Kamis, 28 Oktober 2010

~ BIKIN LOMBA TAKBIRAN UNTUK OBATI RINDU ~(mesir 12)





Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Berlebaran di Mesir membuat masyarakat Indonesia yang tinggal disini rindu tanah air. Betapa tidak, suasananya sangat jauh berbeda dengan Indonesia yang penuh kehangatan. Sejak malam lebaran sampai sesudah Shalat Id, suasananya ’dingin’ dan biasa-biasa saja. Seperti tidak sedang hari raya Idul Fitri. Sehingga, perkumpulan mahasiswa di Kairo pun membuat ’kehebohan’ sendiri.

Saya yang baru pertamakali berlebaran di Kairo, juga merasakan hal itu. Begitu Maghrib datang sebagai tanda selesainya bulan puasa, kita yang terbiasa mendengar suara takbiran dari masjid-masjid, surau, dan bahkan takbir keliling di jalan-jalan raya Indonesia, menjadi merasa kehilangan sesuatu.

Masjid-masjid dan jalanan lengang dari suara takbir ’kemenangan’ setelah sebulan berpuasa. Karena, umat Islam disini bertakbir hanya dengan suara pelan saat-saat seusai shalat fardu – Maghrib, Isya’ dan Subuh – dan tidak disalurkan ke pengeras suara untuk diperdengarkan ke masyarakat umum. Baru dikeraskan esoknya di tempat-tempat shalat Id, sebagai penanda lokasi shalat.

Malam Lebaran tahun lalu, mahasiswa Indonesia pernah ditegur oleh tetangganya karena menggelar takbiran di sekretariat kekeluargaan mahasiswa Indonesia, yang ada di lingkungan apartemen. Mereka dianggap membuat gaduh. Sang tetangga, yang juga beragama Islam tersebut, mendatangi para mahasiswa dan menanyakan apa yang sedang mereka lakukan itu. Para mahasiswa menjawab, itulah takbiran khas Indonesia.

’’Takbiran kok sambil diiringi tetabuhan? Kan mestinya dilakukan dalam suasana khusyuk?,’’ kata sang tetangga sambil bersungut-sungut meninggalkan mereka. Anak-anak mahasiswa pun tertawa berderai sambil terus melanjutkan takbirannya, tutur Yovi Saddan. Tetapi, tak lama kemudian mereka menghentikannya karena ’sungkan’ dengan para tetangga yang melihat itu sebagai keanehan.

Tahun ini, para mahasiswa benar-benar merasa rindu dengan suasana itu. Sehingga mereka menyalurkannya dalam bentuk lomba takbiran. Pelaksanaannya tentu bukan di kawasan permukiman melainkan di lapangan milik Universitas Al Azhar, yang biasa dipakai untuk kegiatan lomba-lomba, yaitu Mukhayyam Ad Daim. ’’Disini kami bebas bertakbir sepuas-puasnya,’’ papar Zacky Muttaqin, ketua panitia lomba Takbir yang didukung oleh berbagai organisasi kekeluargaan Indonesia. Untuk meramaikan suasana, para mahasiswa juga menggelar bazar lebaran dan lomba-lomba lainnya.

’’Ini benar-benar mengobati rindu kami kepada kampung halaman,’’ tutur Mahasiswa Ushuluddin, Al Azhar itu. Peserta yang memastikan ikut lomba Takbir diantaranya dari Kekeluargaan Pelajar dan Mahasiswa Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Selatan, dan Perwakilan NU Cabang Kairo.

Sayang, kata pemuda asal Bandung itu, di Kairo mereka sulit menemukan bedug. Sehingga tetabuhan yang mereka lakukan serasa kurang mantap. Karena itu mereka berusaha mencari tetabuhan pengganti yang bisa membuat suasana menjadi ’heboh’ tanpa mengurangi makna takbiran. Beberapa juri disiapkan untuk menilai setiap grup yang tampil. Mulai dari kostumnya, vokal dan kekompakannya, serta kreativitasnya.

Setiap grup membawa tetabuhan khas dari daerahnya. Ada yang membawa angklung, ada yang menggunakan rebana, dan ada yang berkreasi dengan tetabuhan yang mereka ciptakan sendiri, seperti pralon, galon, dan peralatan dapur, tapi ada juga yang saya lihat memanfaatkan peralatan full-Band.

Acara yang didukung oleh KBRI di Kairo ini memang menjadi salah satu acara perekat kebangsaan dan sekaligus pengobat rindu. Untuk meneguhkan rasa kecintaan kepada tanah air sekaligus rindu berlebaran itu mereka mengusung tema : ’’Satu Takbir, Satu Tanah Air’’. Dan lapangan di Kampus Al Azhar itu benar-benar menjadi ’sangat Indonesia’ sepanjang malam lebaran. Kerinduan pada kampung halaman beserta pernak-pernik budaya dan makanan khasnya pun menjadi sedikit terkurangi.

Esoknya, sesudah shalat Id mereka ’unjung-unjung’ kepada sahabat dan para pejabat KBRI, karena orang-orang Mesir memang tidak merayakan Idul Fitri dengan acara silaturahim seperti itu. Mereka hanya bepergian ke tempat-tempat wisata, taman-taman, dan menikmati perahu yang berlayar di sepanjang sungai Nil.
 (agusmustofa_63@yahoo.com ~ Dimuat di Grup Jawa Pos, 10 September 2010).

Tidak ada komentar: