Kamis, 19 Agustus 2010

~ Suku Nubia, Nenek Moyang Mesir Kuno ~


EKSPEDISI SUNGAI NIL (4)


~ Suku Nubia, Nenek Moyang Mesir Kuno ~

oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus 2010 jam 14:12


Turun dari kawasan Abu Simbel di perbatasan Sudan, kami sampai di kota Aswan. Sebuah kota yang ramai, berjarak 280 km kearah utara. Kami menempuhnya naik mobil dalam waktu sekitar 3 jam, melewati bukit bebatuan dan padang pasir yang tandus, di sepanjang sungai Nil. Enam kilometer sebelum memasuki kota, kami mampir di bendungan Aswan. Sebuah bendungan yang sangat besar dimana rakyat Mesir banyak menggantungkan kebutuhan hidupnya.

Bendungan raksasa yang dibangun dengan bebatuan sebanyak 17 kali Piramida Giza itu menampung air dalam jumlah yang sangat besar. Yang kemudian dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik serta mengembangkan pertanian. Daya yang dihasilkan dari 12 turbin mencapai 2000 Megawatt, menyumbang 10 persen kebutuhan listrik masyarakat Mesir. Sedangkan, lahan pertaniannya, dengan adanya bendungan itu, menjadi bertambah luas 30 persen.

Yang menarik, kawasan ini juga tumbuh menjadi daerah wisata yang ramai. Bukan hanya oleh keindahan sungai Nil dan bendungan Aswannya, melainkan juga oleh begitu banyaknya situs-situs bersejarah suku Nubia disini. Suku asli berkulit hitam yang menurunkan masyarakat Mesir kuno.

''Bahasa dan budaya kami menjadi cikal bakal para Fir'aun dengan bahasa Hieroglyphnya,'' kata Ala'idin seorang Nubia yang perahunya kami sewa untuk menyusuri sungai Nil di kawasan Aswan. Ornamen-ornamen berbentuk piramida, obelisk, dan simbol-simbol lainnya sudah dikenal di suku ini sejak zaman sebelum kerajaan Mesir kuno berjaya.

Ala'idin tinggal di sebuah pulau paling besar dari sekian banyak pulau yang tersebar di tengah-tengah sungai Nil nan lebar. Namanya, Elephantine Island. Disana ada sekitar 3000 kepala keluarga yang terbagi dalam dua desa, yaitu Koti dan Siou.

''Dulu, suku Nubia menempati kawasan cukup luas yang sekarang tenggelam menjadi bendungan Aswan,'' papar lelaki ramah itu, saat saya berkunjung ke rumahnya. Ada sekitar 40 desa yang terendam oleh Danau Nasser yang terbentuk akibat dibangunnya bendungan raksasa. Karena danau yang terbentuk itu memang sangat luas, mencapai 550 km kali 35 km. Hampir separo panjang pulau Jawa. Kawasannya membentang dari perbatasan Sudan sampai ke kota Aswan.

Dan karena itu pula, kuil Abu Simbel harus dipindahkan ke bukit yang lebih tinggi 65 meter, dan mundur 210 meter dari tepi sungai Nil aslinya. Namun, puluhan desa dan berbagai situs peninggalan budaya Nubia lainnya tidak bisa diselamatkan. Beberapa kuil yang bisa diselamatkan direlokasi ke tempat yang lebih tinggi atau dihadiahkan kepada negara-negara sahabat yang ikut terlibat dalam proyek di tahun 1960-an itu. Diantaranya sebuah kuil utuh yang dihadiahkan kepada AS, yaitu kuil Dendur, yang kemudian direkonstruksi dan dipajang di Metropolitan Museum of Art, New York.

Sebagian besar suku Nubia dipindahkah kekawasan Kom Ombo di utara Aswan. Dan sebagiannya lagi masih tinggal dipulau-pulau sekitarnya yang tidak tenggelam. Termasuk keluarga Ala'idin yang sudah turun temurun sejak nenek moyangnya yang berasal dari kawasan Sudan. Lelaki berusia 39 tahun itu tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang asli Nubia. Dindingnya terbuat dari tanah liat, dan atapnya dari dahan dan dedaunan pohon kurma. Pintunya melengkung dan pendek khas suku Afrika.

Lelaki yang kelihatan jauh lebih tua dari umurnya itu, tinggal bersama istri dan dua anak lelakinya yang masih balita. Namanya Hassan dan Hussein. ''Saya mencintai keluarga Nabi Muhammad. Karena itu,anak-anak saya ini saya namai dengan nama cucu beliau, yaitu Hassan dan Hussein,'' tuturnya dalam bahasa Arab Amiyah. Lantas menambahkan, bahwa suku Nubia yang dulunya beragama Kristen Koptik, kini hampir seluruhnya beragama Islam.

~ Sewa Perahu Dapat Hadiah Lagu ~

taa rana
ay gee awwede nee
joukree inggoun man noug denee
zeena tounna kudrel
tou denggo mee gaharga
ak kash de nee...

dia berjanji akan datang kepadaku
dan ketika aku yang datang kepadanya
dia pergi menjauh
dia yang cantik mempesona
ternyata hanya mendatangkan masalah bagiku

Lagu klasik suku Nubia itu didendangkan Ala'idin sambil mengendalikan perahu layarnya. Dia terlihat sangat menikmatinya, sehingga kami menjadi ikut larut dalam iramanya yang mendayu-dayu khas 'cengkok' Afrika. Tanpa terasa, kami menepuk-nepukkan tangan secara berirama dan memukul-mukul kayu geladak perahu untuk mengiringinya. Benar-benar sore yang indah di tengah arus sungai Nil yang memesona.

Suku Nubia terkenal ramah dan baik hati. Mereka hidup berkelompok secara damai, dan tidak suka kekerasan. Solidaritasnya sangat tinggi, sebagaimana juga religiusitasnya. Mereka hampir tak pernah menolak ketika dimintai tolong. Bukan karena terpaksa, tetapi dengan tulus ikhlas dan senang hati. Tutur katanya halus, dengan nada yang hampir tidak pernah meledak-ledak seperti kebanyakan orang Mesir perkotaan.

Berkeliling di desa Koti, saya sempat mengunjungi rumah adat mereka dan shalat berjamaah di masjidnya yang cukup luas dan bersih. Warna-warni ornamennya khas Afrika berpadu dengan gaya Arabia. Cara beragamanya sangat moderat, dan terbuka terhadap perbedaan. Baik suku, bangsa, maupun agama.

Saya menangkap substansi beragama yang Islami di dalamnya, sebagaimana diajarkan dalam al Qur'an, 49:13, bahwa seluruh umat manusia ini sebenarnya satu saudara, tetapi diciptakan dalam berbagai suku bangsa dan budaya, agar saling kenal mengenal dan belajar satu sama lain. Orang yang terbaik adalah orang yang paling taat kepada Tuhannya, sambil memberikan manfaat sebanyak-banyaknya buat kehidupan umat manusia..!

Bersambung besok: Batu Granit Piramida Dikirim dari Aswan.

Tidak ada komentar: