Kamis, 14 Oktober 2010

~ INSPIRASI NOBEL DI CAFE FISHAWI ~(9)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat








Belum lengkap rasanya, kalau berkunjung ke Kairo tanpa mampir ke bazar Khan El Khalili. Inilah pusat cindera mata sekaligus deretan cafe yang selalu dikunjungi oleh para turis mancanegara. Ibaratnya kota Yogyakarta, inilah Malioboronya. Atau, kalau di Bali, inilah kawasan Kuta. Belum disebut kesana jika belum mengunjunginya.

Sudah dua kali, saya berkunjung. Yang pertama, saat belum menetap di Mesir. Ketika itu saya datang bersama keluarga, sepulang umroh. Kami membeli oleh-oleh untuk dibawa ke Indonesia. Yang kedua, beberapa hari yang lalu, ketika mendampingi sejumlah jamaah umroh yang bareng saya mampir ke Mesir.

Demikian terkenalnya bazar Khan El Khalili, sehingga tercantum di dalam buku-buku tur, brosur, peta, dan berbagai petunjuk turisme yang dijadikan pegangan oleh para pelancong. Bahkan sampai dibuat ’replikanya’ di mall terbesar kota Kairo: City Stars. Setiap hari bazar ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Lokasinya, berdampingan dengan kampus Al Azhar dan masjid Al Hussein, yang berada di kawasan lama kota Kairo. Karena itu, suasananya sangat klasik dan penuh aroma sejarah.

Bazar Khan El Khalili tak lebih dari sebuah pasar tradisional, yang digelar di lorong-lorong bangunan apartemen kuno. Bagian atasnya digunakan sebagai tempat tinggal dan sejumlah penginapan. Sedangkan lorong-lorongnya menjadi pasar tradisional. Sebagian besar dagangan digelar di dalam kios dan toko. Tapi sebagiannya lagi meluber sampai ke gang-gang. Barang yang diperdagangkan sangat beragam, dan khas Mesir. Mulai dari pernak-pernik aksesoris Mesir kuno, seperti miniatur piramida, kuil, patung Firaun, pakaian tradisional, lukisan dan kaligrafi di kertas papirus, alat-alat musik tradisional, sampai perhiasan dan permata. Harganya murah, tapi harus pandai menawar.

Para tour guide selalu mengingatkan, agar para turis menawar dengan diskon 70 persen terlebih dulu dari harga yang ditawarkan, lantas merambat naik sampai sekitar separo harga. Malahan, sambil bercanda, Shrouk Farouk Mohamed, seorang pemandu wisata menyarankan agar tidak segan-segan menawar sampai 90 persen. Dan harus pandai-pandai beradu mulut. Atau beradu bahasa tarzan alias bahasa isyarat, jika ingin memperoleh harga terbaik.

Di lorong-lorong itu juga terdapat sejumlah café. Salah satunya adalah Café Fishawi. Inilah cafe yang sering dipakai nongkrong oleh Naguib Mahfouzh, salah seorang peraih penghargaan Nobel di bidang sastra. Warga negara Mesir yang menerima Nobel tahun 1988 itu memiliki puluhan karya yang legendaris. Diantaranya adalah yang berjudul Khan El Khalili, nama pasar tradisional itu. Dan, di Cafe Fishawi itulah dia menggali inspirasinya.

Saya menyempatkan diri untuk mampir ke cafe itu. Ingin merasakan suasana yang membuat Naguib bisa memperoleh inspirasi-inspirasi kelas dunia. Situasinya memang sangat khas Mesir: perpaduan antara tradisi dan modernitas. Dinding-dinding ruangannya dilapisi kayu ukir khas Mesir, dengan warna coklat gelap. Di beberapa bagiannya dipadu dengan kaca cermin ukuran besar, agar ruangannya terasa lapang. Karena, memang cafe itu tidak seberapa besar. Bahkan ruangan dalamnya sempit, hanya sekitar 2 meter x 10 meter,  sehingga sebagian besar kursinya harus ditata di jalanan ~ lorong bazar Khan El Khalili yang berupa gang.

Pengunjungnya sebagian besar adalah turis mancanegara. Dari Eropa, AS, Jepang, Rusia,  Australia dan negara-negara Asia. Maka, suasananya menjadi sangat khas dari berbagai bangsa. Demikian pula suara-suara teriakan bahasa slank Mesir bercampur dengan bahasa Inggris, Rusia, Jepang, dan lainnya. Namun, saya lihat pengunjung sangat menikmati. Padahal, menunya tidak banyak. Tidak ada minuman keras. Yang ada hanya Qahwa (kopi), Syai (teh), Ashir (jus buah), Maya (air mineral), dan sejumlah makanan kecil.

Selain itu, bagi yang ingin mencoba rokok khas Mesir bisa mencoba Shisa. Itu adalah sebentuk piala yang diisi dengan semacam tembakau beraroma buah-buahan atau wewangian lainnya. Cara mengisapnya, lewat selang panjang yang saluran asapnya dilewatkan air di dalam tabung yang berfungsi sebagai filter. Banyak bule yang saya lihat mencobanya. Sekali merokok, membayar antara 10 – 20 LE (pound Mesir), bergantung pada jenis ’tembakaunya’.

Saya sendiri dan isteri hanya pesan Ashir Mango (jus Mangga) seharga 8 LE dan Maya Barid (air mineral dingin) seharga 3 LE. Sedangkan kawan saya, Yovi pesan Syai Suhna (teh panas) seharga 6 LE. Dengan itu kami sudah bisa duduk berlama-lama sambil mengobrol dan menikmati suasana internasional yang mengasyikkan.

Rupanya suasana internasional itulah yang memunculkan inspirasi bagi Naguib. Disana berkumpul beragam karakter yang mengilhami novel-novelnya. Perpaduan antara tradisi kental a la Mesir dan komunitas internasional yang terbuka. Ia menulis lebih dari 30 buku novel dan 350 cerita pendek yang dimuat di berbagai media, selama 72 tahun masa produktifnya. Karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia juga menghasilkan sejumlah karya dan script film layar lebar. Dan pernah menjabat sebagai direktur utama lembaga perfilman serta konsultan Departemen Kebudayaan Mesir.

Sejumlah tulisannya sangat kontroversial. Diantaranya yang menyulut kekerasan adalah ‘Anak-anak Gebelawi’ (1959) yang dilarang beredar di Mesir, karena dianggap merendahkan agama-agama Ibrahim: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ia dianggap murtad dari Islam oleh sebagian kelompok radikal Mesir. Dan kemudian ditarget untuk dibunuh, saat keluar dari Cafe Fishawi, di kawasan Khan El Khalili.

Saat itu, 1994, Mahfouzh berusia 82 tahun. Untung, luka tusuk di lehernya tidak sampai mengantarkan pada kematiannya. Dia bisa diselamatkan. Dan sejak itu ia tidak berani lagi melakukan kebiasaan nongkrong di cafe. Ia memindahkan tempat mencari inspirasinya ke sebuah rumah yang dibelinya di pinggiran sungai Nil. Disanalah ia menghabiskan waktunya sampai tutup usia di tahun 2006, pada usia 94 tahun.

Namun, nama Naguib Mahfouzh tetap dikenang oleh masyarakat Mesir. Baik yang pro maupun yang kontra. Apalagi setelah menerima hadiah Nobel. Negara-negara sekitarnya yang dulu ikut mem-black list, lantas memberikan izin bagi peredaran buku-buku kontroversialnya. Mahfouzh menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Arab, karena dialah satu-satunya penerima Nobel Sastra dari kawasan ini.

Sementara itu, di kawasan Khan El Khalili nama Naguib Mahfouzh masih melekat, karena kesukaannya nongkrong disana. Sebagian turis berkunjung ke Cafe Fishawi untuk sekedar merasakan suasana yang menginspirasinya dalam menulis novel-novel yang legendaris. Termasuk saya. Siapa tahu, saya ketularan olehnya..!
 (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 22 Juli 2010)

Tidak ada komentar: