Sabtu, 14 Agustus 2010

~ Berpuasa diMusim Panas, Terancam Dehidrasi ~

dalam (Ekspedisi Sungau NIL)
pada 12 Agustus 2010 jam 18:49


Abu Simbel sedang panas-panasnya! Hari ini (kemarin red.) suhu di luaran mencapai 43 derajat celsius. Bandingkan dengan Surabaya, yang 33 derajat celsius. Berjalan menyusuri situs-situs Fir'aun di tepi danau Nasser, Sungai Nil benar-benar ujian berat buat orang yang berpuasa. Kerongkongan dan kulit terasa dipanggang saja layaknya.

Tadinya saya berharap, uap air sungai Nil bisa agak menyejukkan udara sekitar dengan kelembaban agak tinggi. Ternyata saya keliru. Uap air yang mengepul dari permukaan sungai itu tersapu angin padang pasir yang kering, dan menyebar ke kawasan tandus di sekitarnya dengan cepat. Walhasil, kelembaban udara di sekitar Abu Simbel hanya berkisar 20 persen. Sangat rendah dibandingkan dengan Surabaya dan kota-kota di Indonesia yang mencapai kisaran 50-80 persen.

Kombinasi antara suhu tinggi, kelembaban rendah, dan keadaan berpuasa bisa memunculkan ancaman kesehatan yang sangat berbahaya: heat stroke dan dehidrasi ~ tersengat panas dan kekurangan cairan dalam tubuh. Mestinya, dalam cuaca sedemikian panas itu, kami harus banyak-banyak minum air untuk segera menggantikan cairan tubuh yang hilang. Tetapi tidak bisa, karena harus menunggu waktu berbuka puasa.

Padahal di musim panas seperti ini, waktu puasanya justru panjang. Bukan hanya 14 jam seperti di Indonesia, yaitu antara jam 4 pagi sampai jam 6 sore, melainkan 16 jam. Yaitu antara jam 4 pagi sampai jam 8 malam. Atau, bergeser ke jam 7 malam jika musim berganti ke Dingin. Ya, sekarang ini, waktu shalat maghrib di Mesir adalah sekitar jam 8 petang. Karena, matahari memang baru tenggelam jam sekian. Yang di Indonesia, mestinya sudah masuk waktu Isya'.

Untunglah saya masih berada di Mesir. Seandainya saya berada di negara-negarayang lebih ke utara, yaitu benua Eropa, maka saya akan mengalami puasa lebih panjang lagi. Saya jadi teringat beberapa tahun yang lampau ketika saya berada di Belgia. Waktu itu musim panas juga, cuma tidak sedang dalam bulan Ramadan. Disana, matahari tenggelam jam 10 malam. Jadi, saya shalat Maghrib ketika itu jam 10 malam. Seandainya, saat itu bulan Ramadan, berarti saya baru berbuka setelah jam 10. Dan lamanya puasa menjadi sekitar 18 jam..!

Keadaan menjadi lebih 'mengerikan' kalau Anda berada di kawasan Eropa Utara. Di Finlandia misalnya. Pak Dahlan Iskan, yang pernah mampir ke kutub utara, suatu ketika bercerita kepada saya bahwa di puncak musim panas matahari Finlandia baru tenggelam setelah nongol selama 23 jam. Artinya, kita mesti berpuasa menahan lapar dan minum di siang hari selama 23 jam..! Kalau itu dialami satu-dua hari saja, mungkin kita masih bisa bertahan.Tetapi kalau terus-terusan selama sebulan Ramadan, tentu tidak akan kuat.

Dan yang paling 'mengerikan' adalah berpuasa di sebuah kota kecil, di utaraMoskow, yaitu kota Leningrad. Kini namanya diganti menjadi St. Petersburg. Di kota itu, kata kawan saya Syaripudin Zuhri yang bekerja di KBRI setempat, mataharinya tidak tenggelam. Malamnya dikenal sebagai White Night ~ Malam Putih~ atau dalam bahasa Rusia disebut Bilii Nosii, karena mataharinya memang tidak tenggelam.
Tidak ada batas antara malam dan siang. Jam 10 malam matahari masih nongol. Jam 11 malam juga masih ada. Jam 12 malam pun masih kelihatan. Dan jam 1 pagi, matahari masih bersinar. Walhasil, hari-hari hanya ada siang, tanpa ada malam. Maka, bagaimanakah Anda menjalani puasa? Berpuasa 24jam? Dan kemudian bersambung dengan hari-hari berikutnya? Lantas, kapan pula shalat Maghrib dan Isya'nya?

Maka, apakah kewajiban ibadah puasa dan shalat menjadi gugur karenanya?Tentu saja tidak. Dewasa ini, umat Islam seharusnya mengubah jadual ibadah yang selama ini dihitung dengan menggunakan fikih tropis. Sudah tidak sesuai lagi untuk masyarakat Islam Internasional yang kini tersebar bukan hanya di negara tropis. Melainkan, banyak yang sudah tinggal di negara-negara subtropis .Bahkan, ada pula astronout muslim yang sudah keluar angkasa. Bukankah di luar angkasa juga tidak ada siang dan malam? Karena siang malam itu hanya terjadi di Bumi yang berputar pada sumbunya? Sedangkan dari pesawat luar angkasa, matahari akan selalu kelihatan...

Saya sudah membahas masalah ini dalam salah satu buku saya: 'Tahajud Siang Hari Zhuhur Malam Hari'. Saya memberikan usulan bagaimana seharusnya jadual ibadah umat Islam secara Internasional disusun. Yaitu, harus berpatokan pada Garis Bujur Bumi. Dengan cara itulah, kerancuan jadual internasional bisa diselesaikan. Sehingga, umat Islam tidak harus berpuasa melebihi batas kemampuan fisiknya sebagai manusia normal. Dan kitab suci al Qur'an sesungguhnya mengatur itu semua. Hanya saja, belum terakomodasikan dalam fikihTropis yang ada selama ini.

~ Ikhlas,Menjadi Kekuatan Utama Puasa ~

Gemericik air sungai Nil menyadarkan saya, bahwa saya masih berada di Mesir. Di sebuah kota kecil perbatasan antara Negeri Fir'aun dengan Sudan, yaitu Abu Simbel. Disini, alhamdulillah puasanya 'cuma' 16 jam. Alhamdulillah juga, suhunya 'masih' berkisar di angka 40-an derajat. Betapa beratnya mereka yang harus berpuasa di tengah-tengah padang pasir sana, yang suhunya bisa diatas 50 derajat. Rasa syukur itu menyelinap ke dalam relung-relung sanubari, menyejukkan hati, mengalahkan teriknya matahari yang menyengat bumi.

Disinilah kualitas puasa kita diuji. Apakah kita bisa melatih diri untuk merelakan ibadah hanya karena Allah semata. Karena, hanya orang-orang yang rela hati sajalah yang akan memperoleh hikmah maksimal dari puasanya. Bagi mereka yang berpuasa dengan terpaksa, mekanisme kesehatan di dalam tubuhnya akan berjalan tidak seimbang. Asam lambungnya akan mengucur lebih deras, karena rasa tertekan dalam menjalankan puasa. Itulah, orang-orang yang merasakan lambungnya menjadi perih karena berpuasa. Penyakit maag-nya justru kambuh.

Sebaliknya, mereka yang melakukan puasa dengan rela hati dan ikhlas, akan memunculkan mekanisme hormonal yang baik bagi kesehatannya. Termasuk mekanisme asam lambung yang seimbang. Orang yang ikhlas, hatinya akan menjadi tenang dan tenteram. Tidak ada perasaan tertekan. Bahkan muncul optimisme yang menyebabkan munculnya kekuatan ekstra di dalam jiwanya. Semua itu menyebabkan ia mengalami proses penyehatan secara menyeluruh lewat puasanya.

Jadi, kenapa orang-orang yang berpuasa di kawasan yang panas seperti Afrika ini tetap bisa bertahan, bahkan memperoleh manfaat darinya? Faktor keikhlasan dan kerelaan itulah yang menjadi penyebab utamanya. Antisipasi kebutuhan badan secara wajar, yang dipadukan dengan kekuatan iman telah memunculkan mekanisme keseimbangan alamiah pada diri seseorang yang sedang berpuasa. Allah benar-benar Maha Pemurah kapada hamba-hamba yang mengikuti petunjuk-Nya..!

QS. Al Baqarah(2): 185
Bulan Ramadan, (adalah) bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang baik dan yang buruk). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah ia mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

oleh Agus Mustofa

Tidak ada komentar: