Kamis, 20 September 2012

Ternyata Akhirat ‘Masih’ Tidak Kekal (1-bersambung)

oleh Agus Mustofa pada 17 September 2012 pukul 11:45 ·

~ SEMBILAN TAHUN, KETIKA GELOMBANG MENYISAKAN RIAK ~

Tadinya saya tidak ingin menulis tanggapan lagi tentang buku ‘ Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ yang kontroversial itu. Karena, buku yang saya tulis di awal tahun 2004 itu sebenarnya sudah dibahas puluhan kali di berbagai forum yang saya hadiri. Dan, kini sudah cetak ulang sebanyak 23 kali, tersebar sampai keluar negeri.

Kontroversi yang dulu sebesar gelombang itu, kini memang sudah tinggal riak-riaknya saja. Karena, dalam berbagai forum yang sudah saya hadiri, akhirnya audiens bisa memahami buku itu setelah saya jelaskan secara panjang lebar. Sebenarnya, sebagian besar kontroversi itu disebabkan oleh mereka yang alergi terlebih dahulu terhadap judul buku, yang dianggap ‘menabrak keyakinan’ mereka selama ini.

Kalaupun sudah membaca isinya, biasanya mereka tidak membaca dengan hati yang jernih dan terbuka, melainkan sudah didahului oleh apriori. Sehingga yang terjadi bukan berusaha memahami pemikiran dan argumentasi yang tertuang dalam buku itu melainkan sekedar berusaha mencari perbedaan dan kesalahannya.

Setelah sembilan tahun buku itu beredar di kalangan luas, forum-forum kajian yang mengundang saya untuk membedah buku tersebut sudah jauh menurun. Meskipun, riak-riaknya masih bermunculan disana-sini. Diantaranya, di dunia maya. Termasuk di forum kajian DTM ini. Saya pun lantas teringat, bahwa di dunia maya ini saya memang belum pernah memberikan klarifikasi secara komprehensif tentang isi buku itu. Sehingga, mungkin terkesan tidak tuntas dan sepotong-sepotong. Untuk itulah saya akhirnya memutuskan membuat tulisan serial berikut ini, mudah-mudahan bisa memberikan gambaran lebih holistik tentang pemikiran saya dalam buku tersebut.

Kontroversi tentang akhirat tidak kekal ini sebenarnya sudah muncul sejak buku belum terbit. Yakni, ketika saya belum menjadi penulis buku tapi sudah aktif memberikan materi kajian di sebuah masjid di dekat rumah saya, kawasan Surabaya Selatan. Di masjid yang terletak di kompleks perumahan itu saya kebagian mengisi materi di minggu kedua. Minggu pertamanya diisi oleh seorang doktor filsafat agama, dosen Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya. Minggu ketiganya juga oleh dosen IAIN Sunan Ampel, doktor tafsir lulusan Al Azhar. Dan minggu keempatnya diisi oleh ustadz dari kantor Depag Surabaya.

Seusai subuh, minggu kedua di tahun 2002 saya memberikan materi kajian yang kontroversial. Bahwa, menurut saya alam akhirat memang tidak kekal. Kesimpulan itu saya dapatkan setelah mengkaji sejumlah ayat di dalam Al Qur’an serta memahaminya dari sisi tauhid dan sains. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, dan makhluk tidak boleh disejajarkan dengan Allah Sang Maha Pencipta. Selain itu, sejumlah informasi tentang kekekalan akhirat, ternyata oleh Allah dikaitkan dengan keberadaan alam semesta yang mesti dibahas secara saintifik. Dan, sejumlah alasan lainnya yang detilnya akan saya uraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Kajian kontrovesial itu, tentu saja menyulut diskusi yang seru. Dan tidak selesai dalam waktu 1,5 jam. Kemudian berbuntut sampai minggu ketiga, dimana pengisi materinya adalah ustadz yang lain, yakni dosen tafsir. Jamaah kajian itu, karena penasaran, menanyakan materi ‘Akhirat Tidak Kekal’ kepada sang dosen. Ia pun menjawab dari sudut pandangnya, bahwa menurutnya, Akhirat adalah kekal. Meskipun tidak sekekal Allah.

Jawabannya yang mengatakan akhirat ‘kekal tetapi tidak sekekal Allah’ itu tentu saja menjadi ‘umpan empuk’ bagi jamaah kajian yang sangat kritis. Karena, terkesan membingungkan dari sisi bahasa. Lha wong kekal kok ada prasyarat dan pembatasnya. ‘Kekal’ ya kekal saja, tanpa prasyarat. Tidak bergantung kepada sesuatu. Ada selama-lamanya.

Selain saya, di minggu ketiga itu kebetulan juga hadir dosen Ushuluddin yang biasanya mengisi materi di minggu lainnya. Diskusi pun menjadi sangat menarik, karena doktor Ushuluddin itu membahas materi tersebut dari sisi filsafat agama, dan berpendapat bahwa yang kekal itu memang hanya Allah saja. Selain Allah Yang Maha Kekal, sudah seharusnya tidak kekal. Meskipun Allah bisa berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tapi pasti, makhluk tidak akan sama dengan Sang Khalik. Tidak ada istilah ‘kurang kekal’, ‘lebih kekal’, ‘semakin kekal’, atau ‘paling kekal’. Yang ada cuma: ‘kekal’ atau ‘tidak kekal’.

Diskusi berjalan lebih dari dua jam, belum juga selesai. Belum ada titik temu. Sampai sang doktor tafsir yang bertindak sebagai pengisi materi kajian itu menghentikan kajian secara sepihak di saat puncak pembahasan, dengan alasan ada acara lain yang harus dihadirinya. Keputusan itu, tentu saja menyulut ketidakpuasan dan protes jamaah. Karena, kesimpulan kajian menjadi menggantung...

Dua tahun kemudian, awal 2004 saya memutuskan menerbitkan materi tersebut sebagai buku serial ke-2 DTM, setelah ‘Pusaran Energi Ka’bah’ yang saya terbitkan di akhir tahun sebelumnya. Tentu saja suasana kontroversial muncul kembali. Bukan hanya di dalam masjid dimana kami biasa melakukan kajian, melainkan di masyarakat luas.

Kontroversi pertama muncul saat saya meminta kata pengantar ke KH Mustofa Bisri alias Gus Mus, pengasuh pondok Raudhatut Thalibien dan sesepuh NU itu. Ketika saya sowan ke pondoknya di Rembang, saya di-test dalam sebuah diskusi yang panjang. Yakni, sejak sesudah Isya’ sampai tengah malam. Akhirnya Gus Mus merasa perlu untuk memberikan kata pengantar di buku itu.

Saya sangat mengapresiasi kata pengantar Gus Mus, yang memberikan ruang untuk berbeda pendapat dalam memahami ‘kekekalan Akhirat’. Beliau tahu bahwa pemikiran saya ini kontroversial, dan berbeda dengan mainstream. Tetapi demi pendewasaan umat yang selama ratusan tahun banyak yang taklid buta, Gus Mus memberikan kata pengantar yang bijak. Yakni tidak melakukan pemihakan secara tegas, namun menyodorkan kutub-kutub pemikiran yang ada dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Lantas, memberikan kesempatan kepada pembaca untuk merenungkannya. Jadi, di dalam sikap Gus Mus pun sudah muncul kontroversi.

Begitu buku ini saya luncurkan di Surabaya, Gus Mus memberikan dukungan dan berkenan untuk hadir memberikan ceramah pembuka, yang isinya kurang lebih sama dengan kata pengantar di dalam buku tersebut. Lantas, saya pun memberikan presentasi tentang ‘Akhirat Tidak Kekal’ selama kurang lebih dua jam. Diskusi berjalan gayeng dan penuh hikmah. Gus Mus hadir sampai akhir acara, bersama Zawawi Imran, Ratih Sanggarwati, dan ratusan jamaah.

Esoknya, berita peluncuran buku itu muncul di koran Jawa Pos dan sejumlah koran lainnya, memantik kontroversi lebih luas. Mulai dari lembaga-lembaga formal semacam MUI, perguruan tinggi dan para akademisi, sejumlah ormas Islam, sampai pada forum-forum kajian informal di masjid-masjid. Sejak saat itu, saya menerima berbagai undangan untuk melakukan klarifikasi atas tulisan saya.

Di berbagai forum kajian selalu muncul kontroversi: ada yang sependapat, ada yang tidak sependapat. Di MUI Jawa Timur maupun pusat, pendapatnya terbelah. Di sejumlah perguruan tinggi Islam di berbagai kota yang saya hadiri, pendapatnya pun berbeda-beda. Demikian pula di sejumlah pondok NU, forum kajian Muhammadiyah, Lembaga pendidikan Al Qur’an, dan forum diskusi di masjid-masjid besar. Puluhan forum sudah saya hadiri terkait dengan buku ini, Alhmadulillah yang tadinya seperti gelombang samudera, sekarang sudah tinggal riak-riaknya saja.

Bukan hanya dari segi jumlahnya, melainkan juga dari sisi kualitasnya. Dalam berbagai forum ‘pengadilan pemikiran’ itu, saya selalu disandingkan dengan pakar-pakar yang mengritisi buku saya tersebut. Bukan hanya satu pembanding, seringkali tiga sampai empat orang. Misalnya, yang terjadi di Pondok Baabussalam, Bandung. Keempat pembicara pembanding itu berasal dari background yang berbeda: seorang doktor Fisika, seorang lagi doktor Astronomi, yang ketiga adalah ahli tafsir, dan yang keempat adalah kiai pengasuh pondok itu.

Di Medan, materi ini dibahas oleh tiga orang pembanding: semuanya guru besar IAIN Sumatera Utara. Saat itu saya diundang oleh Bank Indonesia setempat dalam forum kajiannya. Demikian pula ketika di Banjarmasin, bahkan saya diminta memberikan pembahasan materi Eskatologi – rangkuman buku Akhirat Tidak Kekal dan Tak Ada Azab Kubur – di depan civitas akademika termasuk senat Guru Besar IAIN Antasari. Juga di sejumlah pondok salaf seperti pondok Tremas di Pacitan dan Nurul Jadid di Probolinggo; di Gresik, di Banyuwangi, Makassar, Tuban, Ponorogo, Balikpapan, Samarindah, Bontang, Jakarta, dan puluhan forum lagi yang saya tidak semuanya ingat. Bahkan di Makassar buku ini telah dijadikan tema sentral disertasi S-3, dimana guru besar yang menjadi promotornya sempat menjadi pembanding saat saya diminta bedah buku di kota Maros.

Ringkas kata, saya hanya ingin mengatakan bahwa materi ini memang memicu kontroversi pemikiran di hampir semua lini umat. Bahkan bukan hanya di kalangan umat Islam, karena tidak sedikit penganut agama lain yang memesan buku ini langsung ke penerbit. Termasuk juga ada seorang guru besar dari Singapura yang seorang orientalis datang ke rumah saya di Surabaya; serta seorang atheis yang ikut tertarik membahasnya di forum ini.. :)

~ salam ~

Rabu, 08 Agustus 2012

~ MENCEGAT LAILATUL QADR ~



Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadr yang penuh hikmah.

Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil: 21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.

Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji. Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh keberkahan Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.

Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar bisa tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr bakal datang. Tak jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan Al Qur’an melainkan sambil begadang belaka.

Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada datangnya ‘sang malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.

Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh puasa Ramadannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa pertapaannya itu ia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.

Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai dari pikiran dan perasaannya, penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.

Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, maka seluruh informasi yang dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat radio. ‘’Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan.’’ [Al Waaqi’ah: 77-79].

Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukanlah bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.

Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak pada mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal substansi Al Qur’an itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.

Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.‘’Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang mendalam tentang isi Al Quran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat ­banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya).’’ [QS. Al Baqarah: 269].

Wallahu a'lam bishshawab.

Selasa, 07 Agustus 2012

~ KENAPA DI MESIR & ARAB TAK ADA NUZULUL QUR’AN ~



Tanpa terasa bulan Ramadan sudah berada di pertengahan. Di sekitar tanggal 17 Ramadan umat Islam Indonesia banyak yang memperingati Nuzulul Qur’an. Bukan hanya di masjid dan komunitas-komunitas pengajian, melainkan sampai ke berbagai lembaga dan instansi, bahkan istana negara. Namun, yang membuat saya merasa aneh, peringatan Nuzulul Qur’an itu tidak terdapat di Mesir dan berbagai negara Arab, termasuk Saudi Arabiya.

Bagi yang pernah berumrah di bulan Ramadan, mestinya mengetahui hal itu. Tidak ada peringatan Nuzulul Qur’an di Mekah maupun Madinah. Demikian pula bagi yang pernah berkunjung ke Mesir dan negara-negara Arab lainnya, tidak menemukan adanya peringatan turunnya kitab suci tersebut. Kalaupun ada, sebagaimana saya lihat di Mesir, juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Jadi, peringatan 17 Ramadan sebagai Nuzulul Qur’an itu rupanya khas Indonesia.

Saya coba untuk menelusurinya dari berbagai sumber, khususnya dari Firman-Firman Allah sebagai sumber paling otentik dalam khazanah keilmuan Islam. Ternyata saat-saat turunnya Al Qur’an itu diceritakan dalam beberapa redaksi. Yang pertama, turunnya Al Qur’an disebut berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni selama hampir 23 tahun. Allah menceritakannya dalam ayat berikut ini.

‘’Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’’ [QS. Al Israa’: 106]. Ini cocok dengan berbagai data sejarah yang menunjukkan bahwa kitab suci umat Islam itu memang diturunkan secara bertahap, sejak dari gua Hira’ di awal masa kenabiannya sampai saat beliau menjalankan haji perpisahan alias Haji Wada’, beberapa waktu sebelum wafatnya.

Yang kedua, Al Qur’an juga menyebut kitab suci itu diturunkan di bulan Ramadan. Ayat yang sering kita baca saat Ramadan itu bercerita demikian: ‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...’’ [QS. Al Baqarah: 185]

Yang ketiga, Al Qur’an juga menginformasikan bahwa turunnya Al Qur’an itu adalah pada sebuah malam yang mulia, di dalam bulan Ramadan, yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr. ‘’Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu (memiliki nilai) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.’’ [QS. Al Qadr: 1-6].

Dan yang keempat, yang kemudian menjadi dasar diadakannya peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia, adalah ayat berikut ini. ‘’Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil; jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari kemenangan). Yaitu, hari bertemunya dua pasukan (saat perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’ [QS. Al Anfaal: 41]

Ayat ini sebenarnya bercerita tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan pembagian rampasan perang kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, serta mereka yang membutuhkan pertolongan dari harta benda tersebut. Tetapi, dikarenakan disitu ada kata kalimat ‘’...apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan...’’, lantas ada sejumlah penafsir yang mengaitkannya dengan turunnya Al Qur’an. Dan, karena perang Badar itu terjadi tanggal 17 Ramadan, maka disimpulkanlah turunnya Al Qur’an pada tanggal tersebut.

Padahal, menurut saya, itu sangat spekulatif. Yang lebih cocok, ‘Hari Furqaan’ itu dimaknai sebagai ‘Hari Pembeda’ alias ‘Hari Kemenangan’ umat Islam atas kaum Quraisy yang memeranginya. Disinilah rupanya asal muasal terjadinya distorsi pemahaman tentang peringatan Nuzulul Qur’an. Dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, tanpa ada yang menyorotinya.

Jika demikian, lantas kapankah Al Qur’an itu diturunkan Allah kepada manusia? Ayat-ayat lain dalam Al Qur’an bercerita, bahwa kitab suci itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun, dan kemudian dibukukan sebagaimana mushaf Qur’an yang sudah diperbanyak miliaran copy itu. Sedangkan khusus di bulan Ramadan, Allah memang bakal menurunkan hikmah-hikmahnya kepada para pengkaji Al Qur’an yang intensif melakukannya sambil berpuasa Ramadan.

Itulah kenapa, ayat pertama dalam surat Al Qadr itu menggunakan kata kerja lampau (fiil madzi – past tense): ’’Sesungguhnya Kami TELAH menurunkan Al Quran pada malam kemuliaan.’’ Tetapi di ayat 5: ‘’ Pada malam itu (selalu) TURUN para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan’’, Allah menggunakan kata kerja kekinian (fiil mudharik – present tense).

Ini mengandung informasi, bahwa meskipun Al Qur’an sudah selesai diturunkan secara berangsur-angsur saat Rasulullah masih hidup, tetapi di setiap akhir Ramadan para malaikat selalu turun membawa hikmah alias kandungan Al Qur’an kepada orang-orang yang mengkajinya secara intensif untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Itulah kenapa Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk beriktikaf menyambut datangnya Lailatul Qadr.

‘’sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ [QS. Ad Dukhaan: 3-4].

Walahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa

Senin, 06 Agustus 2012

~ BERPUASA MENYONGSONG TURUNNYA AL QUR’AN ~




Kenapakah umat Islam menjalankan puasa di bulan Ramadan? Apakah penyebabnya? Seorang kawan menjawab: ‘’supaya kita menjadi orang yang bertakwa’’. Ia pun lantas mengutip QS. Al Baqarah: 183: ‘’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu AGAR kamu BERTAKWA.’’

Saya katakan, jawaban itu belum tepat. Karena ‘agar bertakwa’ itu bukan ‘penyebab’. Melainkan ‘akibat’. Jika kita berpuasa dengan baik dan benar, akibatnya kita akan menjadi orang yang bertakwa – memiliki kontrol diri yang bagus.

Kawan saya lainnya ikutan menjawab: ‘’supaya menjadi sehat.’’ Dia pun mengutip hadits Rasulullah SAW: Shuumu tashiihu – berpuasalah maka kamu bakal sehat. Saya katakan lagi, ‘’supaya sehat’’ itu pun bukan ‘penyebab’, melainkan ‘akibat’. Siapa saja berpuasa dengan baik dan benar, insya Allah, (akibatnya) dia akan menjadi lebih sehat.

Keduanya – takwa dan sehat – adalah akibat dari berpuasa, karena menggunakan kata sambung ‘agar’ dan ‘supaya’. Ada hal lain yang menjadi penyebab utama kenapa umat Islam disuruh berpuasa pada bulan Ramadan. Yakni, disebabkan oleh turunnya al Qur’an sebagai petunjuk di dalam bulan suci itu. Dasar ayatnya adalah QS. Al Baqarah: 185.

‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). KARENA ITU, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan itu, HENDAKLAH ia BERPUASA di bulan tersebut...’’

Nah, kata sambung ‘karena itu’ dalam ayat di atas menunjukkan ‘penyebab’. Bahwa, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa disebabkan oleh turunnya Al Qur’an. Bukan oleh sebab yang lain-lain. Karenanya, adalah sebuah ‘kekeliruan besar’, jika ada orang yang berpuasa Ramadan tidak rajin membaca Al Qur’an. Dia menyalahi latar belakang turunnya perintah puasa Ramadan.

Bukan hanya membaca Al Qur’an secara formalitas belaka – asal khatam bolak-balik – melainkan harus sampai memperoleh petunjuk dari dalamnya. Sebab, ayat tersebut jelas-jelas memberikan arah, bahwa Al Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadan ini berisi petunjuk. Bahkan, lebih jauh, harus sampai memperoleh al furqan alias ‘pembeda’. Sebuah ungkapan implisit, bahwa seseorang yang sudah memperoleh petunjuk itu mestinya bisa ‘tampil beda’ dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan menjadi follower, tetapi menjadi trend setter.

Dengan kata lain, seseorang yang menerapkan ajaran Al Qur’an dalam hidupnya ia akan mempunyai pegangan kokoh yang menjadikannya sebagai pioner yang mencerahkan. Menjadi agen perubahan. Bahkan menjadi teladan. Tapi, kenapa banyak orang islam yang belum bisa menjadi pioner, agen perubahan, dan teladan? Jawabnya sederhana: berarti ia belum memperoleh petunjuk dari dalam Al Qur’an. Barangkali, membacanya hanya sebatas formalitas. Khatam bolak-balik tapi tidak paham maknanya. Apalagi menjalankan dalam kehidupan sehari-sehari.

Misal: Al Qur’an mengajarkan kejujuran, dan kita sudah khatam bolak-balik membaca ayat-ayat tentang kejujuran itu, tetapi dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang tidak jujur. Al Qur’an mengajarkan keadilan, dan kita berkali-kali mengutipnya, tapi setiap hari kita tidak berlaku adil. Al Qur’an mengajarkan berpolitik yang Islami, tetapi akhlak berpolitik kita amburadul. Dan seterusnya, banyak ketidakcocokan antara petunjuk Al Qur’an dengan perilaku kita, dalam berbudaya, berekonomi, berpendidikan, berumah tangga, bermasyarakat, dan lain sebagainya.

Maka, bulan Ramadan adalah bulan membaca al Qur’an sampai paham. Bukan hanya soal khatam. Apalagi, dengan cara ‘rombongan’ yang dilakukan paralel berbagi-bagi juz, dengan maksud bisa menyelesaikan khataman berkali-kali. Sampai-sampai, membacanya seringkali dengan ‘kecepatan tinggi’, yang menyalahi petunjuk di dalam Al Qur’an itu sendiri. Bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang – tidak boleh cepat-cepat – dan sambil merenungkan isinya secara mendalam.

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menyelesaikan)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunkan (pengertian)-nya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasan (isi)nya. [QS. Al Qiyaamah: 16-19]

Dengan cara ini, umat Islam akan memperoleh hikmah yang luar biasa banyaknya dari dalam Al Qur’an sebagai kitab petunjuk. Dan lantas melatihnya selama bulan Ramadan dengan puasa yang baik dan benar. Puasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa yang bisa mendidik jiwa-raga kita menjadi lebih sehat dan bertakwa. Hasilnya, insya Allah, seusai Ramadan umat Islam bakal memperoleh al furqaan yang menjadikannya sebagai pribadi yang ‘tampil beda’. Bahkan, menjadi agen perubahan menuju arah yang lebih baik bagi masyarakatnya. Sungguh bangsa ini butuh orang-orang yang seperti itu..!  
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus M

~ DI DALAM SURGA & NERAKA SELAMA MILIARAN TAHUN ~




Hanya orang-orang yang layak masuk surga saja yang bakal masuk surga. Dan hanya mereka yang pantas masuk neraka sajalah yang bakal masuk neraka. Allah tidak pernah menganiaya atau merugikan hamba-hamba-Nya sedikit pun. Begitulah, Firman Allah di dalam kitab suci-Nya.

Surga dan neraka itu diberikan Allah sebagai balasan atas perbuatan kita selama hidup di dunia. Dan semua itu, bukan ditentukan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hisab atas segala amalan yang tercatat di dalam rekaman sejarah hidup kita. Tidak ada yang disembunyikan sedikit pun, walau hanya sebesar partikel sub atomik. Diistilahkan dengan ditegakkan-Nya mizan alias timbangan keadilan.

'‘Pada hari itu manusia keluar dari dalam kuburnya dalam keadaan bermacam-macam. Agar diperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat partikel, niscaya dia akan menyaksikannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar partikel, pasti dia pun akan menyaksikannya pula.’’ [QS. Al Zalzalah: 6-8]

‘’Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah (partikel), dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.’’ [QS. Ali Imran: 40].

Begitulah Allah memberikan balasan sesuai dengan amalan kita sendiri. Dan setiap orang tidak menanggung dosa atau pahala orang lain, kecuali dia memang terlibat di dalamnya. Maa kasabat, wa’alaiha maktasabat – berbuat baik kembali kepadanya, berbuat jahat juga bakal kembali kepadanya. Sangat tegas, informasi didalam Al Qur’an.

Terkait dengan surga dan neraka ini, kebanyakan umat Islam berpendapat bahwa setiap orang yang masuk neraka, kelak akhirnya akan masuk surga juga. Yakni setelah dibersihkan dosa-dosanya. Sayangnya, saya cari di dalam Al Qur’an pendapat ini tidak ada pijakannya. Tidak ada satu pun ayat Qur’an yang menceritakan bahwa orang yang dosanya lebih banyak dari pahalanya bakal dimasukkan surga. Meskipun, itu terjadi setelah ‘dicuci’ di dalam neraka.

Yang ada malah sebaliknya, orang yang berdosa bakal selama-lamanya di dalam neraka. Bahkan, digambarkan sampai lenyapnya langit dan bumi. Sebagaimana juga, orang yang baik bakal dimasukan ke dalam surga selama-lamanya, sampai lenyapnya langit dan bumi.

Adapun orang-orang yang berdosa, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. [QS. Huud: 106-108]

Berapa lamakah alam semesta ini akan tetap ada? Dalam perhitungan Astronomi diperkirakan belasan milyar tahun. Sekarang saja usia alam semesta sudah sekitar 13,7 milyar tahun. Jika prediksi Astronomi benar, bahwa alam semesta bakal mengerut lagi menuju kehancurannya kelak, maka diperkirakan proses kehidupan di alam akhirat itu bakal berlangsung sekitar belasan milyar tahun pula. Yakni di fase alam semesta yang sedang mengerut itu. Lebih detil saya telah menulisnya di dalam buku saya yang berjudul: ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’.

Tidak ada cerita di dalam Al Qur’an bahwa orang yang dosanya telah dicuci di neraka bakal bisa masuk surga. Sebab jika demikian mekanismenya, kita semua seharusnya masuk neraka dulu untuk dicuci, karena tidak ada satupun diantara kita yang tidak berdosa. Dan lantas, baru masuk surga setelah bersih. Bukan, bukan begitu mekanismenya..! Melainkan, semua kita dilewatkan ‘pengadilan’ terlebih dahulu. Ditimbang bobot dosa dan pahalanya.

Meskipun banyak dosa, kalau kebajikan kita lebih banyak, insya Allah kita tidak perlu masuk neraka. Langsung ke surga. Sebaliknya, meskipun kebajikan kita banyak, tetapi dosa kita lebih banyak lagi, kita tidak bakalan masuk surga, melainkan langsung ke neraka. Sampai berapa lama? Sampai lenyapnya langit dan bumi: belasan milyar tahun..!

Jadi, betapa mengerikannya gambaran Al Qur’an tentang kehidupan akhirat itu. Terutama bagi mereka yang berdosa dan mendapat balasan neraka. Karena mereka bakal berada di dalamnya selama milyaran tahun, tanpa bisa keluar lagi. Kecuali dia sudah bertaubat sebelum saat meninggalnya.

Dengan berita ini, bukan berarti Allah kejam. Tetapi, ingin memotivasi kita dan mendisiplinkannya agar senyampang usia masih ada, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Berlomba-lomba untuk mengompensasi dosa-dosa yang sudah kita tumpuk-tumpuk sepanjang usia kita. Jangan sampai, dosa Anda lebih banyak dari pahalanya. Karena, Allah Maha Adil, dan tak akan melewatkan mizan alias neraca amalan kita meskipun hanya seberat partikel sub atomik.

Dan jika Anda merasa dosa-dosa Anda sedemikian banyak melebihi kebajikan yang telah Anda perbuat, bersegeralah datang kepada-Nya untuk bertaubat dan memohon ampunan. Karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Apalagi di bulan Ramadan yang penuh maghfirah ini. Jika pertaubatan Anda diterima-Nya, insya Allah tempat Anda adalah surga yang penuh bahagia. Tak perlu diragukan lagi,karena itu adalah janji dari Sang Penguasa Jagat SemestA.

‘’Dan bersegeralah kamu kepada AMPUNAN Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa...’’ [QS. Ali Imran: 133].

Wallahu a’lam bishshawab.
Agus M

Jumat, 03 Agustus 2012

~ KETIKA ALAM MEREKAM PERBUATAN MANUSIA ~




Saat kecil, guru mengaji saya menceritakan bagaimana caranya malaikat Raqib dan Atid mencatat perbuatan manusia. Kedua malaikat itu, konon duduk di pundak kanan dan pundak kiri. Raqib mencatat segala amal kebajikan kita, sedangkan Atid mencatat perbuatan buruk. Kelak, kedua buku catatan itu akan diserahkan kepada Allah saat hari pengadilan.

Maka, tak terhindarkan, sejak itu saya selalu membayangkan ada makhluk seperti manusia yang sedang menduduki kedua belah pundak saya sambil membawa buku catatan dan ballpoint. Setiap orang punya dua malaikat, sehingga jumlah malaikat Raqib dan Atid itu sedemikian banyaknya. Sebanyak manusia yang pernah hidup di Bumi.

Ketika sudah aqil baligh, saya mulai mengritisi cerita-cerita semacam ini. Dan mencoba menelusuri dasar informasinya. Di dalam Al Qur’an saya menemukan ayat yang mungkin menjadi sumber cerita tersebut, tetapi dipahami dengan sudut pandang khas abad pertengahan yang konvensional seperti d iatas. Saya menyimpulkan, sebenarnya ayat tersebut kalau ditafsiri dengan sains modern akan memberikan hasil yang sangat jauh berbeda, dan mencerahkan.

‘’Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Yakni) ketika sepasang malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu berada di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu perkataan pun yang diucapkan melainkan ada pengawas yang selalu hadir’’. [QS. Qaaf: 16-18]

Malaikat adalah makhluk berbadan cahaya, yang bisa bergerak dengan kecepatan 300.000 km/ detik. Dengan kecepatan setinggi itu, malaikat bisa menempuh jarak berkeliling bumi dengan sangat singkat, yakni 0,13333 detik saja. Atau dalam satu detik bisa mengelilingi bumi sebanyak 7,5 kali. Karena itu, dari sisi kecepatan ini saja, sebenarnya kita tidak perlu membayangkan malaikat Raqib dan Atid terus menerus duduk di pundak manusia untuk mengawasinya. Hanya dalam orde sepersekian detik mereka bisa meng-cover semua penduduk Bumi.

Apalagi, jika kita mengaitkan dengan relativitas waktu, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan yang lalu. Bahwa karena laju geraknya mendekati kecepatan cahaya, maka waktu malaikat itu menjadi mulur: seharinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Artinya, jika sang malaikat itu mengawasi kita dalam satu hari ‘versi malaikat’, sebenarnya peradaban manusia sudah bergerak selama lima puluh ribu tahun. Jadi, ngapain kita membayangkan malaikat secara tradisional selalu nempel di kanan-kiri kita.

Dari sisi saintifik, kita juga bisa menjelaskan adanya rekaman perbuatan oleh alam semesta. Bahwa alam ini sebenarnya merekam seluruh aktifitas penghuninya. Ada tiga macam lokasi rekaman itu. Yang pertama ada di otak kita, sebagai memori alias ingatan. Karena rekaman itulah, Anda bisa mengingat berbagai peristiwa yang Anda alami. Dan bukan hanya Anda yang mengingat peristiwa itu, melainkan juga orang-orang dekat Anda yang hadir dalam peristiwa tersebut.

Yang kedua, adalah genetika kita. Sistem informasi genetika yang berada di dalam inti sel tersebut selalu merekam segala informasi yang melibatkannya. Perbuatan yang terjadi berulang-ulang akan terekam di dalam genetika, sebagai kecerdasan genetik. Sehingga tubuh kita menjadi memiliki kebiasaan merespon kejadian secara khas. Mulai dari tingkat molekuler, seluler, sampai pada tataran organik secara utuh. Karakter dan bahasa tubuh yang khas pada setiap orang adalah perwujudan dari rekaman genetik itu. Dan, kelak rekaman genetik ini bisa menurun kepada anak-anaknya sebagai kecenderungan khas terhadap sesuatu. Termasuk diwariskannya penyakit tertentu.

Yang ketiga, adalah rekaman alam semesta. Dalam sudut pandang fisika gelombang, tubuh maupun alam sekitar kita ini tak lebih hanyalah lautan energi alias samudera frekuensi. Tubuh kita, mulai dari pikiran, perasaan, denyut jantung, dan triliunan sel tubuh semuanya bekerja secara kelistrikan yang menghasilkan frekuensi elektromagnetik. Sehingga tubuh kita selalu memancarkan medan elektromagnetik itu kemana-mana. Setiap berbuat apa pun, pada dasarnya kita melakukan perubahan medan elektromagnetik yang menyelimuti tubuh kita.

Nah, perubahan medan itulah yang direkam oleh alam sekitar. Sebagai ilustrasi, dimana pun Anda berada, disitu sebenarnya terdapat gelombang radio atau televisi dari berbagai belahan dunia. Ada CNN, Al Jazirah, ABC, BBC dan lain sebagainya. Gelombang itu telah menempuh jarak ribuan kilometer, dan tidak pernah lenyap. Mereka tetap ‘mengambang’ di alam semesta, dan bisa ditangkap dimana pun kita berada, dengan menggunakan peralatan yang sesuai.

Kalau seseorang tidak bisa menangkap atau melihat gelombang itu, masalahnya bukan karena gelombang itu tidak ada. Melainkan, karena ia tidak menggunakan alat yang tepat. Misalnya menggunakan antena biasa. Cobalah menggunakan antena parabola dengan kualitas terbaik, maka berbagai macam gelombang yang berseliweran di sekitar kita pun akan bisa dideteksi semua.

Suatu saat nanti, sangat boleh jadi, bakal diketemukan teknologi yang bisa menangkap gelombang dari berbagai kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Itu bukanlah angan-angan yang tidak mungkin terjadi. Persoalannya, hanyalah seberapa bagus kualitas peralatan yang kita gunakan untuk memutar kembali rekaman alam semesta itu..! Maka, betapa mudahnya kelak Allah mengadili manusia, karena segala perbuatannya memang sudah terekam oleh lingkungan sekitar dimana pun ia berada..!
 Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Agus Mustofa

~ SEHARI SETARA DENGAN LIMA PULUH RIBU TAHUN ~



Perhitungan waktu sangat bergantung kemana kita menyandarkan pedoman. Apakah berpatokan kepada Bulan, ke Matahari, ke Planet, atau benda-benda langit lainnya. Di era modern, perhitungan waktu sudah disandarkan kepada jumlah getaran atom. Sehingga disepakati, satu detik adalah setara dengan getaran atom Caesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Maka panjangnya waktu semenit, sejam, sehari, sebulan dan setahun adalah perkalian dari ukuran paling dasar ini.

Dengan menggunakan jam atomik, kita tidak bingung lagi menetapkan panjang waktu dimana pun berada. Jangankan hanya lintas benua, pergi keluar angkasa pun kita tetap bisa menggunakan patokan waktu itu untuk menandai berbagai kegiatan, termasuk ibadah shalat dan puasa. Besaran waktu mutlak alam semesta telah bisa diterjemahkan ke dalam waktu digital. Ini akan semakin mempermudah interaksi manusia dalam jarak jauh, dengan akurasi sampai sepersekian detik. Bukankah kalender dan jam memang diciptakan untuk memudahkan manusia melakukan interaksi, dan bukan untuk mempersulit serta memunculkan masalah baru?

Sebenarnyalah waktu itu bersifat relatif bergantung kepada posisi pengamat. Karena itu, kita bisa melakukan berbagai manipulasi dengan cara mengubah-ubah posisi pengamat, bahkan kecepatan pengamat. Di posisi yang berbeda, satu hari bisa memiliki makna berbeda. Katakanlah sehari di planet Venus ternyata berdurasi 243 hari Bumi, atau sekitar 8 bulan disini. Kalau dikonversi ke jam, sehari di planet Venus adalah setara dengan 5.832 jam, sementara itu di Bumi cuma 24 jam.

Kenapa bisa demikian? Karena, ‘sehari’ didefinisikan sebagai satu kali putaran benda langit terhadap sumbu rotasinya. Atau dalam bahasa awam, dimulai dari datangnya malam sampai ke malam berikutnya. Dikarenakan putaran planet Venus yang lambat, sehari disana menjadi sedemikian panjang. Bandingkan pula dengan planet Yupiter yang berputar lebih cepat, sehingga seharinya hanya berdurasi 9,8 jam. Tapi, setahunnya sangat panjang, yakni 4.329 hari. Padahal di Bumi hanya 365 hari.

Apa yang saya sampaikan di atas telah memberikan kesadaran baru, bahwa waktu alam semesta memang berjalan secara mutlak, tetapi ketika diobservasi oleh pengamat menjadi relatif. Karenanya, mesti dibuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan kemudahan kepada manusia secara kolektif agar bisa dijadikan patokan interaksi. Sebuah patokan yang bersifat global, bahkan universal.

Al Qur’an menginformasikan dalam berbagai ayat bahwa waktu memang relatif bergantung pada pengamat atau pelaku. Ada yang seharinya setara dengan seribu tahun. Seperti dijelaskan ayat ini: ‘’Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, yang kemudian naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. [QS. Sajdah: 5].

Ada pula yang berkadar lima puluh ribu tahun, seperti yang terjadi pada para malaikat yang sedang bergerak naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya. ‘’Para malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.’’ [QS. Al Ma’arij: 4]

Dan lebih dahsyat lagi adalah sehari yang berkadar miliaran tahun, seperti yang diceritakan Allah terkait dengan penciptaan alam semesta. Bahwa, alam semesta yang sudah berusia 13,7 miliar tahun ini, menurut Al Qur’an, sebenarnya hanya setara dengan enam hari saja. ‘’Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam di ‘Arsy. (Dialah) Yang Maha Pemurah. Maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia.’’

Bagaimanakah penjelasannya, sehingga waktu alam semesta bisa mulur-mungkret seperti itu? Saya ambil salah satu contoh saja, dari ayat-ayat tersebut. Yakni yang terjadi pada para malaikat, dimana seharinya bisa setara 50 ribu tahun. Relativitas waktu semacam ini, sebenarnya sangat dimungkinkan oleh teori Fisika Modern. Albert Einsteinlah yang menjelaskannya lewat teori relativitas waktunya. Bahwa segala sesuatu yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya akan mulur.

Nah, dalam terminologi agama Islam, malaikat disebut sebagai makhluk yang berbadan cahaya. Karena itu ia bisa melesat dengan kecepatan sangat tinggi: 300 ribu kilometer/ detik. Sehingga ketika dia naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya menjadi mulur, relative terhadap waktu manusia sebesar 50 ribu tahun.

Berapakah kecepatan malaikat saat itu? Anda bisa menghitungnya dengan menggunakan rumus relativitas waktu Einstein: T= To/[1-V^2/C^2]^(1/2). Dimana T adalah waktu malaikat. To adalah waktu manusia. V= kecepatan malaikat. Dan C = kecepatan cahaya. Dari perhitungan itu akan diperoleh angka kecepatan malaikat sebesar 0,9999999999999985 kecepatan cahaya. Artinya, mereka melesat dengan laju yang sudah sangat dekat dengan kecepatan cahaya.

‘’Demi (para malaikat) yang turun dari langit dengan kecepatan tinggi, dan yang mendahului dengan laju sangat kencang.’’ [QS. An Naazi’aat: 3-4].

Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Agus Mustofa

Sabtu, 28 Juli 2012

~ TAHAJUD SIANG HARI, DUHUR MALAM HARI ~




‘Shalat adalah ibadah yang ditentukan waktunya’. Begitulah Allah berfirman di dalam  Al Qur’an.  Ayat ini memiliki multi-tujuan. Selain memberikan pedoman dalam menjalankan shalat, di dalamnya terkandung perintah agar umat Islam memahami soal waktu. Bahkan, di sebuah surat yang sering kita baca, Allah menjadikan waktu sebagai sumpah: wal ashri - demi waktu. Menunjukkan betapa pentingnya ‘waktu’ itu.

Terkait dengan penetapan waktu ibadah shalat, umat Islam di dunia internasional masih memiliki masalah yang sangat mengganjal. Dan saya masih sering memperoleh pertanyaan tentang itu. Terutama, dari kawan-kawan yang sedang melakukan perjalanan lintas waktu global – antar benua. Atau, yang bermukim di negara-negara sub-tropis.

Kawan saya – cerita di tulisan sebelumnya – yang sedang melakukan perjalanan dari Seattle menuju Oklahoma itu pun bertanya tentang hal ini. ‘’Mas, bagaimana saya menentukan waktu shalatnya. Seiring pergerakan matahari ataukah mengikuti jam saja. Lantas, berpedoman ke jam yang mana?’’ tanyanya, gundah.

Pertanyaan semacam itu, katanya sudah disampaikan ke beberapa kawannya yang dianggap mengerti, tapi belum terjawab secara tuntas, sampai ia membaca buku saya: ‘Tahajud Siang Hari, Duhur Malam Hari’. Beberapa jawaban yang ia terima, menganjurkan agar ia memanfaatkan saja ‘keringanan’ yang diberikan Al Qur’an, yakni dengan men-jamak-qashar shalat, dan mem-fidyah puasanya.

Jamak-qashar berarti mengerjakan dua waktu shalat dalam satu waktu saja. Misalnya, Duhur dan Ashar dikerjakan di waktu Duhur, atau boleh juga di waktu Ashar. Jumlah rakaatnya pun tidak usah empat-empat, melainkan cukup dua-dua. Demikian pula dengan Maghrib dan Isya’, Tiga rakaat dan dua rakaat. Sehingga shalat lima waktu hanya dikerjakan dalam tiga waktu saja. Sedangkan fidyah, adalah tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makanan kepada orang miskin.

Tapi, menurutnya, karena ia berada di negara lain itu dalam kurun waktu yang panjang, ‘’masa iya saya harus terus menerus melakukan jamak-qashar dan fidyah? Bukankah itu hanya berlaku sementara, beberapa hari saja? Saya di AS selama sebulan, untuk mengunjungi anak saya yang bersekolah disini,’’ paparnya. Pertanyaan semacam ini beberapa kali saya terima. Termasuk dari kawan saya yang bekerja di KBRI Moskow, Rusia.

Maka, saya menganjurkan mereka untuk mengacu kepada jam saja. Sama dengan yang sudah terjadi di Indonesia. Setiap shalat tak perlu lagi melihat posisi matahari. Cukup melihat jam tangan, atau jam dinding atau jam HP. Bahwa shalat Subuh di wilayah tropis adalah sekitar jam 4 sampai jam 5 pagi. Duhurnya, antara jam 12 sampai jam 3 siang. Asharnya jam 3 sampai jam 6 sore. Maghrib antara jam 6 sampai jam 7 petang. Dan Isya’ antara jam 7 sampai menjelang subuh.

Pertanyaannya adalah: bagaimana dengan musim panas yang waktu siangnya bisa jauh lebih panjang? Bisa saja, Maghrib baru masuk pukul 10 malam. Atau di tempat yang lebih utara lagi bisa jam 11 atau 12 malam. Atau, bahkan tidak tenggelam? Saya menganjurkan kepada kawan-kawan saya itu agar tidak mempersoalkan matahari lokal. Yang harus dilihat adalah matahari tropis, di garis bujur yang sama. Karena, di garis bujur yang sama itu semua kota di berbagai negara pasti memiliki jam yang sama. Cuma berbeda posisi mataharinya. Yang dijadikan patokan adalah kota di negara tropis dimana matahari bergerak secara seimbang, pada kawasan 23,5 derajat lintang utara, dan 23,5 derajat lintang selatan.

Contoh gampangnya begini. Jika di Surabaya sedang jam 12 siang, maka kota-kota di garis bujur yang sama adalah jam 12 siang juga. Di bagian utara adalah kota-kota di Cina, Mongolia, dan Rusia, semua yang segaris bujur sedang berada di jam 12 siang. Demikian pula di belahan selatan, mulai dari pantai barat Australia sampai ke Antartika. Bedanya, ketika di belahan utara Bumi sedang Musim Panas, maka di belahan selatan sedang musim dingin.

Yang di utara siangnya lebih panjang, sedangkan yang di selatan malamnya lebih panjang. Tapi semua kawasan yang segaris dengan Surabaya itu berada di jam 12 siang. Meskipun di belahan selatan sedang puncak musim dingin, dan langitnya gelap seperti malam hari, substansinya kawasan itu sedang berada di siang hari. Jadi, kalau mau shalat Duhur, tidak usah menunggu matahari musim panas yang baru datang beberapa bulan lagi. Laksanakan saja shalat Duhur pada ‘malam hari’ itu. Karena, sebenarnya, meskipun langit sedang petang, sesungguhnya itu adalah jam 12 siang..!

Demikian pula, pada saat tengah malam di Surabaya. Katakanlah sedang jam 12 malam. Kawasan-kawasan yang sedang mengalami puncak musim panas, pasti sedang terang benderang. Kalau Anda ingin shalat Tahajud, Anda tidak perlu menunggu sampai mataharinya tenggelam di musim dingin yang baru akan datang beberapa bulan lagi. Lakukan saja shalat Tahajud di ‘siang hari’ itu. Karena sesungguhnya, itu adalah jam 12 malam, cuma sedang dihadiri oleh matahari. Sehingga, terjadilah shalat Tahajud di siang hari, Duhur di malam hari..!

‘’… Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an…’’ [QS. Muzzammil: 20].

Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, 26 Juli 2012

~ PUASA DI PERJALANAN, IKUTI JAM ATAU MATAHARI ~




Tiga hari menjelang bulan Ramadan, seorang kawan saya mengirimi SMS dari Amerika Serikat. SMS berbahasa Inggris itu kurang lebih berisi begini: mas Agus, saya dan anak saya sedang berada di kota Seattle. Kami berencana melakukan perjalanan ke Oklahoma naik mobil pada saat bulan puasa. Anak saya memutuskan berpuasa 13 jam saja, sesuai dengan paparan buku Anda: ‘Tahajud Siang Hari, Dhuhur Malam Hari’. Tapi saya berencana berpatokan pada gerakan matahari, yang durasinya lebih panjang. Bagaimana pendapat Anda?

Saya katakan kepadanya, tidak ada masalah dengan keduanya. Baik berbuka mengikuti tenggelamnya matahari, maupun berbuka lebih awal. Karena keduanya memiliki pijakan yang jelas. Yang berbuka mengikuti matahari berdasar pada tradisi yang sahih, sedangkan yang berbuka sesuai perhitungan jam mengikuti substansi ibadah; yang akan saya jelaskan berikut ini.

Suatu ketika saya membawa jamaah umroh di bulan puasa. Berangkat dari Jakarta sekitar jam 1 siang, pesawat bergerak ke arah barat menuju Jeddah. Kecepatan pesawat itu rata-rata 1000 km/ jam. Karena bergerak ke arah barat, maka pesawat itu seperti sedang mengejar matahari. Kecepatan rata-rata matahari 1.600 km/ jam, sehingga pesawat itu pun tertinggal 600 km/ jam. Dampaknya, durasi siang menjadi lebih panjang 4-5 jam, karena mataharinya lebih lama terlihat.

Kejadian menariknya adalah saat perjalanan itu sudah menempuh waktu lima jam. Seorang jamaah umroh bertanya kepada saya: ‘’pak Agus, menurut jam tangan saya yang masih mengikuti waktu Jakarta, sekarang ini sudah jam 6 sore. Tetapi, saya melihat keluar jendela matahari masih terang. Bagaimana dengan puasa kita, apakah kami boleh berbuka ataukah harus menunggu matahari tenggelam?’’

Saya katakan kepadanya, ‘’Anda boleh berbuka sekarang mengikuti jam Jakarta.’’ Saya lihat matanya bersinar penuh tanda tanya. Dan, ia memang bertanya lebih lanjut: kenapa kok boleh berbuka sekarang? Bukankah berbuka harus ditandai dengan tenggelamnya matahari?, tegasnya. Saya menjawabnya demikian, karena ia memulai puasanya sahur di Jakarta, maka ia pun boleh mengakhirinya dengan berpedoman pada jam Jakarta juga. Lha wong tidak berpuasa saja boleh kok. Karena, ia sedang dalam perjalanan: sebagai musafir.

Jamaah umroh yang mendengar argumentasi saya ada yang bisa menerima, dan lantas berbuka. Tetapi, sebagiannya tidak mantap dengan penjelasan saya itu. Dan kemudian memutuskan untuk mengikuti matahari tenggelam saja. Sambil tersenyum saya katakan kepada mereka: ‘’Silakan bagi yang mau mengikuti matahari tenggelam’’. Jadilah sebagian jamaah itu berbuka, dan sebagiannya menahan diri menunggu tenggelamnya matahari.

Satu jam kemudian, jamaah yang menunggu tenggelamnya matahari itu melihat jam tangannya. Masih jam 19.00 wib. Dia melihat keluar jendela: sinar matahari terang menyinari langit. Dua jam kemudian, dia melihat jam tangannya lagi, sudah menunjukkan jam 20.00. Di luar jendela ternyata masih terang. Tiga jam kemudian, pukul 21.00, ia melihat keluar jendela lagi, juga tetap masih terang. Ia mulai gelisah. Dan empat jam kemudian, pukul 22.00 wib, ternyata langit masih terang. Saya lihat, ia sudah hampir tidak mampu menahan kegelisahan...

Untunglah, tak lama kemudian pramugari mengumumkan bahwa kota nun jauh di bawah pesawat sudah memasuki waktu maghrib. Beberapa jamaah itu hampir bersamaan berucap Alhamdulillah, tak mampu menyembunyikan kegembiraannya. Dibukanya jendela, tapi mereka terkejut, karena ternyata langit tetap masih terang..! Dengan wajah bingung, ia bertanya kepada saya, kenapa sampai waktu maghrib pun langit di luar jendela masih cukup terang.

Sambil tesenyum saya menjawab: ‘’tentu saja, karena kita sedang berada di ketinggian 40 ribu kaki alias 13 kilometer dari daratan. Sehingga, matahari masih kelihatan cukup terang.’’ Saya lantas menggodanya, ‘’apakah Anda benar-benar ingin berbuka setelah matahari tenggelam?” Sambil tersipu mereka pun memulai berbuka puasa.

Saya katakan lebih lanjut kepadanya, ‘’untung kita naik pesawat dengan kecepatan 1000 km/ jam. Seandainya pesawat ini bergerak dengan kecepatan 1.600 km/ jam, yakni sama dengan kecepatan matahari, maka kita tidak akan pernah menyaksikan matahari tenggelam, meskipun berhari-hari mengelilingi bumi.’’

Lebih parah lagi, kalau kita naik pesawat Concorde yang sudah grounded itu. Kecepatannya lebih dari 2000 km/ jam. Sehingga pesawat akan menyelip matahari yang kecepatannya hanya 1.600 km/ jam. Dan ketika matahari sudah terselip, berarti posisi matahari yang tadinya di barat pesawat, kini menjadi di timurnya. Artinya, lebih pagi dari saat berangkat. Semakin lama bukan semakin siang, melainkan semakin pagi. Kemudian ketemu waktu subuh, padahal, tentu saja, kita sudah shalat subuh di tanah air. Selanjutnya, bertemulah kita dengan waktu sahur. Semakin runyam, karena semakin jauh dari waktu berbuka..! Kok, jadi ‘kacau balau’ begini?

Yah, begitulah keadaan peradaban modern ini. Pergerakan manusia yang semakin mengglobal telah menembus batas-batas waktu konvensional yang selama ini kita jadikan patokan ibadah. Jika kita tidak melakukan adaptasi sesuai kondisi yang terus berkembang pesat ini, umat Islam benar-benar akan terjebak di masa lalu, dan sibuk berkutat dengan hal-hal yang tidak perlu. Wallahu a'lam bishshawab.

~ BECERMIN KE MESIR SOAL ISBAT YANG LANCAR ~




Saat bermukim di Kairo, Mesir, saya sempat merasakan datangnya awal Ramadan, awal Syawal, dan lebaran Haji, di tahun 2010 . Penetapan awal puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha disana sangat ‘lancar, aman dan terkendali’. Karena itu, saya kira sangat pantas kalau kita belajar dari mereka. Apalagi kita tahu, Mesir dengan Al Azharnya adalah salah satu kiblat dunia dalam keilmuan Islam. Siapa tahu kita bisa memperoleh inspirasi dalam menyelesaikan ‘masalah abadi’ yang sangat khas Indonesia ini.

Hampir setiap terdengar perbedaan penetapan waktu ibadah di Indonesia, sejumlah kalangan di Mesir menanggapi dengan ‘senyuman aneh’. Mereka rupanya tidak bisa mengerti kenapa persoalan yang di Mesir sangat simple itu di Indonesia menjadi ‘hiruk pikuk’. Dimanakah letak masalahnya?

Menyongsong Ramadan, di Kairo suasananya sangat hangat. Bukan hangat oleh isu penetapan permulaan puasa, melainkan oleh semangat menyambut datangnya bulan mulia. Hampir di setiap jalan dan gang-gang mereka menyambutnya dengan lampu tradisional berwarna-warni yang dikenal dengan sebutan Fanus. Jauh-jauh hari mereka sudah tahu bahwa Ramadan akan jatuh tanggal sekian, karena sistem kalendernya memang sudah mapan.

Meskipun demikian, pemerintah memang juga mengadakan sidang isbat untuk menetapkan awal puasa. Namun, sidang itu berjalan sangat lancar, hampir-hampir tak ada masalah berarti. Pengumuman penetapan awal puasa di Mesir, sepertinya hanya menjadi ritual atau ‘selebrasi’, bagi permulaan ibadah bersama. Bukan ‘perjuangan hidup dan mati’ ala sidang isbat di Indonesia, yang sampai ada walk out segala.

Sore itu, saya sedang bertamu di rumah Minister Counselor KBRI, Pak Burhanuddin Badruzzaman. Obrolan kami, salah satunya, adalah tentang penetapan awal ibadah di Mesir. Dengan tertawa dia mengatakan bahwa di Mesir tak pernah ada ribut-ribut soal hilal. Juga tidak ada ribut-ribut soal perbedaan awal puasa maupun Idul Fitri. Apalagi soal lebaran Haji. ‘’Orang sini memandang kejadian di Indonesia itu sebagai kejadian aneh bin ajaib,’’ katanya lantas tertawa.

Kenapa di Mesir soal ini bisa sedemikian mapan? Ada tiga hal yang mendasarinya. Yang pertama, mereka menyerahkan persoalan kepada ahlinya. Soal penyaksian hilal diserahkan kepada lembaga Astronomi yang berkompeten. Dimana hasil perhitungan mereka sudah dipakai sebagai dasar untuk menyusun kalender Hijriyah Mesir. Sehingga, penguasaan terhadap masalah hilal itu memang sudah menjadi ‘makanan sehari-harinya’.

Meskipun demikian, menjelang akhir Syakban lembaga Astronomi Mesir tetap melakukan pengamatan di beberapa lokasi, termasuk observatorium terbesar di pinggiran kota Kairo: Helwan. Tak ada masyarakat awam yang boleh melakukan hal itu, karena bisa menimbulkan keraguan atas hasilnya. Berbeda dengan di Indonesia yang siapa saja boleh melakukannya asal di bawah sumpah. Sehingga ketika itu benar-benar terjadi - ada penduduk yang mengaku melihat hilal, dan masyarakat di kawasan itu memutuskan tarawih malam itu juga - malah memunculkan masalah tambahan.

Yang kedua, lembaga Darul Ifta’ di Mesir sangatlah berwibawa. Ini adalah lembaga fatwa semacam MUI di Indonesia. Isinya para ulama fikih Al Azhar, yang ketika itu diketuai oleh Dr Ali Jum’ah. Ia digelari sebagai Mufti Agung Mesir. Fatwanya sangat didengar oleh umat. Dengan berdasar pada hasil pantauan para ahli astronomi itulah Darul Ifta’ memberikan fatwanya, tentang kapan puasa mestinya dimulai. Sehingga tidak ada perbedaan tafsir atas data astronomi yang dihasilkan.

Sidang isbat dilakukan di kantor Darul Ifta’, dengan dihadiri oleh sejumlah tokoh pengambil keputusan. Prosesnya berlangsung sangat singkat dan tidak bertele-tele. Hampir-hampir seperti seremonial belaka. Tidak ada adu argumentasi yang berlangsung sengit seperti di sini. Setelah mendengarkan lantunan ayat suci Al Qur’an, Grand Mufti langsung membacakan pengumuman dengan terlebih dahulu menyebutkan landasan keputusan tersebut. Yakni, berdasar pada data hilal dari lembaga astronomi yang diterimanya dan sejumlah ayat dan hadist yang menjadi rujukannya. Acara pun selesai. Dan kemudian ditutup dengan lantunan ayat suci al Qur’an kembali.

Hadir dalam sidang isbat itu, diantaranya adalah Grand Syekh Mesir yang diposisikan sebagai sesepuh umat Islam, gubernur Kairo yang mewakili Presiden Mesir, Menteri Kehakiman terkait dengan ketetapan tersebut sebagai produk hukum, dan menteri agama yang membawahkan bidang tersebut. Selebihnya adalah para ulama dan duta besar perwakilan berbagai Negara sahabat. Semua undangan itu hanya menjadi saksi atas penetapan awal Ramadan.

Faktor ketiga, yang menyebabkan pengumuman penetapan itu sedemikian lancar, adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat. Dalam kondisi normal, pengumuman itu dilakukan oleh lembaga fatwa Darul Ifta’. Tetapi jika terjadi perbedaan, maka pemerintah akan turun tangan untuk menyatukan segala perbedaan. Karena, selain sebagai ibadah personal, puasa Ramadan dan Idul Fitri adalah ibadah yang bersifat sosial secara kolektif. Pemerintah berkepentingan untuk mengatur warga masyarakat agar suasana tetap kondusif.

Saya dan Pak Burhanuddin, waktu itu sempat berandai-andai, membayangkan betapa indahnya ya, jika proses seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Kita bakal benar-benar bisa beribadah Ramadan dengan hati yang bersih. Dan menikmati indahnya Idul Fitri dengan hati yang suci..! Insya Allah.


* Notes ini dimuat di koran Jawa Pos dan koran-koran anak perusahaannya di berbagai kota.

Selasa, 24 Juli 2012

~ MENGOMPROMIKAN HISAB DAN RUKYAT ~




Agar tafakur kita tentang penetapan awal Ramadan ini menghasilkan hikmah yang bermanfaat untuk umat, saya ingin memberikan usulan yang bersifat kompromistis dalam tulisan kali ini. Bahwa, penetapan ‘awal bulan’ Ramadan dan ‘awal puasa’ Ramadan sebaiknya dimaknai secara terpisah. Bagaimana maksudnya?

Sesungguhnyalah yang menyebabkan kebingungan umat dalam perbedaan ini adalah rancunya antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’. Awal bulan adalah permulaan ‘bulan baru’ yang ditandai oleh ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Ini sebenarnya murni wilayah Astronomi alias ilmu Falak. Dimana kedua belah pihak yang berbeda memiliki kesepakatan yang sama. Bahkan sudah sama-sama pintarnya.

Kesamaan itu terlihat dari kesepakatan: bulan Syakban berakhir pada hari Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Tidak ada perbedaan dalam hal ini. Kalaupun ada, hanya berbeda tipis, dalam hitungan menit saja. Bukan jam, atau apalagi hari. Artinya, sudah ada pijakan yang sama dalam mendekati permasalahan. Kenapa bisa demikian? Karena, kesimpulan ini memang dibuat berdasar pada fakta posisi Bulan. Bukankah bulan tidak pernah berbohong? Dan, kita bisa sama-sama mengeceknya di angkasa. Inilah universalnya Sains, dalam hal ini Astronomi. Dilihat oleh siapa pun, dan dihitung oleh siapa pun hasilnya kurang lebih sama. Bahkan, jika yang melihat bulan itu adalah seorang non muslim sekalipun. Bedanya hanya dalam orde menit, atau bahkan detik disebabkan oleh metode penghitungan saja.

Perbedaan baru muncul, ketika mau menentukan kapan mulai berpuasa: Jum’at (20/7) ataukah Sabtu (21/7)? Sebenarnya ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masuk wilayah Fikih. Wilayah Astronomi bersifat eksak, sedangkan wilayah Fikih bersifat lentur sesuai kondisi yang menyertainya. Dalam konteks penetapan awal Ramadan, fakta Astronomi yang eksak dan Fikih yang lentur itu jangan dicampur-adukkan. Karena, hasilnya akan sangat membingungkan.

Bagaimana Anda tidak bingung membaca pengumuman ini, misalnya. ‘’Semua lembaga yang berkompeten SEPAKAT bahwa bulan Syakban habis pada KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Dan karena hilal tidak kelihatan, maka diputuskan dan ditetapkan bahwa 1 Ramadan 1433 H jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012.’’

Secara fakta Astronomi kesimpulan semacam ini tidak memperoleh pijakan. Karena, Syakban adalah bulan ke-8 dalam penanggalan Hijriyah, dan Ramadan adalah bulan ke-9. Mestinya, tidak ada jeda hari antara Syakban dan Ramadan. Begitu Syakban habis, langsung masuk ke Ramadan. Lha ini, Syakban berakhir pada hari Kamis, tapi awal Ramadan jatuh hari Sabtu. Tidak heran, sejumlah kawan langsung me-SMS saya. Mereka bertanya: ‘’lho terus hari Jum’at itu ikut bulan Syakban, ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan, mas?’’

Logikanya memang menjadi ‘jumping’. Sangat sulit mencernanya. Apalagi ini wilayah ilmu Astronomi yang eksak, bisa langsung dicek ke angkasa. Logikanya, jika Kamis siang itu bulan Syakban sudah habis, sesaat kemudian sudah masuk bulan Ramadan. Jadi, bulan sabit yang kita rukyat pada Kamis sore itu sebenarnya adalah ‘hilal Ramadan’. Namun, karena usianya masih 6 jam, maka hampir bisa dipastikan hilal itu sulit dilihat oleh mata telanjang. Ya, memang demikian. Semua pihak yang berbeda pendapat pun pasti paham, bahwa hilal seumur 6 jam tidak mungkin terlihat. Sampai disini, semua sepakat.

Nah, perbedaan itu mulai muncul saat menentukan ‘awal puasa’. Ini sebenarnya sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan wilayah ilmu Fikih. Yang jika rujukan kondisinya berbeda, hasilnya bisa berbeda pula. Di wilayah Fikih inilah kita bisa memahami, ketika salah satu pihak memutuskan berpuasa di hari Jum’at, dan lainnya di hari Sabtu. Bagi yang berpedoman pada wujudul hilal, memutuskan permulaan puasanya Jum’at. Sedangkan bagi yang menganut ru’yatul hilal, memutuskan berpuasa Sabtu. Tidak ada masalah, karena rujukan Fikihnya sama-sama sahih.

Dengan demikian, pengumuman hasil isbat itu memiliki argumentasi Astronomi dan Fikih yang kuat dan tegas, sehingga umat tidak bingung dibuatnya. Jika diumumkan ke masyarakat luas, barangkali redaksinya menjadi begini:
‘’Sesuai dengan hasil perhitungan dan rukyat dari berbagai lembaga yang berkompeten, bulan Syakban sudah berakhir hari KAMIS, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Karena itu, Kamis sore ini bulan Ramadan sudah datang. Tetapi, karena ketinggian hilal masih sangat rendah, maka tidak ada yang berhasil merukyatnya. Oleh sebab itu, berdasar pada sunnah Nabi, pemerintah memutuskan dan menetapkan puasa Ramadan dimulai SABTU, 21 Juli 2012...’’

Clear. Secara Astronomi valid, dan secara fikih sah. Bahwa, lantas ada yang berbeda pendapat dengan pemerintah, dan memulai puasanya di hari Jum’at misalnya, tidak masalah. Sangat bisa dipahami, karena rujukan fikihnya juga jelas. Yakni, barangsiapa menyaksikan hadirnya bulan Ramadan hendaklah dia berpuasa QS. 2: 185. Astronomically, Jum’at itu memang sudah masuk 1 Ramadan 1433 H.

Dengan demikian, meskipun belum bisa sepakat bulat, setidak-tidaknya benang kusutnya sudah mulai terurai. Dan sudah memperoleh titik temu. Lebih bagus lagi jika urusan Astronomi, diserahkan saja ke LAPAN atau BOSCHA. Sedangkan urusan fikih dipisah, diserahkan kepada MUI. Dan menteri agama hanya tinggal membacakan kedua fatwa itu kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan di tahun depan kita sudah bisa memperoleh solusi lebih baik. Karena, sungguh kita sudah sangat merindukan kebersamaan ini. Betapa indahnya, jika Ramadan dan Idul Fitri bisa bersama-sama dengan sahabat dan handai tolan..! Wallahu a'lam bishshawab.


* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos, dan koran anak-anak perusahaannya.

Senin, 23 Juli 2012

~ PUASA RAMADAN ANTARA TRADISI & SAINS ~




Tentang perbedaan awal Ramadan kali ini, saya ingin mengemukakan pendapat salah seorang kawan. Ia mengatakan, bahwa perbedaan itu sebenarnya berujung pangkal dari definisi hilal, yang memang berbeda. Ada yang mendefinisikan hilal secara tradisi, dan ada yang mendefinisikannya secara substansi. Jika didefinisikan secara tradisi, maka hilal adalah bulan sabit yang tampak oleh mata telanjang, seperti zaman Nabi SAW. Tetapi, jika hilal didefinisikan sebagai substansi, hilal adalah penanda datangnya ‘bulan baru’. Sehingga kemunculannya bisa dihitung dengan metode sains modern, tanpa harus mensyaratkan terlihat secara kasat mata.

Maka, sebagaimana penetapan waktu shalat, kita bisa memilih definisi tentang hilal. Jika waktu shalat dipahami secara tradisi, maka tidak bisa tidak, kita harus selalu melihat matahari setiap mau menjalankan shalat, sebagaimana Rasulullah melakukannya saat itu. Dalam hal puasa Ramadan, hilal harus terlihat kasat mata, tanpa ada kompromi apa pun. Termasuk jika awan tebal menutupi ufuk barat selama berhari-hari, sehingga hilal tidak kelihatan. Tetapi, jika kita memilih substansi bahwa hilal adalah penanda datangnya bulan Ramadan, maka kita sudah bisa memulai puasa Ramadan sesuai hasil perhitungan waktu secara saintifik, tanpa terikat penampakan hilal. Persis seperti penentuan waktu shalat yang cukup melihat jam sebagai hasil hisab ilmiah, tanpa harus melihat matahari.

Dalam konteks umat Islam di Indonesia, masalahnya memang bukan soal bisa melakukan perhitungan secara saintifik atau tidak. Karena semua pihak sudah sama-sama pintar menghitung posisi Bulan. Melainkan, pada ketidak-kesepakatan penentuan definisi hilal tersebut. Satu pihak mendefinisikan hilal secara tradisi, dan lain pihak mendefinisikan hilal sebagai substansi. Runyamnya, perbedaan yang mestinya sederhana dan bisa diselesaikan secara teknis ini, lantas merambah ke wilayah yang lebih politis dengan bumbu-bumbu ego pribadi atau ego kelompok, yang semakin ‘kusut’.

Maka, ketika hal ini masih belum bisa diselesaikan secara keumatan, saya mengusulkan agar umat Islam menjadi tahu duduk persoalannya secara pribadi terlebih dahulu. Agar sebagai individu, kita bisa mempertanggungjawabkan keputusan kita di hadapan Allah. Dan biarlah mereka yang punya kewenangan untuk memutuskan secara keumatan itu juga mempertanggung-jawabkan keputusannya kepada Allah, pada waktunya.

Umat Islam harus dipahamkan agar menjadi tahu duduk persoalannya. Dan tidak beragama secara ikut-ikutan belaka. Karena, pertanggungjawaban kita kepada Allah memang tidak berlaku rombongan. Melainkan sendiri-sendiri. Pemimpin mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, pengikut juga mempertanggungjawabkan keikutsertaannya secara personal. Bahkan, antara orang tua, anak, dan guru pun tidak menghadap Allah secara bersama-sama. Melainkan nafsi-nafsi.

Dan mereka semua akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah. Lalu berkata para pengikut kepada pemimpinnya: "Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu. Maka dapatkah kamu menghindarkan kami dari azab Allah barang sedikit? Para pemimpin itu menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami akan memberitahukan caranya kepadamu. Kita ini sama saja, mau mengeluh atau bersabar. Sedikitpun, kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." [QS. Ibrahim: 21]

Nah, dalam berbagai perhitungan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten kita tahu bahwa akhir bulan Sya’ban adalah sekitar 11.25 wib. Di seluruh Indonesia, hilal muncul pada ketinggian yang sangat tipis, tidak sampai 2 derajat. Dengan tingkat kecemerlangan di bawah satu persen. Dengan kata lain, hampir bisa dipastikan tidak tampak oleh mata telanjang. Semua pihak tidak ada yang berbeda pendapat tentang hasil perhitungan ini.

Tetapi, ternyata dari data yang sama ini bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Yakni, ketika digunakan untuk memutuskan awal berpuasa. Bukan awal Ramadan. Kalau, soal awal Ramadan semua berpendapat sama, bahwa bulan Sya’ban sudah habis pada Kamis, 19 Juli 2012. Dan 1 Ramadan jatuh pada Jum’at, 20 Juli 2012. Yang berbeda itu, sekali lagi, adalah ‘awal berpuasa’.

Ada yang berpuasa di tanggal 1 Ramadan (20/7), dan ada yang memulainya di tanggal 2 Ramadan (21/7). Dengan alasan masing-masing. Satu pihak mengikuti tradisi, di lain pihak berdasar pada substansi. Tentu saja, kita sebagai ‘pengikut’ harus pintar dan hati-hati mengikutinya, karena pertanggungjawaban kita kepada Allah itu ternyata bersifat sendiri-sendiri..! Semoga Allah membimbing kita semua di dalam ilmu dan Ridha-Nya.


* NOTES ini juga diterbitkan di Jawa Pos dan Kaltim Post di kolom TAFAKUR.

~ MENGURAI BENANG KUSUT PENETAPAN WAKTU IBADAH ~




Perbedaan yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat Islam harus mulai diurai. Karena, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. Lha, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan, bagaimana kita bisa mengurai keruwetan?

Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu shalat. Bahkan ayat tentang ini sangat jelas disebut Al Qur’an, bahwa shalat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya. ‘’... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa’: 103]

Namun, waktu shalat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi dengan sains secara harmonis. Dulunya, waktu shalat ditetapkan dan dijalankan sesuai tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasat mata, karena memang di zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.

Ketika fajar sudah mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan shalat fajar atau shalat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan shalat Zhuhur. Saat matahari berada di pertengahan antara ufuk tertinggi dengan saat tenggelam, diwajibkan shalat Ashar. Dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan shalat Mahgrib. Kemudian, saat gelap malam menjalankan shalat Isya’.

Dalam perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu shalat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru ngaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu shalat itu. Waktu zhuhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. Waktu Ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. Waktu Maghrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu Isya’, sudah gelap malam. Dan Subuh adalah saat fajar shidiq, dimana warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.

Sekarang, kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu shalat. Saya tidak pernah lagi menegakkan tongkat untuk mengetahui datangnya waktu Zhuhur atau Ashar. Demikian pula untuk Maghrib, Isya’ dan Subuh, saya hampir-hampir tidak pernah melihat ke langit untuk menaksir cahayanya. Saya sudah begitu percayanya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam di handphone saya. Dan saya lihat, itu juga yang dilakukan oleh para muadzin, sebelum ia mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser, tanpa meninggalkan substansi waktu shalat.

Ketika saya bermukim di Kairo, Mesir selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Karena tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu shalat itu ‘ketemu batunya’. Saat Zhuhur datang, ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek. Melainkan sama panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur, melainkan agak ke utara. Karena, posisi matahari Mesir di musim dingin itu berada di Timur-Selatan.

Menurut pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu Ashar. Tapi jam tangan saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika Ashar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala, karena pelajaran fiqih yang saya terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Dan tidak berlaku di Mesir. Apalagi di Eropa utara. Atau New Zealand ke selatan.

Karena, di Eropa utara keadaannya semakin runyam. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia untuk menghadiri konferensi Aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie waktu itu. Di puncak musim panas, siang harinya lebih panjang dari malamnya. Waktu Maghrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku lagi. Apalagi di Finlandia, dimana matahari tidak tenggelam sampai 23 jam, dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau, semakin parah di St Petersburg – kota kecil di utara Moskow – dimana matahari bisa tidak tenggelam selama 24 jam..!

Waktu shalat menjadi ‘kacau’ jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya, ketika musim panas datang. Karena menurut ‘fiqih tropis’, mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit, dan diakhiri setelah matahari terbenam. ‘’Mataharinya tidak terbenam, mas..!’’ Kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini. ‘Fiqih tropis’ harus diadaptasi menjadi ‘fiqih sub tropis’. Atau, bahkan ‘Fiqih luar angkasa’ ketika diterapkan kepada para astronout yang sedang bertugas di orbit bumi.

Karena jika tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Sehingga tidak heran, sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: ‘’Mas Agus, jangan-jangan orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24 jam..!’’ Kan runyam kalau begini pemahamannya.(Agus Mustofa-bersambung).

Sabtu, 21 Juli 2012

~ BULAN SORE HARI, PUASA DI ESOK PAGI ~


~ BULAN SORE HARI, PUASA DI ESOK PAGI ~

Ramadan benar-benar bulan penuh hikmah. Bulan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kedewasaan kita dalam beragama. Coba saja lihat, baru berada di ’ambang pintunya’ kita sudah disodori masalah sebagai studi kasus: ‘perbedaan awal Ramadan’. Rupanya, Allah sedang mengajari umat Islam agar menjadi lebih pintar dan dewasa dalam menyikapi berbagai peristiwa yang ada di sekitarnya. Dan, pembelajaran yang paling mengesankan, memang, adalah dengan studi kasus seperti ini.

Bukan hanya studi kasus, tetapi juga harus berulang-ulang! Yang kadang-kadang bisa sangat membosankan bagi murid-murid yang pandai. Atau, setidak-tidaknya yang punya kecerdasan di atas rata-rata. Masa iya sih, setiap tahun harus belajar masalah yang sama: tidak lulus-lulus. Menentukan awal Ramadan, menetapkan 1 Syawal, bahkan menyepakati Hari Raya Haji pun kita hampir selalu berbeda. Padahal, yang namanya Hari Raya Haji itu mestinya ‘tidak mungkin’ berbeda di seluruh dunia. Kenapa?

Ya, karena penetapannya harus merujuk  ke ritual haji di tanah suci. Jika disana jamaah haji sedang wuquf di Padang Arafah, maka umat Islam di seluruh dunia disunnahkan melakukan puasa Arafah. Dan esok harinya, di seluruh penjuru planet ini digelar shalat Idul Adha. Itu bertepatan dengan jamaah haji yang lempar jumrah dan bertawaf di Baitullah. Tapi, ternyata banyak juga yang melakukan puasa Arafah, justru saat jamaah haji sudah meninggalkan Arafah, berada di Mina. Sehingga selayaknya, puasa kita itu tidak disebut sebagai puasa Arafah, melainkan puasa Mina.

Perbedaan penetapan waktu ibadah semacam ini sebenarnya boleh saja dikatakan ‘lumrah’ jika hanya terjadi satu-dua kali. Bahkan, disebut penuh hikmah jika arahnya menuju pada perbaikan kualitas diri maupun keumatan. Tetapi, jika hal semacam itu terjadi berulang-ulang tanpa solusi yang jelas, ditakutkan akan banyak ‘peserta didik’ yang bosan dengan hal yang sama itu. Apalagi jika mulai muncul indikasi semakin memburuk. Misalnya, mulai ada yang mempersepsi sidang itsbat tidak lagi berguna, dan tak mau menghadirinya. Ini menjadi bumerang bagi kebersamaan umat. Dan bukan lagi memunculkan hikmah, tapi mengarah kepada masalah yang semakin serius. Kita harus waspada..!

Masalahnya bukan lagi berada pada tataran keilmuan dan kematangan spiritualitas, melainkan mulai mendangkal ke arah ego pribadi, kelompok, atau bahkan kepentingan politis. Jika ini yang terjadi, sungguh kita semakin jauh dari hikmah yang dijanjikan Allah bertaburan di bulan Ramadan ini. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hal ini. Khususnya, bagi yang hanya ikut-ikutan.
              
‘’Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya (masing-masing). [QS. Al Israa’: 36].

Jika secara keumatan tidak ada yang mampu menyelesaikan masalah ini, maka umat Islam harus pandai-pandai mengambil hikmah secara pribadi, agar kita tidak menjadi korban sia-sia. Dan, kita berharap, mudah-mudahan Allah segera mengirimkan pemimpin yang memiliki kapabilitas dan integritas yang bisa menyatukan umat, demi kemaslahatan bersama.

Bagaimanakah caranya agar kita selamat secara pribadi dan tidak menjadi korban kesia-siaan dari sebuah kelalaian ataupun ketidak-pedulian? Tentu saja, harus memiliki pengetahuan tentang kasus ini, sebagaimana diajarkan dalam firman Allah di atas. Yang pertama, pahamilah kapan bulan Sya’ban berakhir. Yang jika kita merujuk ke pendapat para pakar  Astronomi dari lembaga-lembaga berkompeten, hasilnya adalah sebagai berikut.

Menurut ahli Ilmu Falak PBNU KH Slamet Hambali, sebagaimana dikutip oleh website resmi PCNU Pekalongan, akhir Sya'ban 1433 Hijriyah jatuh pada Kamis (19/7). Demikian pula Muhammadiyah malah sudah mengumumkan bahwa akhir Sya’ban jatuh pada Kamis, 19 Juli 2012. Sedangkan, menurut pakar Astronomi Boscha, Dr Ir Moedji Raharto, akhir bulan Sya’ban akan terjadi pada Kamis, 19 Juli 2012, pukul 11.25 wib. Artinya, semua pihak sebenarnya sepakat, bahwa hari Kamis, 19 Juli 2012 itu bulan Sya’ban sudah berakhir, pada siang hari itu.

Masalahnya,  karena habisnya adalah siang hari, maka pada saat matahari terbenam ketinggian bulan sabit sebagai penanda datangnya Ramadan masih berusia sekitar 6 jam, alias di bawah 2 derajat. Sehingga sangat mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang. Tetapi, kalau kita sepakat bahwa puasa ini adalah ‘Puasa Ramadan’, tentu kita sudah harus berpuasa ketika bulan Ramadan itu datang, bukan? Persis seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini.

‘’ Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan berisi penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (kebaikan dan keburukan). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di  bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa... [QS. Al Baqarah: 185]

Yang perlu kita pahamkan lebih lanjut adalah, bahwa waktu sahur untuk berpuasa esok hari itu masih sekitar 10 jam lagi. Kita mengamati datangnya bulan sabit sekitar jam 6 sore, tapi waktu untuk berpuasa dimulai sekitar jam 4 pagi. Jadi, kalau pun jam 6 sore itu bulan belum kelihatan, sepuluh jam lagi pasti dia sudah sangat tinggi di atas horison, berusia sekitar 16 jam. Karena, sebenarnya malam itu Ramadan memang sudah datang..!

Maka, betapa sayangnya jika bulan penuh rahmat yang sangat mulia ini tidak kita sambut kedatangannya. Dan kita baru berpuasa esoknya pada tanggal 2 Ramadan. Sementara, Allah pun sudah memerintahkan agar kita segera berpuasa begitu bulan suci ini hadir. Kenapa kita mesti dibingungkan oleh bulan sabit sore hari ya, padahal puasanya kan baru esok pagi? Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).


* Notes ini juga diterbitkan di koran Jawa Pos & Kaltim Post, dalam Kolom TAFAKKUR

~ PERBEDAAN MEMBAWA HIKMAH ~


~ PERBEDAAN MEMBAWA HIKMAH ~

Bulan penuh rahmat telah datang! Rahmat itu, utamanya, diberikan kepada orang-orang yang menjalani puasa Ramadan dengan penuh hikmah. Karena itu, bulan Ramadan identik dengan bulan ‘berburu hikmah’. Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Atau, apalagi sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Puasa Ramadan harus mampu mengubah kualitas diri menjadi lebih baik. Lahir dan batin.

Untuk memperoleh hikmah sebanyak-banyaknya itulah, selama Ramadan kali ini Jawa Pos dan Kaltim Pos menurunkan kolom TAFAKUR yang akan diisi oleh Agus Mustofa, mantan wartawan Jawa Pos yang kini telah beralih profesi menjadi penulis buku. Karyanya yang sudah lebih dari 40 judul buku itu dikenal sebagai serial Diskusi Tasawuf Modern yang laris manis. Anda akan diajaknya berburu hikmah dengan caranya yang khas, yakni memadukan pemahaman spiritualitas yang mendalam dengan sudut pandang ilmu pengetahuan modern.

Selamat berpuasa Ramadan. Selamat bertafakur. Semoga Allah mengaruniakan barokah dan hikmah sebanyak-banyaknya kepada kita semua...

                                                              * * *

Dalam sebuah forum kajian, seorang jamaah bertanya kepada saya. ‘’Apakah Pak Agus memilh satu golongan dan meninggalkan yang lain, terkait dengan perbedaan penetapan awal puasa ini?’’Rupanya, ia mengira saya berpikir sempit mengarah ke golongan tertentu. Sehingga dikhawatirkan akan memunculkan friksi yang semakin meluas.

Saya katakan: ’’Tidak. Saya justru ingin menyelesaikan masalah abadi, yang hampir setiap tahun muncul ini.’’ Kadang berbeda di awal Ramadan, kadang pula di akhir Ramadan. Dan bahkan sudah merembet ke penetapan Hari Raya Haji yang semakin tidak jelas jluntrungan-nya. Untuk menyelesaikan ‘ketidak-jelasan’ itulah saya harus bisa menjelaskan secara teknis terlebih dahulu duduk persoalannya.

Bahwa perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan penetapan ‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan. Dalam penanggalan Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.

Secara Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari. Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari. Itu artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.

Sehingga menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah berakhir di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari SABTU, 21 Juli 2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ‘’Kalau begitu hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Penetapan seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya dibedakan antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah pasti telah masuk SESAAT setelah ijtima’ - posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa langsung diamati di angkasa dengan menggunakan peralatan astronomi, maupun simulasi metode hisab. Karena tidak mungkin ada ‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan. Pilihannya hanya dua: masuk Sya’ban atau Ramadan.

Nah, ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang, saking tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.

Tinggal masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya perbedaan itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah. Sehingga, karenanya ada yang berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan Anda memilih sesuai keyakinan Anda sendiri-sendiri.

Seandainya, perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu: campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi merembet kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti ditutupi, ada yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung, padahal dia merasa sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus melakukan apa, karena serba bingung.

Jika, kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan dalilnya sendiri-sendiri. Pertanggungjawabannya langsung kepada ilahi rabbi.

Tetapi, kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu pertanggung-jawabannya adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan hanya bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara apa pun. Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa ngomong. Wallahu a'lam bishshawab. (bersambung).