Rabu, 11 Januari 2012

~ KETIKA 'ORANG TAK BERTUHAN' MASIH BERTANYA TENTANG TUHAN ~



<a href="http://instaforex.com/id/forex_bonus.php?x=BIHQ">InstaForex</a>




Banyak  orang berbicara tentang eksistensi Tuhan dengan menggunakan sudut  pandang makhluk. Sehingga hasilnya bukan Tuhan, melainkan tetap makhluk.  Pemikiran filsafat tidak pernah menemukan Tuhan dalam arti yang  sesungguhnya, karena ia hanya berputar-putar dalam sudut pandang  kemanusiaan atau makhluk belaka.

Islam berbicara tentang  Tuhan dalam sudut pandang yang lebih holistik, keluar dari kemakhlukan.  Bahwa Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang tidak serupa dengan makhluk apa pun  (laisa kamitslihi syai-un). Sehingga setiap apa pun yang bisa kita  persepsi, bukanlah Tuhan. DIA berada dalam wilayah ‘ketidaktahuan’ kita  sebagai makhluk. Selama kita masih tahu tentang ‘dia’, maka itu bukanlah  DIA.

Yang kedua, Islam mengajarkan bahwa Tuhan adalah  Maha Besar (Allahu Akbar) mewadahi seluruh makhluk. Maka, selama masih  ada sesuatu yang mewadahi ‘tuhan’, dia itu bukanlah Tuhan. Karena itu,  Islam menolak tuhan-tuhan yang masih berada di dalam alam semesta. Tuhan  tidak terwadahi oleh apa pun termasuk alam semesta – ruang, waktu,  materi & energi. Justru alam semesta itulah yang berada di dalam  Tuhan. Bahkan juga, Tuhan tidak terwadahi oleh pikiran manusia ataupun  pancaindera. Karena kalau masih terwadahi, berarti ‘tuhan’ itu masih  kalah besar dengan pikiran dan kemampuan indera kita. Ini menyalahi  kaidah Allahu Akbar. Itu pasti bukan Tuhan.

Yang ketiga,  Tuhan sangat dekat dengan makhluk-Nya (aqrabu ilaihi min hablil warid).  Diistilahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher kita  sendiri. Tentu, antara kita dengan urat leher tidak berjarak, karena  urat leher itu sudah di dalam tubuh kita. Tetapi Allah menggambarkan  Dirinya sebagai lebih dekat daripada yang tidak ada jaraknya itu. Ini  sekaligus membantah orang-orang yang mempersepsi Tuhan sebagai sosok.

Yang  keempat, Tuhan mewadahi segala yang kontradiktif (huwal awwalu wal  akhiru, wazhahiru wal bathinu). Dulu dan nanti, ada di dalam Dirinya.  Kelihatan dan gaib berada di dalam Dirinya. Disana-disini-disitu juga  berada di dalam Dirinya.

Ringkas kata, kalau kita  berbicara tentang eksistensi ketuhanan di dalam islam, ibarat sedang  membicarakan ‘Semesta Pembicaraan’ dalam suatu himpunan angka. Bahwa  seluruh angka yang ada di dalam himpunan itu adalah bagian atau anggota  dari semesta pembicaraan. Berbicara apa pun tentang makhluk, adalah  berbicara tentang eksistensi ketuhanan itu sendiri. Karena sekecil apa  pun eksistensi makhluk, ia adalah bagian dari semesta pembicaraan yang  ‘tak berhingga’. Namun, tentu saja, semesta pembicaraan tidaklah sama  dengan apa pun yang ada di dalam himpunan angka.

Jadi,  Tuhan bukanlah sekedar pengisi kekosongan saat ‘tidak tahu’ terhadap  sesuatu, karena kita sedang berbicara totalitas eksistensi. Bahwa  ‘kekosongan’ adalah bagian dari eksistensi ketuhanan, itu adalah iya,  sebagaimana ‘keberadaan’ juga adalah bagian dari eksistensi ketuhanan.  Bahwa ‘ketidaktahuan’ adalah berbicara tentang eksistensi ketuhanan juga  iya, sebagaimana ‘ketahuan’ juga berbicara tentang eksistensi  ketuhanan.

Karena itu, untuk menjadi ‘tahu’ bahwa diri  kita ‘tidak tahu’, kita harus berproses menjadi tahu dulu. Disinilah  terjadi proses saintifik dari: tidak tahu, belum tahu, lebih tahu,  semakin tahu, tapi tidak akan pernah ‘benar-benar tahu’. Karena ternyata  di balik ‘ketahuan’ selalu muncul ‘ketidak tahuan’ yang baru. Disanalah  Tuhan sedang ‘memberi tahu’ tentang kesombongan manusia yang ‘sok  tahu’. Sains tidak pernah bisa menjawab segalanya, karena ia hanya  membuka tirai-tirai 'ketidak tahuan' manusia terhadap realitas yang  selalu memunculkan misteri baru di baliknya.

Lebih dari  itu semua, karena Tuhan adalah semesta pembicaraan, dan bukan anggota  himpunan, maka segala operasi bilangan tidak berlaku bagi-Nya.  Pertanyaan ‘dimana Tuhan’, ‘bagaimana Tuhan’, ‘sebelum & sesudahnya  ada Tuhan apa nggak’, dan seterusnya tidak akan pernah bisa  menggambarkan Tuhan dalam arti sebenarnya.

Untuk apa kita  bertanya ‘Tuhan Ada Dimana’ misalnya. Lha wong, ruang alam semesta ini  berada di dalam-Nya. Pertanyaan ‘dimana’ itu hanya berlaku untuk  makhluk, yang sekali waktu ada disini, disitu, atau disana. Karena Tuhan  sudah meliputi seluruh ruang alam semesta, maka dalam waktu yang  bersamaan DIA sudah berada disini, disitu, dan disana. Jadi buat apa  kita bertanya ‘DIA berada dimana?’ Pertanyaan semacam itu hanya berlaku  untuk makhluk yang terikat oleh dimensi ruang.

Sama juga  ketika kita bertanya tentang eksistensi Tuhan dengan pertanyaan ‘Apa,  Bagaimana, dan Kapan’. Tidak bermakna apa-apa, karena seluruh waktu,  materi, dan energi sudah berada di dalam eksistensi-Nya. DIA adalah DIA,  yang tidak pernah bisa kita persepsi, karena eksistensi-Nya berada di  luar jangkauan persepsi manusia. Tetapi, kehadiran-Nya bisa dirasakan  dengan hati yang jernih. Kecuali bagi orang-orang yang tidak punya hati…  ;)

Hmm, bagaimana mungkin kita bisa menceritakan bentuk  sebuah gedung yang megah, kalau kita berada di dalamnya dan tak ada  peluang untuk keluar darinya? Paling-paling kita hanya akan  berputar-putar menceritakan interiornya belaka. Itu pun hanya sejauh  kemampuan mata kita memandang.. :)

~ Salam Bertuhan kepada Tuhan yang Benar-Benar Tuhan ~

Oleh Agus M


<a href="http://instaforex.com/id/beauty_contest_instaforex.php?x=BIHQ">InstaForex</a>

Tidak ada komentar: