehingga puncak rukun Islam adalah meneladani dan menapaktilasi keluarga beliau yang santun dan lemah lembut, dengan cara berhaji?

Juga masih pantaskah ia menyebut dirinya sebagai hamba Allah yang Maha Penyantun, dan selalu mengajarkan kesantunan kepada siapa saja? Jangan-jangan, ia hanya pura-pura saja jadi orang Islam. Untuk menebarkan bibit-bibit kebencian di dalam agama Islam yang sempurna ini? Yang kasih sayang menjadi landasan utama di dalamnya...

QS. Ali Imran (3): 108
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi temankepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Sungguh, santun berbeda jauh dengan mengultuskan. Mengultuskan adalah ’mendewa-dewakan’. Sedangkan santun adalah menghargai dengan tulus dan penuh kasih sayang. Jauh dari kebencian. Mengultuskan adalah menjadikan seseorang itu sebagai ’bagian’ dari unsur ketuhanan. Dan ini, tentu saja sangat 'tidak disukai' oleh Allah. Jangankan mengultuskan orang seperti saya. Mengultuskan Rasul saja dilarang oleh Allah. Padahal, jelas-jelas beliau adalah utusan Allah. Sebagaimana terjadi pada nabi Isa, yang kemudian dikoreksi lewat turunnya Rasul berikutnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau pun mengatakan, bahwa dirinya adalah manusia biasa.

QS. AL Kahfi (18): 110
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (biasa) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Sehingga dalam kesempatan lain beliau diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan bahwa beliau tidak menguasai perbendaharaan ciptaan Allah, atau pun hal-hal gaib, dan bukan pula seorang malaikat. Sepenuhnya manusia biasa. Sebuah statemen yang mengombinasikan ‘kesantunan’ dan ‘ketinggian budi pekerti’, sekaligus tidak mengultuskan sang Nabi.

QS. Al An’aam (6): 50
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikutikecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Maka, segala yang saya lakukan adalah sekedar meniru Rasulullah dalam menyampaikan wahyu-Nya kepada sesama pencari jalan menuju Allah. Meminjam istilah ayat di atas: Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan (al Qur’an)...

Karena itu, Anda akan ‘dengan jelas’ melihat dan membaca dalam buku-buku saya: isinya penuh dengan ayat-ayat Qur’an. Bukan karya ilmiah dari ulama-ulama terdahulu yang justru dikultuskan oleh para pengikutnya sampai kini. Yang kitab-kitabnya disetarakan dengan al Qur’an. Yang ijtihadnyadianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tidak boleh diutak-atik lagi. Yang kalau dikritisi sedikit saja, para pengikutnya ’mencak-mencak’ sambil mengucapkan sumpah serapah dan caci maki...(?!)

Oh, siapa mengultuskan siapa...?!
Kenapa saya yang dituding jadi sumber pengultusan? Sementara, saya justru sedang mengritisi pengultusan yang berlebih-lebihan kepada para ulama - yang saya yakin - mereka tidak ingin dikultuskan. Meminjam istilah ayat di atas:Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Saya justru sedang mengajak kawan-kawan muslim, sesama ’pencari jalan’ untuk hanya ‘mengultuskan’ Allah saja, dan menghormati setinggi-tingginya Rasulullah dengan bershalawat kepada manusia agung yang berbudi sangat mulia itu. Dan, menyejajarkan saudara-saudara sesama muslim - siapa pun dia - selain Allah dan Rasul-Nya. Kok, malah saya dituduh jadi sumber pengultusan?

Lha wong buku-buku saya selalu saya labeli: Serial Diskusi Tasawuf Modern. Tanpa ada pretensi sedikit pun untuk mengklaim sebuah kebenaran. Melainkan sekedar ajakan untuk berdiskusi secara egaliter – sejajar – dan penuh prasangka baik untuk mencari petunjuk Allah.

Saya juga mencoba ‘mengeliminasi’ dominasi ‘guru’ - dalam pengertian konvensional - yang selama beratus tahun dijadikan sebagai ‘panutan mutlak’, dan menjadi sumber pengultusan. Yang kalau tidak diikuti, sang guru lantas mengatakan: siapa saja belajar agama tanpa guru, maka gurunya adalah setan... (?) Sehingga saya sendiri pun tidak mau dan ‘risih’ disebut sebagai guru, ustad, kiai, syech, dan lain sebagainya. Saya cuma ingin meniru Rasulullah, yang tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru. Beliau menyebut umat Islam yang hidup sezaman dengan beliau sebagai sahabat. Anda tidak akan pernah mendengar Rasulullah Muhammad punya murid. Dan statemen seperti ini, bisa Anda baca dalam banyak buku-buku yang telah saya terbitkan.

Saya juga mencoba membongkar ‘paradigma-paradigma’ lama yang mengatakan bahwa belajar agama harus ‘manut’ saja kepada mereka yang disebut sebagai ‘’kiai, syech, habib, ustad, ustadah, guru, prof, doktor, atau apa pun sebutannya’’. Saya sedang ‘berjuang’ untuk membongkar pengultusan, lha kokmalah dapat ‘hadiah’ predikat sumber pengultusan... :(

Sampai-sampai, ada kawan yang bilang begini: ‘’makanya pak Agus, jangan merebut lahan tetangga...! Nanti banyak yang marah lho...’’

Oh, demi Allah saya melakukan semua ini hanya karena Allah semata...
 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.
~ salam ~

Rabu, 24 November 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘CARA BERDAKWAH’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Betapa prihatinnya melihat sebagian saudara seagama kita yang berdakwah secara salah kaprah. Berdakwah itu kan mengajak orang lain untuk menuju kepada kebaikan. Lha kok, ada orang mengajak kebaikan sambil melakukanketidakbaikan. Mulai dari sumpah serapah, caci maki, kata-kata kotor, muka merah padam penuh kebengisan, sampai ungkapan penuh dendam dan kebencian. Bahkan tak jarang sambil melakukan kekerasan yang tergolong sebagai tindak kejahatan..?!

Realitasnya memang bisa terjadi dalam berbagai skala. Mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Yang ringan itu, misalnya: berdakwah sambil memendam perasaan ’tidak suka’ kepada orang yang sedang didakwahi. Ketidaksukaan semacam itu  pasti akan terasa oleh orang yang sedang dihadapinya, meskipun sudah ’dibungkus’ rapat dan rapi.

Yang lebih berat tingkatannya adalah, berdakwah sambil ’melotot’ dan ’tersenyum sinis’. Dakwah yang begini ini juga pasti kurang efektif. Masa, berdakwah sambilpelotat-pelotot, dan ’menyeringai sinis’ sebagai simbol merendahkan orang lain begitu. Apa ya betah, orang yang berada di depannya?

Yang lebih berat lagi, selain melotot dan menyeringai sinis, masih ditambahi dengan ’ngomel-ngomel’ dan berkata-kata kasar, mencaci maki, serta sikap tidak santun. Wah, yang begini ini bakal menjadikan jamaahnya seperti duduk di atas bara api. Pingin segera meninggalkan ruangan aja.

Yang semakin berat, adalah ditambahi menuding-nuding dan menunjuk-nunjuk hidung lawan bicara. Seakan-akan orang-orang selain dia salah semua. Dijamin, sebelum selesai acara, jamaah sudah pada pulang semua. Pikir mereka, lebihenakan nonton ceramah di TV, atau di VCD, atau mendengar lagu-lagu qasidah saja, bisa sambil goyang-goyang kaki menikmatinya.

Yang lebih berat dari semua itu, adalah dakwah yang ditambahi ancaman-ancaman fisik. Dan hukuman-hukuman bagi siapa yang melanggar doktrin. Yang begini ini mulai masuk dalam lingkaran radikalisme. ’Mana tahan’ mendengarkan dakwah seperti ini, kecuali orang-orang yang telah mengalami indoktrinasi secara khusus oleh pimpinannya.

Dan yang yang paling berat klasifikasinya, adalah orang yang berdakwah sambil merusak properti atau apa saja milik orang lain. Kadang-kadang saya bertanya-tanya dalam hati: mereka ini sedang berdakwah ataukah sedang melakukan teror..?! Berdakwah kok sambil menghancurkan sendi-sendi dakwahnya sendiri. Mana mungkin berhasil? Dia sedang membangun Islam ataukah merusakIslam ya..?!

Saya mencoba flash back ke zaman Rasulullah dan para sahabat. Pernahkah Rasulullah SAW mengajarkan cara dakwah seperti itu kepada umatnya? Tidak pernah sekalipun. Tidak ada ceritanya, beliau melakukan dakwah dengan cara menyakiti orang-orang yang sedang didakwahi. Bukannya diikuti, bisa-bisa malah ditinggal pergi.

QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah merekamenjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, makabertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Kalau kita perhatikan firman Allah di atas, dakwah Islamiyah itu harus dilandasi sejumlah karakter dasar, yaitu: lemah lembut, tidak bersikap keras dan kasar, penuh maaf, bermusyawarah alias mendengarkan pendapat orang lain, dan kemudian bertawakal kepada Allah akan hasilnya. Tugas kita hanya menyampaikan, kok. Jangankan kita, Rasulullah pun tugasnya cuma menyampaikan. Ma ’ala rasuli ilal balagh ~ Tidak ada tugas rasul itu kecuali sekedar menyampaikan. Soal apakah seseorang akan dapat petunjuk ataukah malah ingkar, itu urusan sepenuhnya orang tersebut dengan Allah.

Nah, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Banyak pendakwah yang berdakwah dengan  arogan, diiringi kata-kata kasar, sambil mengumbar kebencian, memaksakan kehendak dan mau menang sendiri. Jika, semua itu tidak terjadi seperti yang dimaui, mereka bakal melakukan pemaksaan dengan cara mengancam dan merusak. Masa pantas, seseorang yang mengaku dirinyamuslim melakukan perbuatan seperti itu. Berkata kasar saja Allah melarang apalagi berbuat kerusakan.

Oh, cara-cara siapakah yang dipakai ini? Sementara Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengajari begini. Saya membayangkan betapa sedihnya Nabi, jika beliau menyaksikan semua ini.

Atau, boleh jadi, ini adalah sebuah ’skenario besar’ dari kalangan munafik untuk merusak image Islam sebagai agama damai dan santun. Jika benar, maka sungguh kita harus mewaspadainya. Karena biasanya, mereka masuk dengan cara berpura-pura, dan memakai identitas palsu untuk menarik simpati. Lantas, ujung-ujungnya menebar perpecahan pada umat...

Pelajaran yang kedua, menurut al Qur’an, dakwah harus dirupakan dalam bentukamar ma’ruf nahi munkar ~ mengajak kebaikan, mencegah kejahatan. Bukan terbalik: nahi munkar amar ma’ruf. Artinya, yang harus didahulukan itu adalahmengajak pada kebaikan, barulah kemudian ’mencegah terjadinya kejahatan’.

Dengan kata lain, pencegahan kejahatan tidak akan efektif selama umat ini belum diberi tahu harus melakukan bentuk-bentuk kebaikan. Tahunya mereka cuma dilarang saja, tetapi tidak ditunjukkan jalannya harus kemana. Maka, tunjukkanlah terlebih dahulu, umat ini mau dibawa kemana. Setelah itu, cegahlah hal-hal negatif yang akan menggangu tercapainya tujuan baik tersebut. Begitulah semestinya cara berdakwah sesuai al Qur’an.

Yang ketiga, cara berdakwah yang baik adalah mengikuti koridor ayat berikut ini.

QS. An Nahl (16): 125
Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yangbaik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yangtersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Bahwa ajakan atau dakwah itu harus berlandaskan:
  1. Hikmah, yakni kedalaman substansi yang disampaikan dengan cara yang bijak ~ penuh hikmah. Karena, pada dasarnya, manusia suka diajak untuk memahami sesuatu yang mendalam, dan mengantarkannya kepada kedamaian spiritualnya.
  2. Mauidhatul hasanah, alias pelajaran yang disampaikan dengan sistematika dan metode yang baik. Jika cara penyajiannya amburadul, tentu tidak akan efektif.
  3. Diskusi dan adu argumentasi, saling menghargai pendapat secara kritis & obyektif. Bukan subyektif menyerang orangnya, melainkan mendiskusikan materinya.
  4. Tidak melakukan klaim kebenaran, karena kebenaran hanyalah milik Allah.

Oh, betapa nikmatnya melakukan dakwah dengan cara demikian..! Yang menyampaikan dan mendengarkan sama-sama memperoleh manfaat. Tidak ada guru, tidak ada murid. Karena, semuanya adalah sesama pencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sesungguhnyalah, Rasulullah pun tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru atas sahabat-sahabatnya...!
 Agus Mustofa

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~