Senin, 27 Desember 2010

~ SALAH KAPRAH MEMAHAMI SUNNATULLAH SEBAGAI ‘CARA KERJA’ ALLAH ~

Saya sangat mengapresiasi saran sejumlah kawan yang menginginkan perubahan pada istilah SALAH KAPRAH dalam tema diskusi kita kali ini. Tetapi, setelah saya pertimbangkan, saya merasa belum waktunya. Saya ingin menuntaskan dulu sejumlah pokok bahasan ‘Salah Kaprah’ sampai ‘titik’. Atau, setidak-tidaknya ‘titik koma’.

Saya sangat menyadari pemakaian istilah SALAH KAPRAH ini bisa disalah-kaprahi pula sebagai klaim kebenaran. Seakan-akan saya merasa benar sendiri. Dan menyalahkan kawan-kawan lain yang berbeda pendapat dengan saya. Tetapi, bukankah sudah saya jelaskan pada serial salah kaprah ke-10 tentang DISKUSI TASAWUF MODERN bahwa istilah ini sekedar dimaksudkan untuk membuka ‘ruang diskusi’ diantara kita selebar-lebarnya. Bukankah semakin ‘berbeda di awal’, diskusinya semakin gayeng?

Kalau, belum apa-apa, saya sudah mengambil ‘jarak’ yang ‘terlalu dekat’ dengan Anda semua, maka ‘ruang diskusi’ diantara kita akan menjadi demikian sempit. Tidak ada lagi dinamika dan dialektika yang menyebabkan kita ingin beradu argumentasi, dan memperjuangkan pendapat. Karena pendapat saya dan Anda ternyata sudah hampir sama sejak awal. Atau bahkan sudah tidak ada bedanya… :(

Bukankah, disini kita sedang belajar dan menuntut ilmu bareng-bareng? Dan, koridornya sudah kita sepakati adalah mengikuti QS. 16: 125. Yakni, bil hikmah’ (dengan substansi yang mendalam), mau’idhatul hasanah (sistematika pembelajaran yang baik), dan ’jadilhum billati hiya ahsan’ (berdiskusilah dengan lebih baik)…

Maka, ayolah kita hilangkan prasangka buruk. Supaya saya tidak perlu mengulang-ulang klarifikasi, bahwa pendapat yang saya sampaikan ini bukanlah ’kebenaran mutlak’ dalam memahami Islam. Tetapi ini adalah sekedar ’presentasi’ materi keislaman dalam sudut pandang ’saya’. Silakan Anda berbeda pendapat, atau bahkan menolak sama sekali. Tidak akan menjadi masalah. Saya bukan guru Anda, dan Anda pun bukan murid saya. Atau sebaliknya. Kita sekedar bersahabat untuk sama-sama mencari ’jalan pulang’, kepada Yang Terkasih, Ilahi Rabbi. Marilah kita belajar dewasa dalam hal ini. Supaya umat Islam juga segera dewasa. Dan ini kelak akan sangat bermanfaat buat perkembangan peradaban Islam ke depan.

Perbedaan diantara kita sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, ini adalah Sunnatullah. Hukum Allah, yang dikenal pula sebagai ’hukum alam’ oleh orang-orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Ya mereka menamakannya sebagai The Law of Nature, sedangkan kita menyebutnya sebagai The Law of God. Meskipun, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka menggunakan hukum Allah, yang terbentang sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ya, memang, sunnatullah bekerja tidak hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua makhluk-Nya di alam semesta.

Gravitasi Bumi adalah hukum alam, Kekekalan Energi adalah hukum alam, Elektromagnetik, Nuklir, ekosistem, sosial-politik, budaya, ekonomi, dan semua hukum di sekitar kita adalah hukum alam. Yang sekaligus hukum Tuhan. Semua berada di dalam Grand Law, yang bekerja berdasar hukum keseimbangan. Karena, ternyata alam semesta ini diciptakan oleh-Nya dengan menggunakan sistem keseimbangan dinamis.

Jika alam sekitar mengalami ketidak-seimbangan, ia akan dengan sendirinya ’mencari jalan’ untuk menyeimbangkan diri lagi. Gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, tsunami, angin badai, perampokan, pencurian, pembunuhan, penyakit, demonstrasi, bangkrutnya rezim ekonomi dan politik, dan semua peristiwa di sekitar kita, tak lebih adalah sebuah mekanisme keseimbangan dinamis itu. Sunnatullah, yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.

QS. Ar Rahman (55): 7
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Infithaar (82): 7
Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,

Ya, seluruh alam semesta bekerja menurut hukum keseimbangan itu. Barang siapa menabrak keseimbangan sistem maka ia bakal ‘terpelanting’ seiring dengan besarnya usaha yang dia lakukan. Dan barangsiapa ’menyatu’ dalam keseimbangan alam semesta, maka ia akan memperoleh ’harmoni’ yang besarnya berlipat kali dibandingkan usaha yang dia lakukan. Dalam istilah al Qur’an: siapa berbuat jahat akan kembali kepada dirinya, dan siapa berbuat baik juga akan kembali kepada dirinya. Itulah Sunnatullah. Dan sunnatullah tidak akan berubah sampai hancurnya alam semesta.

QS. Al Qashash (28): 84
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.

QS. Al Mukmin (40): 40
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat (menabrak keseimbangan), maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan (harmoni dalam keseimbangan) laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa perhitungan lagi.

QS. Al Fath (48): 23
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu kala, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Maka, agaknya kita perlu menyetel mind set alias pola pikir kita kembali tentang cara kerja alam, alias cara kerja Allah ini. Hukum alam tidak berubah sampai akhir zaman. Dengan hukum yang stabil inilah manusia bisa memahami mekanisme kerja alam, sekaligus Sang Pencipta.

Bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Bagaimana Allah menciptakan manusia. Bagaimana Allah menciptakan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan benda-benda seluruhnya. Bagaimana Allah menciptakan seluruh peristiwa kehidupan. Bagaimana pula Allah memelihara dan menjalankan keseimbangan antara semua komponen di dalamnya.  Lantas, bagaimana kelak akan menghancurkan serta melenyapkannya kembali.

Kadang-kadang ada diantara kita yang berpikir bahwa manusia telah mengintervensi sunnatullah? Atau, bahkan ada yang berpendapat bahwa sesuatu bisa terjadi di luar sunnatullah. Sesungguhnya, tidak ada satu pun kejadian bisa terjadi di luar sunnatullah. Selama peristiwa itu terjadi di dalam alam semesta, ia pasti berjalan mengikuti sunnatullah.

Apakah benda yang jatuh ke atas, misalnya, adalah sunnatullah? Tentu saja. Karena, ia menghasilkan gaya ’anti-gavitasi’. Apakah, laut terbelah adalah sunnatullah? Tentu saja, karena terjadi Tsunami misalnya. Apakah seseorang yang tak mempan dibakar itu juga sunnatullah? Tentu saja, karena tubuh manusia bisa menghasilkan ’jaket elektromagnetik’ yang bisa melindungi tubuhnya dari energi panasnya api. Apakah bayi tabung, kloning, stem sel, transplantasi organ, dan rekayasa genetika itu adalah sunnatullah? Tentu saja, karena mereka sama sekali tidak menciptakan apa pun, melainkan sekedar ’memanfaatkan’ cara kerja alam. Yakni, cara kerja Allah.

Kalau ada seorang pasien gagal ginjal, kemudian dicangkokkan ginjal orang lain kepadanya, maka itu sama sekali tidak bekerja di luar sunnatullah. Karena, dia cuma memanfaatkan mekanisme kerja jaringan di dalam tubuh manusia. Kalau ada sepasang suami isteri memutuskan ikut program bayi tabung, dan lantas dokternya mempertemukan sel telur dan spermanya di luar rahim, untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim si isteri, itu sama sekali bukan berarti dokternya menciptakan bayi dan menyaingi Tuhan. Dia tetap saja bekerja berdasar sunnatullah, yakni hukum biologi ’bab reproduksi’.

Bahkan, jika seorang ahli biomolekuler berhasil ’menciptakan manusia’ lewat teknologi kloning pun bukan berarti ia telah bekerja di luar sunnatullah. Dan lantas menjadi pesaing Allah. Karena sebenarnya, dia cuma memanfaatkan sunnatullah belaka. Karena, jika ia tidak memahami cara kerja Allah dalam rekayasa genetika itu, ia tidak akan berhasil melakukan kloning..! Walhasil, tidak ada satu peristiwa pun di alam semesta ini yang bisa keluar dari sunnatullah. Semuanya berada di dalam kendali Allah. Dan berjalan atas izin-Nya.

Orang yang berbuat jahat melakukan kejahatannya lewat sunnatullah. Sebaliknya, orang yang berbuat baik melakukan kebaikannya juga di dalam sunnatullah. Lantas, apakah itu berarti Allah mengizinkan orang berbuat jahat? Tentu saja. Kalau tidak diizinkan, pasti dia tidak bisa berbuat jahat. Tetapi, ingat, diizinkan bukan berarti diridhai-Nya. Siapa saja berbuat jahat, maka ia akan memperoleh balasan kejahatan. Dan siapa saja berbuat baik, akan memperoleh balasan atas kebaikannya. Semua tetap bekerja di dalam sunnatullah.

Apakah orang mencuri diizinkan Allah? Tentu saja. Jika tidak diizinkan, ia pasti tidak bisa mencuri. Tetapi, dari perbuatan jahatnya itu ia bakal menuai konsekuensi dari sunnatullah yang bekerja. Jadi begitulah, iblis bekerja berdasar sunnatullah. Sebagai aktor kejahatan, iblis telah diizinkan Allah untuk merayu manusia berbuat kejahatan. Tetapi ingat, sunnatullah akan bekerja untuk memberikan balasan yang setimpal kepadanya. Kapan? Bisa hari ini. Bisa besok. Bisa tahun depan. Bisa ketika kematian datang menjemputnya. Atau, kelak di alam akhirat sebagai balasan yang berlipat ganda besarnya.

Semakin lama tertunda balasannya, semakin besar konsekuensinya. Perhatikanlah ketika sekelompok masyarakat merusak hutan. Sesaat setelah hutan ditebangi, alam akan membalasnya dengan suhu udara yang kering dan panas. Jika ini tidak segera diatasi, misalnya dengan menanami kembali, maka tahun depan balasannya akan lebih besar. Mungkin akan terjadi kekeringan di daerah itu. Jika tidak diatasi lagi, maka tahun depannya akan terjadi tanah longsor. Kemudian waktu berikunya lagi banjir bandang, dan seterusnya dan seterusnya, semakin lama semakin besar. Orang yang berbuat dosa, dan tidak segera bertaubat kepada Allah, maka ia sedang menyiapkan balasan yang lebih besar di masa depannya..!

Maka, sungguh manusia bebas berbuat apa saja. Setiap diri akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Barangsiapa memahami sunnatullah dengan sempurna, dan mengikuti cara kerjanya, insya Allah dia bakal selamat di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa tidak belajar memahami sunnatullah, dan kemudian menabrak mekanisme keseimbangannya, maka sungguh ia sedang menyiapkan penderitaan yang akan menyengsarakannya ...!

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...

 aGUS MUSTOFA
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

Tidak ada komentar: