Rabu, 13 Oktober 2010

~ Umroh dari Mesir, Paspor Dikirim ke Indonesia ~(mesir 8)



Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat



Baru kali ini saya berangkat umroh dari Mesir. Biasanya, saya berangkat dari Indonesia bersama jamaah. Hal ini terpaksa saya lakukan, karena sejak beberapa bulan lalu saya memang tinggal di Mesir untuk setahun ke depan.

Ternyata agak rumit juga urusannya. Semula, saya kira, dengan tinggal di Mesir kegiatan umroh saya akan lebih mudah. Sebab, jaraknya lebih pendek – hanya sekitar 2 jam perjalanan dari Kairo menuju Jeddah. Juga, selisih waktunya hanya 1 jam. Dengan demikian adaptasinya tidak seperti dari Indonesia yang memiliki selisih waktu 4 jam, dan menempuh perjalanan sekitar 10 jam dengan pesawat.

Masalahnya bukan pada soal adaptasi waktu dan lamanya perjalanan. Melainkan, administrasi dan dokumen. Untuk bisa berumroh dan berhaji dari Mesir, seorang warga asing harus sudah tinggal di Mesir selama setahun. Dan, memperoleh izin tinggal alias visa selama 6 bulan selanjutnya. Walhasil, saya tidak memenuhi syarat itu. Dan terancam tidak bisa berangkat umroh Juli 2010.

Padahal, jamaah yang mendaftar umroh di Indonesia sudah puluhan orang. Dan mereka sudah membayar biaya pendaftaran untuk umroh khusus bersama saya. Memang, setiap tahun saya menyelenggarakan umroh 2-3 kali. Saya sempat was-was, bagaimana jadinya jamaah, kalau saya tidak bisa berangkat kali ini.

Maka saya pun mencari informasi ke kawan-kawan yang sering umroh dari Mesir. Ternyata ada dua cara yang biasa dilakukan. Yang pertama, menggunakan jasa travel setempat. Tentu saja dengan ’biaya’ cukup mahal, karena harus ’menyiasati’ waktu-tinggal saya yang belum setahun di Mesir. Dan yang kedua, mengurus visa di Indonesia, dengan cara mengirim paspor saya dan istri ke Jakarta. Meskipun yang ini sangat riskan, karena paspor bisa ketlingsut di tengah jalan. Sebenarnya, ada biro travel yang bisa ’mengatur’ urusan visa saya di Mesir, asal saya mau membayar biayanya, sekaligus uang jaminan 1000 USD, untuk kembali ke Mesir.

Mengenai ’uang jaminan’ ini memang ada ceritanya. Ternyata banyak orang yang berangkat umroh dari Mesir, tidak kembali lagi ke Mesir. Kebanyakan mereka mencari kerja di Saudi. Jadi, umrohnya itu sekedar untuk ’jembatan’ bisa masuk ke Saudi. Sejak trik semacam itu ketahuan pemerintah Saudi, dibuatlah peraturan tentang ’uang jaminan’. Setiap jamaah harus menaruh ’uang jaminan’ bahwa mereka tidak akan menetap di Saudi, dan akan kembali ke Mesir dalam kurun yang telah diberikan izinnya.

Selain oleh para TKI, umroh sering dijadikan ’jembatan’ juga oleh mahasiswa Indonesia di Mesir untuk menetap sementara di Arab Saudi. Biasanya, mereka berangkat umroh di bulan Ramadan. Dan kemudian menetap di Saudi sampai datangnya musim Haji. Untuk apa? Selain melaksanakan Haji, ternyata untuk bekerja selama musim haji.

’’Mereka yang berangkat umroh di bulan Ramadan, hampir bisa dipastikan bertujuan untuk menetap sampai musim haji,’’ kata seorang mahasiswa S-2 Al Azhar yang sering mengoordinasikan jamaah umroh dari kalangan mahasiswa. Padahal, menetap sampai musim Haji itu adalah ilegal. Jika ketahuan pasti ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi. Kemudian didenda 3000 riyal atau 1000 USD. Karena itu, travel-travel mengenakan uang jaminan sebesar 1000 USD, sebab merekalah yang bakal menanggung dendanya, jika jamaahnya ’menghilang’.

Bagi mahasiswa Indonesia di Mesir, bisa pergi haji adalah kebanggaan sekaligus berkah. Karena relatif mudah bagi mereka untuk memperoleh rezeki disana. Sebagai mutowwifalias pemandu haji, atau pun ’tukang dorong’ kursi roda bagi jamaah yang sudah berusia lanjut. ’’Sekali dorong dapat 100 USD. Jadi lumayanlah buat kantong mahasiswa. Selama musim haji, kadang bisa mencapai 20 dorongan. Dan, mendapat 2000 USD atau setara Rp 20 juta. Benar-benar tukang becak termahal di dunia,’’ katanya lantas tertawa.

Dengan memperoleh rezeki sebesar itu, mahasiswa Indonesia banyak yang tergiur. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib ke Saudia, sambil beribadah. ’’Biaya haji saya tertutup oleh hasil kerja disana mas,’’ tuturnya lagi. Memang, kalau dihitung-hitung, tertutupilah ’biaya haji’-nya. Mereka berhaji dengan biaya umroh Ramadan, yaitu sekitar 600 USD jika menggunakan kapal laut. Atau, 800 USD jika menggunakan pesawat. Untuk menghemat biaya, banyak diantara mereka yang menggunakan kapal laut. Lantas, membayar biaya jaminan 1000 USD. Jadi masih bisa tersisa 400 USD. Atau lebih, jika mereka bekerja keras selama musim haji.

Tetapi, yang celaka adalah penyelenggara umroh mahasiswa. Disebabkan oleh banyaknya jamaah yang menetap sampai musim Haji, ia tidak lagi dipercaya oleh Kedutaan Saudi saat pengurusan visa. Sudah dua tahun ini ia menemui masalah. Visa sulit keluar. Bahkan tahun lalu, dari seratus visa yang diajukan hanya keluar 7 buah. Sehingga banyak jamaah yang tidak bisa berangkat. Padahal sudah membayar uang muka sebesar 200 USD untuk pengurusan dokumen. Dan, sudah hampir setahun ini uang administrasi itu tetap ditahan oleh pihak travel. Alasannya bermacam-macam.

Yang lebih parah, 2 tahun sebelumnya. Si penyelenggara umroh mahasiswa itu harus kehilangan sertifikat rumah yang dijadikan jaminan. Ceritanya, karena seringnya mahasiswa Indonesia ’menghilang sampai musim haji’ selama di Saudia, maka pihak kedutaan Arab di Indonesia meminta jaminan kepada penyelenggara. Ia menjaminkan sertifikat rumahnya. Ia berani melakukannya, karena sekitar 100 mahasiswa yang berangkat itu berjanji akan kembali ke Mesir tepat waktu. Ternyata tidak. Sekitar 60 persen jamaah yang berangkat ’menghilang’ sampai musim haji. Maka, kena dendalah si penyelenggara umroh. Ia harus membayar denda sekitar 60.000 USD alias Rp 600 juta. Sertifikat rumah pun melayang.

Sejak itu, umrah Ramadan dari Mesir bermasalah. Meskipun visa diurus di Indonesia. Biasanya, paspor jamaah dikirim lewat kurir ke Indonesia, lantas dimintakan visa disana. Setelah selesai, dikirim balik ke Mesir. Mengirimnya tidak bisa pakai ekspedisi, karena pasti nyantol di imigrasi bandara. Harus lewat kurir. Atau, dititipkan orang Indonesia yang sedang pulang kampung. Itupun, pengurusan di kedutaan Arab Saudi di Indonesia tidak mudah, disebabkan pengalaman buruk yang terjadi sebelumnya.

Begitu juga visa umroh saya kali ini. Saya harus mengirimkan paspor saya ke Indonesia. Tidak bisa pakai ekspedisi, harus lewat kurir atau kenalan yang pulang kampung. Selama beberapa hari saya tidak menemukan solusinya. Tapi, syukurlah ternyata ada yang pulang ke Indonesia persis di tanggal-tanggal saya membutuhkan pengurusan visa. Beliau adalah yang terhormat Dubes RI, Bapak A.M. Fachir. Tentu saja saya tidak menitipkan kepada beliau, melainkan kepada staf beliau, yang kebetulan adalah sabahat saya. Alhamdulillah, Allah memang Maha Pemurah...!
Agus Mustofa
 (agusmustofa_63@yahoo.com) ~ (Dimuat di Grup Jawa Pos, 15 Juli 2010)

Tidak ada komentar: