Kamis, 19 Januari 2012

MENGINTIP’ EKSISTENSI RUH (2)

<a href="http://instaforex.com/id/forex_bonus.php?x=BIHQ">InstaForex</a>

MENGINTIP’ EKSISTENSI RUH (2)


~ RUH TIDAK DIMINTAI PERTANGGUNG-JAWABAN ~



MASIH banyak yang rancu antara JIWA dan RUH. Dalam bahasa aslinya di Al Qur’an, keduanya menggunakan istilah yang berbeda. JIWA menggunakan kata NAFS (tunggal) dan ANFUS (jamak). Sedangkan RUH tetap menggunakan istilah RUH (tunggal), dan jamaknya ARWAH. Tetapi, saya belum menemukan penggunaan kata ruh dalam bentuk jamak di Al Qur’an. Selalu dalam bentuk tunggal.



Kerancuan itu, bahkan juga terjadi di terjemahan ayat-ayat Qur’an keluaran Depag. Yakni menerjemahkan kata ‘nafs’ atau ‘anfus’ dengan ruh. Mestinya diterjemahkan sebagai ‘jiwa’. Misalnya, dalam ayat berikut ini.



QS. At Takwiir (81): 7

Dan apabila ruh-ruh (anfus) dipertemukan (dengan tubuh),



Dan kemudian merembet ke pemahaman ayat berikut ini, saat JIWA diminta bersyahadat oleh Allah di dalam rahim. Di ayat ini jelas menggunakan istilah ANFUS (jiwa-jiwa). Tetapi, masih banyak umat Islam yang memahaminya sebagai ‘ruh-ruh’. Meskipun dalam Al Qur’an Depag sebenanya sudah diterjemahkan sebagai ‘jiwa’. Sehingga ada kepahaman yang salah kaprah tentang adanya ‘alam ruh’ dimana ruh-ruh manusia diminta bersyahadat. Padahal, mestinya proses bersyahadat itu terjadi di dalam rahim, sesaat setelah bertemunya sel telur dan sperma.



QS. Al A’raaf (7): 172

Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari organ reproduksi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap JIWA-JIWA (anfus) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)",



Dari sini, kita juga bisa memperoleh informasi penting bahwa RUH itu TUNGGAL, dan SAMA untuk seluruh makhluk. Sedangkan JIWA bisa berbeda-beda pada setiap makhluk hidup. Jadi ruh saya dan ruh Anda SAMA. Tetapi jiwa kita berbeda.



Ibarat komputer dengan sumber listriknya. Jika Listrik diibaratkan ruh, maka komputer itu ibarat badan manusia dengan jiwanya. Badannya berupa hardware, jiwanya berupa software. Listriknya sama. Anda bisa menancapkan colokan listrik itu dimana saja, hasilnya tetap sama. Meskipun komputer Anda dari merek dan spesifikasi yang berbeda-beda.



Nah, lagi-lagi ibarat komputer, substansi dasarnya adalah software. Bukan hardware ataupun listrik. Keberadaan hardware dan listrik itu ada dalam rangka mewujudkan peran software. Kurang lebih begitulah manusia. Yang substansial adalah JIWA. Bukan jasad atau ruh. Karena itu yang kelak dimintai pertanggungjawaban oleh Allah (dan manusia) juga bukan jasad ataupun ruh, melainkan jiwa.



Tidak ada ‘ruh baik’ dan ‘ruh jahat’. Ruh itu sekedar potensi ketuhanan. Bergantung pada jiwanya, apakah dia mau menggunakan potensi itu untuk kebaikan ataukah kejahatan. Misal, sifat BERKUASA, bisa saja digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Sifat BERKEHENDAK, juga bisa untuk kebaikan atau kejahatan. Sifat Mendengar, Melihat, Berilmu, Berbuat, dan seterusnya, awalnya sekedar potensi ruh, dan kemudian menjadi baik atau jahat ketika diterapkan oleh jiwa. Maka, jiwa harus mempertanggung-jawabkan semua itu. Bukan ruh, bukan jasad.



Potensi kemanusiaan berada di Jiwa. Dan kualitas jiwa itu pula yang membedakan seseorang dengan orang yang lain. Baik ataupun jahat. Karena itu kalau jiwanya sakit, ia tidak dimintai pertanggung-jawaban. Kalau badannya yang sakit, masih dimintai pertanggungjawaban. Meskipun nanti menunggu saat kesehatannya sudah membaik. Sedangkan ruh tidak bisa sakit ataupun sehat. Dia sekedar potensi dasar. Karena itu, berbagai ayat Al Qur’an menjelaskan tentang kualitas jiwa yang terus mengalami proses penyempurnaan itu.



QS. Asy Syams (91): 7-10

Demi JIWA (nafs) serta proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (potensi) KEBURUKAN (fujur) dan KEBAIKAN (takwa), sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.



Maka kita mengenal beberapa kualitas jiwa. Diantaranya, ada jiwa yang jelek dan merusak, disebut sebagai ‘hawa NAFSu’ atau ‘NAFSul hawa’. Ada yang emosional tak terkendali disebut ‘NAFSul amarah’. Ada yang sedang berproses menjadi baik dan suka menyesali perbuatan buruknya, disebut NAFSul lawwamah. Dan ada pula jiwa yang sudah TENANG & DAMAI, disebut ‘NAFSul Muthmainnah’. Yang terakhir ini disebut sebagai tingkatan yang sangat tinggi dari kualitas jiwa, yang digambarkan dalam ayat berikut ini.



QS. Al Fajr (89): 27 – 30

Hai jiwa yang tenang dan damai (nafsul muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.



Lantas, bagaimanakah hubungan antara badan, jiwa dan ruh itu? BADAN adalah eksistensi yang bersifat material, JIWA adalah eksistensi yang bersifat energial, sedangkan RUH adalah eksistensi yang belum diketahui zatnya, tetapi memuat informasi. Tanpa ada informasi, badan dan jiwa kita tidak akan berfungsi. Sel-sel kita akan berhenti berproses. Tidak ada metabolisme, tidak ada regenerasi, tidak ada duplikasi, tidak ada reaksi-reaksi apa pun di tingkat selular, organik, maupun tubuh secara keseluruhan. Tubuh kita tak lebih hanya akan menjadi onggokan material tanpa aktifitas kehidupan.



Demikian pula, tanpa ada informasi dari ruh, jiwa kita juga bakal stagnan. Karena struktur energi dalam jiwa kita bekerja seiring dengan struktur materi badan. Khususnya otak. Jika otak mati, maka energi kehidupan yang berupa jiwa di balik otak itu pun ikut mati. Sinyal-sinyal kelistrikan yang dipandu oleh informasi ruh di miliaran sel-sel sarafi itulah yang menghasilkan kualitas jiwa.



Maka, dimanakah ruh dan dimanakah jiwa? Ruh meliputi seluruh tubuh manusia, mulai dari tingkat selular, organik, sampai totalitas tubuh. Pokoknya dimana ada informasi kehidupan, maka disitu ada ruh. Rambut kita hidup, maka ia diliputi oleh ruh. Kuku jari kaki kita juga hidup, ia pun diliputi ruh. Sedangkan jiwa, adalah software yang inheren di dalam sirkuit-sirkuit sarafi otak kita. Sehingga kalau sirkuit-sirkuit itu mengalami kerusakan, jiwa pun akan mengalami masalah.



Hubungan antara badan, jiwa dan ruh pada manusia yang hidup, memang tidak bisa dipisah-pisahkan. Badan dan jiwa itu mirip dua sisi yang berbeda dari satu keping mata uang yang sama. Karena, materi dan energi memang bisa saling berubah menjadi satu sama lain. Sedangkan ruh, ‘menyifati’ keduanya. Atau, mengendalikan proses-proses material-energial secara informasi berdasar ‘sifat-sifat’ itu.



Maka, ketika suatu saat badan seseorang manusia rusak total, dan kemudian mati, struktur energialnya masih bisa lepas sendiri di dalam pengaruh ruh. Dalam ilmu kedokteran jiwa disebut sebagai badan halus alias bioplasma. Itulah yang diceritakan Al Qur’an, bahwa orang yang mati itu sebenarnya masih hidup di alam jiwa. Alam energial. Mirip peristiwa mimpi, dimana badan kita masih berada di atas kasur, tetapi jiwa kita bisa melanglang buana kemana-mana.



QS. Al Baqarah (2): 154

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang GUGUR di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; sebenarnya mereka itu HIDUP. Tetapi kamu tidak menyadarinya.



~ Salam Mengintip Eksistensi Ruh ~
oleh Agus Mustofa

Tidak ada komentar: