Senin, 18 Oktober 2010

~ PARA PERAIH NOBEL NEGERI FIRAUN ~(mesir 10)

 
Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Selain Naguib Mahfouzh ~ peraih Nobel bidang Sastra yang saya tulis di edisi lalu ~ Mesir memiliki tiga nama lagi yang berkelas hadiah Nobel. Mereka adalah Presiden Anwar Saddat, di bidang Perdamaian; Muhamed El Baradey, pejuang perlucutan senjata nuklir, dan Ahmed Hasan Zewail, peraih Nobel bidang Kimia. Masyarakat Mesir membanggakan mereka, meskipun sebagiannya menanggapi dengan kontroversi.

Apartemen saya tidak jauh dari monumen Anwar Saddat. Sehingga saya sering melewati, dan pernah mengunjunginya sekali. Pemerintah Mesir menghargai Anwar Saddat sebagai pendahulu yang sukses dalam mengantarkan Mesir ke percaturan politik internasional. Sehingga Presiden Husni Mubarak sebagai penggantinya merasa perlu menjadikan lokasi terbunuhnya Anwar Saddat oleh prajuritnya sendiri, 6 Oktober 1981, sebagai monumen.

Anwar Saddat yang memulai karir sebagai tentara menjadi Presiden ketiga Mesir, setelah Jenderal Muhammad Najib (1953-1954), dan Kolonel Gamal Abdul Nasser (1956-1970). Ia sendiri berpangkat Marshal ketika dilantik menjadi Presiden (1970-1981). Dan penggantinya adalah presiden Husni Mubarak (1981-sekarang) yang juga kepala Angkatan Udara Mesir. Karena itu tidak heran, suasana pemerintahan negeri Mesir terasa sangat militeristik. Dan, memberlakukan undang-undang darurat militer sampai kini, seperti zaman Orde Baru di Indonesia.

Anwar Saddat memperoleh hadiah Nobel dikarenakan langkahnya untuk menandatangani perjanjian damai Camp David antara Mesir dan Israel, 1978. Perjanjian itu sebenarnya ditentang oleh banyak negara Timur Tengah, karena menempatkan Israel sebagai kekuatan militer yang tidak ada tandingannya lagi di kawasan tersebut. Sebelum ditandatanganinya perjanjian itu, Mesir dan Syria menjadi kekuatan penyeimbang yang sangat diperhitungkan Israel dan AS. Tetapi dengan sangat taktis Israel dan AS merangkul Mesir, dengan mengembalikan semenanjung Sinai kepadanya. Sambil, menolak mengembalikan dataran tinggi Golan kepada Syria. Karena ’jasanya’ dalam perjanjian Camp David itulah Anwar Saddat dianugerahi hadiah Nobel di bidang perdamaian, pada tahun itu juga. Dan kebijakan itu diteruskan oleh penggantinya, presiden Husni Mubarak sampai kini.

Kalangan masyarakat Mesir sendiri terbelah dalam menyikapi keputusan Anwar Saddat. Apalagi tahun 1981, ia melakukan tindakan represif kepada kalangan radikal yang terus menentangnya. Langkahnya menuai kecaman dari seluruh dunia, dan dianggap melanggar HAM. Akhirnya, Anwar Saddat mati terbunuh, ditembak oleh tentaranya yang menjadi anggota pergerakan fundamentalis dalam sebuah parade militer. Kemudian ia digantikan oleh wakilnya sebagai presiden hingga kini, Husni Mubarak.

Peraih hadiah Nobel lainnya adalah Muhamed El Baradey. Dia memperolehnya pada tahun 2005, karena dianggap sebagai pejuang perlucutan senjata nuklir yang gigih. lulusan Fakultas Hukum Universitas Cairo dan Doktor hukum dari Universitas New York, AS itu memperoleh penghargaan di bidang perdamaian. Selama 2 periode El Baradey menjabat sebagai Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA ~ International Atomic Energy Agency) yang berpusat di Wina, Austria, (1997-2009).

Penganugerahan hadiah Nobel kepadanya juga disikapi secara terbelah oleh sejumlah kalangan di Mesir. Di satu sisi ia dipuji sebagai penggiat antinuklir yang gigih. Dia memperjuangkan dilucutinya senjata nuklir sebagai peralatan perang, serta mendorong penggunaannya untuk kepentingan damai. Diantaranya sebagai sumber energi bagi pembangkitan tenaga listrik.

Akan tetapi, di sisi lain ia dipersepsi sebagai kepanjangan tangan Barat untuk menekan perkembangan teknologi nuklir di wilayah Timur. Diantaranya adalah di Iran, dan Korea Utara. Penguasaan teknologi nuklir dianggap sebagai ancaman strategis bagi Barat. Bukan hanya ketika digunakan sebagai persenjataan militer, tetapi juga ketika dikuasai sebagai sumber energi masa depan. Ini terkait dengan ’perang penguasaan sumber energi’, seiring dengan semakin surutnya sumber energi fosil.

Harapannya, jika negara-negara selain blok Barat tidak menguasai energi masa depan ini, mereka akan sangat bergantung kepada Barat dalam bidang energi. Yakni, ketika minyak bumi, gas alam, dan batubara semakin bermasalah. Pilihan yang paling mungkin adalah energi nuklir. Sedangkan energi-energi terbarukan seperti matahari, angin, dan biomassa tidak akan mencukupi untuk diproduksi dalam skala besar.

Sumber energi nuklir milik negara-negara Barat sangatlah besar, terutama yang berasal dari hulu ledak senjata nuklir yang dicairkan. Dari konsentrasi Uranium yang diatas 90 persen, dicairkan menjadi sekitar 3 persen. Sungguh itu akan menjadi cadangan energi yang tiada habisnya bagi mereka. Semua itu disimpan untuk digunakan ketika dunia mengalami krisis energi fosil yang tak teratasi lagi.

Saat itulah negara-negara non Barat akan kelimpungan, termasuk Indonesia. Karena minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan belasan tahun saja. Sedangkan minyak dunia, hanya bertahan puluhan tahun. Gas alam, sebagai sumber energi yang relatif bersih juga masih bertahan puluhan tahun. Sisanya adalah batubara yang diperkirakan masih bertahan di atas seratus tahun tapi dengan kadar polusi yang mengkhawatirkan. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga air terkendala oleh lingkungan hidup yang semakin buruk, sehingga sumber-sumber air mengecil.

Maka, tidak heran Iran ngotot untuk menguasai teknologi bahan bakar nuklir. Mereka berpikir strategis ke masa depan. Tidak harus untuk militer. Meskipun, itu hanya tinggal selangkah saja. Sebagai gambaran, di seluruh dunia kini ada 441 reaktor nuklir. Dan sampai tahun 2020 akan bertambah 126 buah lagi. 40 buah diantaranya milik China yang sudah memutuskan nuklir sebagai sumber energi masa depan. Sebagian besarnya ada di negara-negara blok Barat. Jepang saja, 40 persen sumber listriknya berasal dari nuklir. Bahkan, di Prancis 78 persen sumber listriknya juga nuklir. Semua negara yang maju dan ingin maju, memilih nuklir sebagai alternatif sumber energi. Sayang, Indonesia termasuk negara yang tidak memilihnya. Entah karena alasan poilitik atau sekedar ketakutan disebabkan provokasi Barat. Saya khawatir kesadaran akan datang terlambat..!

Peraih Nobel yang ketiga adalah Ahmed Hasan Zewail. Berbeda dengan Anwar Saddat dan El Baradey yang sangat kental muatan politisnya, Zewail memperoleh hadiah Nobel karena jasanya yang sangat akademik. Ia menemukan teknik spektroskopi dengan menggunakan pancaran laser gelombang pendek yang disebut femtosecond laser. Teknik yang diketemukan Zewail diperkirakan akan mengubah wajah dunia keilmuan dan teknologi masa depan, khususnya di bidang Kimia dan industrinya. Kini, ia direkrut menjadi guru besar di California Institute of Technology, Pasadena, USA. Sayang juga, manfaatnya tidak dinikmati oleh Mesir yang menjadi negara kelahirannya..!
(agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 29 Juli 2010)

Tidak ada komentar: