Selasa, 19 Oktober 2010

~ PARA PENGHUNI KOTA MATI ~(mesir 11)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Ketika membuka peta kota Kairo, Anda akan melihat sebuah kawasan yang namanya aneh sekaligus menyeramkan: City of The Dead. Alias, Kota Mati. Kawasan itu membentang luas di sekitar benteng Shalahudin sepanjang beberapa kilometer. Sehingga bagi turis asing yang baru pertamakali membuka peta, blok itu sebenarnya sangat mencolok mata.

Namun demikian, tidak banyak turis yang datang mengunjungi Kota Mati. Diantaranya, karena kawasan itu kelihatan tidak terawat. Apalagi ketika malam tiba, kelihatan sangat gelap, kurang penerangan. Kecuali di jalan raya yang melintasi bagian luar kawasan, cukup terang dengan lampu-lampu jalannya. Begitu memasuki lorong-lorongnya, suasana sepi terasa langsung menyergap. Sambil, sesekali terlihat anjing berkeliaran.

Kota Mati adalah pekuburan massal. Yang karena demikian luasnya, sampai disebut sebagai ’kota’. Apalagi, bentuk kuburan di Kairo tidak seperti di Indonesia yang terbuka dan berbatu nisan. Di Kairo, sebagaimana pernah saya tulis dalam rubrik ini, petak pekuburannya berbentuk rumah. Pada umumnya sekitar 40-60 meter persegi. Meskipun sebagiannya ada yang berukuran besar, dengan kubah menjulang dan halaman ditumbuhi beberapa tanaman hias. Yang demikian ini biasanya milik keluarga kaya.

Yang menarik, sebagian besar rumah-rumah makam itu berpenghuni. Bukan dihuni oleh pemilik rumah, melainkan oleh penjaga makam. Seringkali mereka tinggal disana bersama keluarganya. Bahkan lantas beranak pinak, selama berpuluh tahun menempatinya. Salah satu rumah makam yang saya datangi adalah makam keluarga dekat Raja Farouq. Bangunannya megah, dengan kubah yang menjulang tinggi. Dan halamannya cukup luas. Total lahannya sekitar 1000 meter persegi.

Penunggunya adalah lelaki tua bernama Shadiq. Ia tinggal di sana sudah puluhan tahun, sejak zaman orangtuanya. Padahal usia Shadiq sudah lebih dari 70 tahun. Dan kini sudah beranak cucu pula. Maka, ia tidak mau disebut sebagai ’penunggu makam’ lagi. Ia menyebut keluarganya sebagai ’penghuni’ rumah makam. Selain memperoleh gaji dari pemilik rumah, shadiq dan anak cucunya bekerja serabutan, untuk mempertahankan kehidupan keluarga. Termasuk menerima pemberian orang-orang yang berkunjung dan berziarah ke rumah makam tersebut, ketika menjelang Ramadan.

Gedung megah yang didirikan dengan biaya jutaan USD itu berada di pinggiran jalan raya kawasan City of The Dead. Karena itu, tidak seberapa ’menyeramkan’. Lain halnya, dengan rumah-rumah makam yang masuk ke lorong dan gang-gang yang gelap. Saya sempat menelusurinya. Jalanannya lengang. Sesekali saja ada orang berseliweran. Atau kadang, seorang tua yang duduk sendirian di depan rumah makam yang ditinggalinya. Ia memandangi kami yang lewat sambil tersenyum melambaikan tangan. Saya menangkap rasa kesepian di sinar matanya.

Tak jauh dari situ, ada seorang wanita tua yang menunggui barang dagangannya. Ia jualan roti gandum khas Mesir, sambil menggendong cucunya. Kami berhenti untuk sekedar ngobrol dengannya tentang kawasan rumah pekuburan yang unik. Ia yang berjualan di depan tempat tinggalnya itu bernama Faizah. Punya anak empat, sebagiannya sudah berkeluarga. Suami Faizah telah meninggalkan mereka sejak 25 tahun yang lalu. Dan, kini mereka menyambung hidupnya dengan berjualan roti gandum. Sambil bekerja apa saja.

Mereka juga bawwab alias penjaga rumah makam. Tinggalnya di dalam makam, dan sehari-hari berdampingan dengan jenazah-jenazah yang dikuburkan disitu. Beberapa lama kami ngobrol, saya minta izin untuk masuk ke dalam ’rumahnya’ melihat-lihat isinya. Ternyata, rumah makam itu telah beralih fungsi menjadi rumah tangga. Saya bisa membandingkan, karena saya pernah masuk ke sebuah rumah makam yang masih baru dibangun milik keluarga Muhammad Dardeerie, beberapa waktu yang lalu.

Ruang gudang satu-satunya, yang biasanya digunakan untuk tempat peralatan, kini telah disulap menjadi ruang tidur. Lorong pintu masuk yang tidak seberapa luas, disulap menjadi ruang tamu. Dan halaman terbuka yang menjadi akses untuk masuk ruang bawah tanah dipetak-petak ala kadarnya untuk aktifitas masak, makan, dan mandi.

Ruang terbuka sisanya adalah akses untuk masuk ke ruang bawah tanah tempat penyimpanan jenazah. Karena, di Kairo pemakaman jenazah memang memanfaatkan ruang bawah tanah. Tidak dikubur dengan cara diurug, melainkan dibaringkan begitu saja di atas lantai sambil ditaburi tanah atau pasir, sebagai syarat bersentuhan dengan tanah. Posisinya dimiringkan ke arah kiblat, untuk yang muslim. Lantas, ditutup dengan pintu yang kedap agar baunya tidak menyebar keluar dari ruang bawah tanah itu.

Selain sebagai tradisi yang unik ~ semacam tradisi mumi keluarga Firaun ~ pemakaman di ruang bawah tanah ini memang menjadi solusi yang sesuai untuk kawasan padang pasir. Menggali tanah di kawasan seperti ini sangat sulit, dikarenakan dua hal. Yang pertama, kebanyakan tanahnya adalah bebatuan yang sangat keras. Sehingga akan menyulitkan para penggali kubur, jika setiap kali ada orang meninggal harus dibuatkan lubang galian seperti di Indonesia.

Yang kedua, jika tidak berupa batu, biasanya kawasannya adalah padang pasir. Tentu, sulit juga untuk membuat galian di padang pasir, karena longsor terus saat digali. Maka, yang paling rasional memang membuat ruang bawah tanah. Kemudian meletakkan jenazah-jenazah disana sampai membusuk. Ketika sudah membusuk, tulang-belulangnya dimasukkan ke dalam karung untuk dipindahkan. Dan ruang yang masih kosong bisa ditempati jenazah baru lainnya.

Rumah makam yang telah beralih fungsi seperti itu bertaburan di kawasan City of The Dead. Fungsi semula adalah untuk pekuburan, yang dijaga oleh para bawwab. Tetapi seiring dengan waktu, karena keluarga bawwab itu beranak pinak, rumah itu menjadi tempat tinggalnya selama puluhan tahun. Dan akhirnya, rumah-rumah makam itu menjadi rumah tangga yang di bagian dalamnya ada pekuburan.

Ribuan rumah makam telah beralih fungsi seperti itu, sehingga kawasan pekuburan pun menjadi kawasan pemukiman yang setengah hidup setengah mati, karena fasilitasnya yang sangat minim untuk dihuni sebagai pemukiman. Pasokan listrik dan air bersihnya minim, demikian pula perawatan kebersihan lingkungannya. Sehingga lorong-lorong Kota Mati itu, di malam hari menjadi seperti Kota Hantu yang menyeramkan. Sangat kontras dengan kawasan di sekitarnya yang berpendar terang-benderang dengan lampu yang berwarna-warni. Kairo malam hari memang sangat indah, dibandingkan siang hari yang berselimut debu di seluruh penjuru kotanya.

Kota Mati adalah wajah buram kota Kairo yang terwujud secara ’tidak sengaja’, disebabkan oleh munculnya ribuan keluarga penjaga kuburan yang beranak pinak disana. Anak-anak kecil bermain-main di atas kuburan adalah pemandangan biasa, karena kuburan itu memang telah menjadi rumah mereka. Dan ketika saya tanya, apakah mereka tidak takut hantu yang muncul dari dalam kuburan itu, mereka menjawab sambil tertawa: ’’Bukankah mereka telah mati, dan kita semua akan mengalaminya?’’ Rupanya, hantu Mesir tidak semenakutkan hantu Indonesia..! (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 8 Agustus 2010).

Tidak ada komentar: