Rabu, 08 Agustus 2012

~ MENCEGAT LAILATUL QADR ~



Lailatul Qadr adalah puncak puasa Ramadan. Hampir semua umat Islam yang paham tentang ilmu puasa mengharapkan bisa bertemu dengan malam yang mulia dan penuh berkah itu. Masjid-masjid di berbagai kota di Indonesia maupun belahan dunia dipenuhi orang-orang yang beriktikaf demi memenuhi harapan untuk bertemu Lailatul Qadr yang penuh hikmah.

Malam yang diceritakan Al Qur’an memiliki kualitas lebih dari seribu bulan itu, kata Rasululah SAW selalu hadir di sepuluh hari terakhir puasa. Karena itu sejak memasuki hari ke-21 sampai menjelang Idul Fitri umat Islam berlomba-lomba beriktikaf memusatkan perhatian kepadanya. Konon ada yang meyakini malam itu bakal datang di hari-hari ganjil: 21, 23, 25, 27, dan 29. Sehingga tak jarang memunculkan keinginan mencegatnya hanya di malam-malam ganjil itu. Meskipun banyak juga yang tak mau main cegat-cegatan, mengikhlaskan iktikaf karena Allah semata, sepanjang hari-hari terakhir Ramadan.

Di Mekah dan Madinah sendiri, masjid penuh sesak dihadiri ratusan ribu jamaah. Hampir-hampir seperti suasana musim haji. Demikian pula masjid-masjid di Mesir dan negara-negara lainnya. Sepuluh hari terakhir Ramadan adalah malam-malam yang sangat istimewa. Banyak hamba Allah yang merindukan pertemuan dengan-Nya dalam kalamullah yang sedang dibacanya, meskipun tak sedikit pula yang sekedar ingin memperoleh keberkahan Lailatul Qadr. Dan lantas mencegatnya.

Ada semacam kesalahkaprahan dalam menyongsong malam kemuliaan itu. Terutama, karena menganggap Lailatul Qadr bisa dicegat kedatangannya oleh sembarang orang. Sehingga, lantas ada yang bertahan melek malam agar bisa tetap terjaga pada malam yang diperkirakan Lailatul Qadr bakal datang. Tak jarang, orang-orang yang demikian ini, mencegat tidak sambil mengkaji kandungan Al Qur’an melainkan sambil begadang belaka.

Sesungguhnya, point penting Lailatul Qadr bukanlah pada datangnya ‘sang malam’, melainkan pada turunnya ‘sang Jibril’ bersama para malaikat yang menyertainya. Jika penekanannya pada ‘sang malam’ maka siapapun bisa bertemu dengannya, meskipun katakanlah ia mencegat Lailatul Qadr sambil bermain kartu. Tentu pemahamannya bukan demikian. Hanya orang yang benar-benar layak sajalah yang bakal bertemu dengan para malaikat itu. Dengan kata lain, jika ada seribu orang sedang beriktikaf bersama di suatu tempat, belum tentu semua orang itu bakal didatangi oleh Sang Jibril.

Siapakah mereka yang bakal bertemu dengan malaikat pembawa wahyu itu? Adalah mereka yang jiwanya telah tersucikan oleh puasa Ramadannya selama dua puluh hari yang pertama. Ini mirip dengan cerita pewayangan, dimana ksatria yang bertapa bakal memperoleh azimat Kalimasada di akhir pertapaannya. Dikarenakan, di akhir masa pertapaannya itu ia sudah memiliki jiwa yang suci dan bijak dalam menyikapi kehidupan.

Lailatul Qadr juga demikian. Ia hanya turun kepada orang-orang yang telah berpuasa dengan baik. Bukan puasa yang sekedar menahan lapar dan dahaga, melainkan puasa yang mensucikan jiwa raganya. Mulai dari pikiran dan perasaannya, penglihatan, pendengaran, dan segala ucapannya, sampai kepada seluruh tingkah laku dan perbuatannya.

Kesucian jiwa yang demikian itulah yang membuat jiwanya mudah teresonansi oleh kalamullah alias firman-firman Allah yang sedang dikajinya. Ibarat sebuah stasiun pemancar dengan pesawat radio. Jika frekuensinya sudah matching, maka seluruh informasi yang dipancarkan oleh stasiun radio itu akan tertangkap dengan mudah oleh pesawat radio. ‘’Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). Tidak (bisa) menyentuhnya kecuali orang-orang yang (telah) disucikan.’’ [Al Waaqi’ah: 77-79].

Makna ‘menyentuh’ dalam ayat tersebut bukanlah bersifat fisik, sebab menurut kalimat sebelumnya, Al Qur’an itu sebenarnya masih di Lauh Mahfuzh. Yang turun kepada manusia hanya berupa copy saja. Yakni hard-copy berupa teks alias redaksi Al Kitab. Sedangkan yang kedua adalah soft-copy alias Al Hikmah.

Sayangnya kebanyakan umat Islam terjebak pada mengkaji Al Kitab yang berisi teks-teks saja. Termasuk di bulan Ramadan ini banyak yang mengkhatamkan Al Qur’an berulang-ulang, tapi hanya sebagai Al Kitab. Padahal substansi Al Qur’an itu bukan pada Al Kitabnya, melainkan pada Al Hikmah. Barangsiapa membaca Al Qur’an tanpa memahami isinya, ia temasuk orang-orang yang tidak memperoleh petunjuk.

Apakah yang dimaksud Al Hikmah? Ialah isi kandungan Al Qur’an yang dipahami secara mendalam, sehingga menjadi pedoman hidup yang nyata di dalam jiwa manusia.‘’Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang mendalam tentang isi Al Quran) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi al hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang sangat ­banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman-firman-Nya).’’ [QS. Al Baqarah: 269].

Wallahu a'lam bishshawab.

Selasa, 07 Agustus 2012

~ KENAPA DI MESIR & ARAB TAK ADA NUZULUL QUR’AN ~



Tanpa terasa bulan Ramadan sudah berada di pertengahan. Di sekitar tanggal 17 Ramadan umat Islam Indonesia banyak yang memperingati Nuzulul Qur’an. Bukan hanya di masjid dan komunitas-komunitas pengajian, melainkan sampai ke berbagai lembaga dan instansi, bahkan istana negara. Namun, yang membuat saya merasa aneh, peringatan Nuzulul Qur’an itu tidak terdapat di Mesir dan berbagai negara Arab, termasuk Saudi Arabiya.

Bagi yang pernah berumrah di bulan Ramadan, mestinya mengetahui hal itu. Tidak ada peringatan Nuzulul Qur’an di Mekah maupun Madinah. Demikian pula bagi yang pernah berkunjung ke Mesir dan negara-negara Arab lainnya, tidak menemukan adanya peringatan turunnya kitab suci tersebut. Kalaupun ada, sebagaimana saya lihat di Mesir, juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Jadi, peringatan 17 Ramadan sebagai Nuzulul Qur’an itu rupanya khas Indonesia.

Saya coba untuk menelusurinya dari berbagai sumber, khususnya dari Firman-Firman Allah sebagai sumber paling otentik dalam khazanah keilmuan Islam. Ternyata saat-saat turunnya Al Qur’an itu diceritakan dalam beberapa redaksi. Yang pertama, turunnya Al Qur’an disebut berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni selama hampir 23 tahun. Allah menceritakannya dalam ayat berikut ini.

‘’Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.’’ [QS. Al Israa’: 106]. Ini cocok dengan berbagai data sejarah yang menunjukkan bahwa kitab suci umat Islam itu memang diturunkan secara bertahap, sejak dari gua Hira’ di awal masa kenabiannya sampai saat beliau menjalankan haji perpisahan alias Haji Wada’, beberapa waktu sebelum wafatnya.

Yang kedua, Al Qur’an juga menyebut kitab suci itu diturunkan di bulan Ramadan. Ayat yang sering kita baca saat Ramadan itu bercerita demikian: ‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...’’ [QS. Al Baqarah: 185]

Yang ketiga, Al Qur’an juga menginformasikan bahwa turunnya Al Qur’an itu adalah pada sebuah malam yang mulia, di dalam bulan Ramadan, yang kita kenal sebagai Lailatul Qadr. ‘’Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu (memiliki nilai) lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.’’ [QS. Al Qadr: 1-6].

Dan yang keempat, yang kemudian menjadi dasar diadakannya peringatan Nuzulul Qur’an di Indonesia, adalah ayat berikut ini. ‘’Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil; jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan (hari kemenangan). Yaitu, hari bertemunya dua pasukan (saat perang Badar). Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’ [QS. Al Anfaal: 41]

Ayat ini sebenarnya bercerita tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan pembagian rampasan perang kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim, serta mereka yang membutuhkan pertolongan dari harta benda tersebut. Tetapi, dikarenakan disitu ada kata kalimat ‘’...apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan...’’, lantas ada sejumlah penafsir yang mengaitkannya dengan turunnya Al Qur’an. Dan, karena perang Badar itu terjadi tanggal 17 Ramadan, maka disimpulkanlah turunnya Al Qur’an pada tanggal tersebut.

Padahal, menurut saya, itu sangat spekulatif. Yang lebih cocok, ‘Hari Furqaan’ itu dimaknai sebagai ‘Hari Pembeda’ alias ‘Hari Kemenangan’ umat Islam atas kaum Quraisy yang memeranginya. Disinilah rupanya asal muasal terjadinya distorsi pemahaman tentang peringatan Nuzulul Qur’an. Dan itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, tanpa ada yang menyorotinya.

Jika demikian, lantas kapankah Al Qur’an itu diturunkan Allah kepada manusia? Ayat-ayat lain dalam Al Qur’an bercerita, bahwa kitab suci itu diturunkan berangsur-angsur selama 23 tahun, dan kemudian dibukukan sebagaimana mushaf Qur’an yang sudah diperbanyak miliaran copy itu. Sedangkan khusus di bulan Ramadan, Allah memang bakal menurunkan hikmah-hikmahnya kepada para pengkaji Al Qur’an yang intensif melakukannya sambil berpuasa Ramadan.

Itulah kenapa, ayat pertama dalam surat Al Qadr itu menggunakan kata kerja lampau (fiil madzi – past tense): ’’Sesungguhnya Kami TELAH menurunkan Al Quran pada malam kemuliaan.’’ Tetapi di ayat 5: ‘’ Pada malam itu (selalu) TURUN para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan’’, Allah menggunakan kata kerja kekinian (fiil mudharik – present tense).

Ini mengandung informasi, bahwa meskipun Al Qur’an sudah selesai diturunkan secara berangsur-angsur saat Rasulullah masih hidup, tetapi di setiap akhir Ramadan para malaikat selalu turun membawa hikmah alias kandungan Al Qur’an kepada orang-orang yang mengkajinya secara intensif untuk memperoleh petunjuk dari-Nya. Itulah kenapa Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk beriktikaf menyambut datangnya Lailatul Qadr.

‘’sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.’’ [QS. Ad Dukhaan: 3-4].

Walahu a’lam bishshawab.
Agus Mustofa

Senin, 06 Agustus 2012

~ BERPUASA MENYONGSONG TURUNNYA AL QUR’AN ~




Kenapakah umat Islam menjalankan puasa di bulan Ramadan? Apakah penyebabnya? Seorang kawan menjawab: ‘’supaya kita menjadi orang yang bertakwa’’. Ia pun lantas mengutip QS. Al Baqarah: 183: ‘’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu AGAR kamu BERTAKWA.’’

Saya katakan, jawaban itu belum tepat. Karena ‘agar bertakwa’ itu bukan ‘penyebab’. Melainkan ‘akibat’. Jika kita berpuasa dengan baik dan benar, akibatnya kita akan menjadi orang yang bertakwa – memiliki kontrol diri yang bagus.

Kawan saya lainnya ikutan menjawab: ‘’supaya menjadi sehat.’’ Dia pun mengutip hadits Rasulullah SAW: Shuumu tashiihu – berpuasalah maka kamu bakal sehat. Saya katakan lagi, ‘’supaya sehat’’ itu pun bukan ‘penyebab’, melainkan ‘akibat’. Siapa saja berpuasa dengan baik dan benar, insya Allah, (akibatnya) dia akan menjadi lebih sehat.

Keduanya – takwa dan sehat – adalah akibat dari berpuasa, karena menggunakan kata sambung ‘agar’ dan ‘supaya’. Ada hal lain yang menjadi penyebab utama kenapa umat Islam disuruh berpuasa pada bulan Ramadan. Yakni, disebabkan oleh turunnya al Qur’an sebagai petunjuk di dalam bulan suci itu. Dasar ayatnya adalah QS. Al Baqarah: 185.

‘’Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia. Dan (berisi) penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu. Serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). KARENA ITU, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan itu, HENDAKLAH ia BERPUASA di bulan tersebut...’’

Nah, kata sambung ‘karena itu’ dalam ayat di atas menunjukkan ‘penyebab’. Bahwa, umat Islam diperintahkan untuk berpuasa disebabkan oleh turunnya Al Qur’an. Bukan oleh sebab yang lain-lain. Karenanya, adalah sebuah ‘kekeliruan besar’, jika ada orang yang berpuasa Ramadan tidak rajin membaca Al Qur’an. Dia menyalahi latar belakang turunnya perintah puasa Ramadan.

Bukan hanya membaca Al Qur’an secara formalitas belaka – asal khatam bolak-balik – melainkan harus sampai memperoleh petunjuk dari dalamnya. Sebab, ayat tersebut jelas-jelas memberikan arah, bahwa Al Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadan ini berisi petunjuk. Bahkan, lebih jauh, harus sampai memperoleh al furqan alias ‘pembeda’. Sebuah ungkapan implisit, bahwa seseorang yang sudah memperoleh petunjuk itu mestinya bisa ‘tampil beda’ dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan menjadi follower, tetapi menjadi trend setter.

Dengan kata lain, seseorang yang menerapkan ajaran Al Qur’an dalam hidupnya ia akan mempunyai pegangan kokoh yang menjadikannya sebagai pioner yang mencerahkan. Menjadi agen perubahan. Bahkan menjadi teladan. Tapi, kenapa banyak orang islam yang belum bisa menjadi pioner, agen perubahan, dan teladan? Jawabnya sederhana: berarti ia belum memperoleh petunjuk dari dalam Al Qur’an. Barangkali, membacanya hanya sebatas formalitas. Khatam bolak-balik tapi tidak paham maknanya. Apalagi menjalankan dalam kehidupan sehari-sehari.

Misal: Al Qur’an mengajarkan kejujuran, dan kita sudah khatam bolak-balik membaca ayat-ayat tentang kejujuran itu, tetapi dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang tidak jujur. Al Qur’an mengajarkan keadilan, dan kita berkali-kali mengutipnya, tapi setiap hari kita tidak berlaku adil. Al Qur’an mengajarkan berpolitik yang Islami, tetapi akhlak berpolitik kita amburadul. Dan seterusnya, banyak ketidakcocokan antara petunjuk Al Qur’an dengan perilaku kita, dalam berbudaya, berekonomi, berpendidikan, berumah tangga, bermasyarakat, dan lain sebagainya.

Maka, bulan Ramadan adalah bulan membaca al Qur’an sampai paham. Bukan hanya soal khatam. Apalagi, dengan cara ‘rombongan’ yang dilakukan paralel berbagi-bagi juz, dengan maksud bisa menyelesaikan khataman berkali-kali. Sampai-sampai, membacanya seringkali dengan ‘kecepatan tinggi’, yang menyalahi petunjuk di dalam Al Qur’an itu sendiri. Bahwa membaca Al Qur’an mesti dilakukan dengan tenang – tidak boleh cepat-cepat – dan sambil merenungkan isinya secara mendalam.

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menyelesaikan)-nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunkan (pengertian)-nya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasan (isi)nya. [QS. Al Qiyaamah: 16-19]

Dengan cara ini, umat Islam akan memperoleh hikmah yang luar biasa banyaknya dari dalam Al Qur’an sebagai kitab petunjuk. Dan lantas melatihnya selama bulan Ramadan dengan puasa yang baik dan benar. Puasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Melainkan puasa yang bisa mendidik jiwa-raga kita menjadi lebih sehat dan bertakwa. Hasilnya, insya Allah, seusai Ramadan umat Islam bakal memperoleh al furqaan yang menjadikannya sebagai pribadi yang ‘tampil beda’. Bahkan, menjadi agen perubahan menuju arah yang lebih baik bagi masyarakatnya. Sungguh bangsa ini butuh orang-orang yang seperti itu..!  
Wallahu a’lam bishshawab.
Agus M

~ DI DALAM SURGA & NERAKA SELAMA MILIARAN TAHUN ~




Hanya orang-orang yang layak masuk surga saja yang bakal masuk surga. Dan hanya mereka yang pantas masuk neraka sajalah yang bakal masuk neraka. Allah tidak pernah menganiaya atau merugikan hamba-hamba-Nya sedikit pun. Begitulah, Firman Allah di dalam kitab suci-Nya.

Surga dan neraka itu diberikan Allah sebagai balasan atas perbuatan kita selama hidup di dunia. Dan semua itu, bukan ditentukan dengan sewenang-wenang. Melainkan berdasarkan hisab atas segala amalan yang tercatat di dalam rekaman sejarah hidup kita. Tidak ada yang disembunyikan sedikit pun, walau hanya sebesar partikel sub atomik. Diistilahkan dengan ditegakkan-Nya mizan alias timbangan keadilan.

'‘Pada hari itu manusia keluar dari dalam kuburnya dalam keadaan bermacam-macam. Agar diperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat partikel, niscaya dia akan menyaksikannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar partikel, pasti dia pun akan menyaksikannya pula.’’ [QS. Al Zalzalah: 6-8]

‘’Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah (partikel), dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.’’ [QS. Ali Imran: 40].

Begitulah Allah memberikan balasan sesuai dengan amalan kita sendiri. Dan setiap orang tidak menanggung dosa atau pahala orang lain, kecuali dia memang terlibat di dalamnya. Maa kasabat, wa’alaiha maktasabat – berbuat baik kembali kepadanya, berbuat jahat juga bakal kembali kepadanya. Sangat tegas, informasi didalam Al Qur’an.

Terkait dengan surga dan neraka ini, kebanyakan umat Islam berpendapat bahwa setiap orang yang masuk neraka, kelak akhirnya akan masuk surga juga. Yakni setelah dibersihkan dosa-dosanya. Sayangnya, saya cari di dalam Al Qur’an pendapat ini tidak ada pijakannya. Tidak ada satu pun ayat Qur’an yang menceritakan bahwa orang yang dosanya lebih banyak dari pahalanya bakal dimasukkan surga. Meskipun, itu terjadi setelah ‘dicuci’ di dalam neraka.

Yang ada malah sebaliknya, orang yang berdosa bakal selama-lamanya di dalam neraka. Bahkan, digambarkan sampai lenyapnya langit dan bumi. Sebagaimana juga, orang yang baik bakal dimasukan ke dalam surga selama-lamanya, sampai lenyapnya langit dan bumi.

Adapun orang-orang yang berdosa, maka (tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. [QS. Huud: 106-108]

Berapa lamakah alam semesta ini akan tetap ada? Dalam perhitungan Astronomi diperkirakan belasan milyar tahun. Sekarang saja usia alam semesta sudah sekitar 13,7 milyar tahun. Jika prediksi Astronomi benar, bahwa alam semesta bakal mengerut lagi menuju kehancurannya kelak, maka diperkirakan proses kehidupan di alam akhirat itu bakal berlangsung sekitar belasan milyar tahun pula. Yakni di fase alam semesta yang sedang mengerut itu. Lebih detil saya telah menulisnya di dalam buku saya yang berjudul: ‘Ternyata Akhirat Tidak Kekal’.

Tidak ada cerita di dalam Al Qur’an bahwa orang yang dosanya telah dicuci di neraka bakal bisa masuk surga. Sebab jika demikian mekanismenya, kita semua seharusnya masuk neraka dulu untuk dicuci, karena tidak ada satupun diantara kita yang tidak berdosa. Dan lantas, baru masuk surga setelah bersih. Bukan, bukan begitu mekanismenya..! Melainkan, semua kita dilewatkan ‘pengadilan’ terlebih dahulu. Ditimbang bobot dosa dan pahalanya.

Meskipun banyak dosa, kalau kebajikan kita lebih banyak, insya Allah kita tidak perlu masuk neraka. Langsung ke surga. Sebaliknya, meskipun kebajikan kita banyak, tetapi dosa kita lebih banyak lagi, kita tidak bakalan masuk surga, melainkan langsung ke neraka. Sampai berapa lama? Sampai lenyapnya langit dan bumi: belasan milyar tahun..!

Jadi, betapa mengerikannya gambaran Al Qur’an tentang kehidupan akhirat itu. Terutama bagi mereka yang berdosa dan mendapat balasan neraka. Karena mereka bakal berada di dalamnya selama milyaran tahun, tanpa bisa keluar lagi. Kecuali dia sudah bertaubat sebelum saat meninggalnya.

Dengan berita ini, bukan berarti Allah kejam. Tetapi, ingin memotivasi kita dan mendisiplinkannya agar senyampang usia masih ada, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Berlomba-lomba untuk mengompensasi dosa-dosa yang sudah kita tumpuk-tumpuk sepanjang usia kita. Jangan sampai, dosa Anda lebih banyak dari pahalanya. Karena, Allah Maha Adil, dan tak akan melewatkan mizan alias neraca amalan kita meskipun hanya seberat partikel sub atomik.

Dan jika Anda merasa dosa-dosa Anda sedemikian banyak melebihi kebajikan yang telah Anda perbuat, bersegeralah datang kepada-Nya untuk bertaubat dan memohon ampunan. Karena sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Apalagi di bulan Ramadan yang penuh maghfirah ini. Jika pertaubatan Anda diterima-Nya, insya Allah tempat Anda adalah surga yang penuh bahagia. Tak perlu diragukan lagi,karena itu adalah janji dari Sang Penguasa Jagat SemestA.

‘’Dan bersegeralah kamu kepada AMPUNAN Tuhanmu dan kepada SURGA yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa...’’ [QS. Ali Imran: 133].

Wallahu a’lam bishshawab.
Agus M

Jumat, 03 Agustus 2012

~ KETIKA ALAM MEREKAM PERBUATAN MANUSIA ~




Saat kecil, guru mengaji saya menceritakan bagaimana caranya malaikat Raqib dan Atid mencatat perbuatan manusia. Kedua malaikat itu, konon duduk di pundak kanan dan pundak kiri. Raqib mencatat segala amal kebajikan kita, sedangkan Atid mencatat perbuatan buruk. Kelak, kedua buku catatan itu akan diserahkan kepada Allah saat hari pengadilan.

Maka, tak terhindarkan, sejak itu saya selalu membayangkan ada makhluk seperti manusia yang sedang menduduki kedua belah pundak saya sambil membawa buku catatan dan ballpoint. Setiap orang punya dua malaikat, sehingga jumlah malaikat Raqib dan Atid itu sedemikian banyaknya. Sebanyak manusia yang pernah hidup di Bumi.

Ketika sudah aqil baligh, saya mulai mengritisi cerita-cerita semacam ini. Dan mencoba menelusuri dasar informasinya. Di dalam Al Qur’an saya menemukan ayat yang mungkin menjadi sumber cerita tersebut, tetapi dipahami dengan sudut pandang khas abad pertengahan yang konvensional seperti d iatas. Saya menyimpulkan, sebenarnya ayat tersebut kalau ditafsiri dengan sains modern akan memberikan hasil yang sangat jauh berbeda, dan mencerahkan.

‘’Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (Yakni) ketika sepasang malaikat mencatat amal perbuatannya. Yang satu berada di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada satu perkataan pun yang diucapkan melainkan ada pengawas yang selalu hadir’’. [QS. Qaaf: 16-18]

Malaikat adalah makhluk berbadan cahaya, yang bisa bergerak dengan kecepatan 300.000 km/ detik. Dengan kecepatan setinggi itu, malaikat bisa menempuh jarak berkeliling bumi dengan sangat singkat, yakni 0,13333 detik saja. Atau dalam satu detik bisa mengelilingi bumi sebanyak 7,5 kali. Karena itu, dari sisi kecepatan ini saja, sebenarnya kita tidak perlu membayangkan malaikat Raqib dan Atid terus menerus duduk di pundak manusia untuk mengawasinya. Hanya dalam orde sepersekian detik mereka bisa meng-cover semua penduduk Bumi.

Apalagi, jika kita mengaitkan dengan relativitas waktu, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan yang lalu. Bahwa karena laju geraknya mendekati kecepatan cahaya, maka waktu malaikat itu menjadi mulur: seharinya setara dengan lima puluh ribu tahun. Artinya, jika sang malaikat itu mengawasi kita dalam satu hari ‘versi malaikat’, sebenarnya peradaban manusia sudah bergerak selama lima puluh ribu tahun. Jadi, ngapain kita membayangkan malaikat secara tradisional selalu nempel di kanan-kiri kita.

Dari sisi saintifik, kita juga bisa menjelaskan adanya rekaman perbuatan oleh alam semesta. Bahwa alam ini sebenarnya merekam seluruh aktifitas penghuninya. Ada tiga macam lokasi rekaman itu. Yang pertama ada di otak kita, sebagai memori alias ingatan. Karena rekaman itulah, Anda bisa mengingat berbagai peristiwa yang Anda alami. Dan bukan hanya Anda yang mengingat peristiwa itu, melainkan juga orang-orang dekat Anda yang hadir dalam peristiwa tersebut.

Yang kedua, adalah genetika kita. Sistem informasi genetika yang berada di dalam inti sel tersebut selalu merekam segala informasi yang melibatkannya. Perbuatan yang terjadi berulang-ulang akan terekam di dalam genetika, sebagai kecerdasan genetik. Sehingga tubuh kita menjadi memiliki kebiasaan merespon kejadian secara khas. Mulai dari tingkat molekuler, seluler, sampai pada tataran organik secara utuh. Karakter dan bahasa tubuh yang khas pada setiap orang adalah perwujudan dari rekaman genetik itu. Dan, kelak rekaman genetik ini bisa menurun kepada anak-anaknya sebagai kecenderungan khas terhadap sesuatu. Termasuk diwariskannya penyakit tertentu.

Yang ketiga, adalah rekaman alam semesta. Dalam sudut pandang fisika gelombang, tubuh maupun alam sekitar kita ini tak lebih hanyalah lautan energi alias samudera frekuensi. Tubuh kita, mulai dari pikiran, perasaan, denyut jantung, dan triliunan sel tubuh semuanya bekerja secara kelistrikan yang menghasilkan frekuensi elektromagnetik. Sehingga tubuh kita selalu memancarkan medan elektromagnetik itu kemana-mana. Setiap berbuat apa pun, pada dasarnya kita melakukan perubahan medan elektromagnetik yang menyelimuti tubuh kita.

Nah, perubahan medan itulah yang direkam oleh alam sekitar. Sebagai ilustrasi, dimana pun Anda berada, disitu sebenarnya terdapat gelombang radio atau televisi dari berbagai belahan dunia. Ada CNN, Al Jazirah, ABC, BBC dan lain sebagainya. Gelombang itu telah menempuh jarak ribuan kilometer, dan tidak pernah lenyap. Mereka tetap ‘mengambang’ di alam semesta, dan bisa ditangkap dimana pun kita berada, dengan menggunakan peralatan yang sesuai.

Kalau seseorang tidak bisa menangkap atau melihat gelombang itu, masalahnya bukan karena gelombang itu tidak ada. Melainkan, karena ia tidak menggunakan alat yang tepat. Misalnya menggunakan antena biasa. Cobalah menggunakan antena parabola dengan kualitas terbaik, maka berbagai macam gelombang yang berseliweran di sekitar kita pun akan bisa dideteksi semua.

Suatu saat nanti, sangat boleh jadi, bakal diketemukan teknologi yang bisa menangkap gelombang dari berbagai kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun yang lalu. Itu bukanlah angan-angan yang tidak mungkin terjadi. Persoalannya, hanyalah seberapa bagus kualitas peralatan yang kita gunakan untuk memutar kembali rekaman alam semesta itu..! Maka, betapa mudahnya kelak Allah mengadili manusia, karena segala perbuatannya memang sudah terekam oleh lingkungan sekitar dimana pun ia berada..!
 Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Agus Mustofa

~ SEHARI SETARA DENGAN LIMA PULUH RIBU TAHUN ~



Perhitungan waktu sangat bergantung kemana kita menyandarkan pedoman. Apakah berpatokan kepada Bulan, ke Matahari, ke Planet, atau benda-benda langit lainnya. Di era modern, perhitungan waktu sudah disandarkan kepada jumlah getaran atom. Sehingga disepakati, satu detik adalah setara dengan getaran atom Caesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Maka panjangnya waktu semenit, sejam, sehari, sebulan dan setahun adalah perkalian dari ukuran paling dasar ini.

Dengan menggunakan jam atomik, kita tidak bingung lagi menetapkan panjang waktu dimana pun berada. Jangankan hanya lintas benua, pergi keluar angkasa pun kita tetap bisa menggunakan patokan waktu itu untuk menandai berbagai kegiatan, termasuk ibadah shalat dan puasa. Besaran waktu mutlak alam semesta telah bisa diterjemahkan ke dalam waktu digital. Ini akan semakin mempermudah interaksi manusia dalam jarak jauh, dengan akurasi sampai sepersekian detik. Bukankah kalender dan jam memang diciptakan untuk memudahkan manusia melakukan interaksi, dan bukan untuk mempersulit serta memunculkan masalah baru?

Sebenarnyalah waktu itu bersifat relatif bergantung kepada posisi pengamat. Karena itu, kita bisa melakukan berbagai manipulasi dengan cara mengubah-ubah posisi pengamat, bahkan kecepatan pengamat. Di posisi yang berbeda, satu hari bisa memiliki makna berbeda. Katakanlah sehari di planet Venus ternyata berdurasi 243 hari Bumi, atau sekitar 8 bulan disini. Kalau dikonversi ke jam, sehari di planet Venus adalah setara dengan 5.832 jam, sementara itu di Bumi cuma 24 jam.

Kenapa bisa demikian? Karena, ‘sehari’ didefinisikan sebagai satu kali putaran benda langit terhadap sumbu rotasinya. Atau dalam bahasa awam, dimulai dari datangnya malam sampai ke malam berikutnya. Dikarenakan putaran planet Venus yang lambat, sehari disana menjadi sedemikian panjang. Bandingkan pula dengan planet Yupiter yang berputar lebih cepat, sehingga seharinya hanya berdurasi 9,8 jam. Tapi, setahunnya sangat panjang, yakni 4.329 hari. Padahal di Bumi hanya 365 hari.

Apa yang saya sampaikan di atas telah memberikan kesadaran baru, bahwa waktu alam semesta memang berjalan secara mutlak, tetapi ketika diobservasi oleh pengamat menjadi relatif. Karenanya, mesti dibuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan kemudahan kepada manusia secara kolektif agar bisa dijadikan patokan interaksi. Sebuah patokan yang bersifat global, bahkan universal.

Al Qur’an menginformasikan dalam berbagai ayat bahwa waktu memang relatif bergantung pada pengamat atau pelaku. Ada yang seharinya setara dengan seribu tahun. Seperti dijelaskan ayat ini: ‘’Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, yang kemudian naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. [QS. Sajdah: 5].

Ada pula yang berkadar lima puluh ribu tahun, seperti yang terjadi pada para malaikat yang sedang bergerak naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya. ‘’Para malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.’’ [QS. Al Ma’arij: 4]

Dan lebih dahsyat lagi adalah sehari yang berkadar miliaran tahun, seperti yang diceritakan Allah terkait dengan penciptaan alam semesta. Bahwa, alam semesta yang sudah berusia 13,7 miliar tahun ini, menurut Al Qur’an, sebenarnya hanya setara dengan enam hari saja. ‘’Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam di ‘Arsy. (Dialah) Yang Maha Pemurah. Maka tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia.’’

Bagaimanakah penjelasannya, sehingga waktu alam semesta bisa mulur-mungkret seperti itu? Saya ambil salah satu contoh saja, dari ayat-ayat tersebut. Yakni yang terjadi pada para malaikat, dimana seharinya bisa setara 50 ribu tahun. Relativitas waktu semacam ini, sebenarnya sangat dimungkinkan oleh teori Fisika Modern. Albert Einsteinlah yang menjelaskannya lewat teori relativitas waktunya. Bahwa segala sesuatu yang bergerak dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya akan mulur.

Nah, dalam terminologi agama Islam, malaikat disebut sebagai makhluk yang berbadan cahaya. Karena itu ia bisa melesat dengan kecepatan sangat tinggi: 300 ribu kilometer/ detik. Sehingga ketika dia naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya menjadi mulur, relative terhadap waktu manusia sebesar 50 ribu tahun.

Berapakah kecepatan malaikat saat itu? Anda bisa menghitungnya dengan menggunakan rumus relativitas waktu Einstein: T= To/[1-V^2/C^2]^(1/2). Dimana T adalah waktu malaikat. To adalah waktu manusia. V= kecepatan malaikat. Dan C = kecepatan cahaya. Dari perhitungan itu akan diperoleh angka kecepatan malaikat sebesar 0,9999999999999985 kecepatan cahaya. Artinya, mereka melesat dengan laju yang sudah sangat dekat dengan kecepatan cahaya.

‘’Demi (para malaikat) yang turun dari langit dengan kecepatan tinggi, dan yang mendahului dengan laju sangat kencang.’’ [QS. An Naazi’aat: 3-4].

Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh Agus Mustofa