Jumat, 08 Oktober 2010

~ Nyaris Terkubur Bersama Fir’aun ~(mesir 4)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat

Peninggalan Firaun bertebaran di negeri Mesir. Salah satunya adalah kuburan Firaun yang ada di Kairo, yaitu Piramid. Sebenarnya, jenazahnya sudah tidak lagi disana, tersimpan di Museum Kairo dalam bentuk mumi, tetapi kuburan kosong itu masih menyimpan begitu banyak misteri yang menyeramkan. Konon banyak pintu dan lorong misterius di dalamnya, atau senjata-senjata rahasia yang mematikan bagi siapa saja yang memasukinya. Diantara tujuannya, agar kuburan itu tidak terjamah manusia.

Di Kairo, piramid terletak di kawasan Giza, pinggiran ibukota Mesir. Pucuk-pucuknya menjulang ke langit dan sudah tampak dari jalanan di pusat kota. Mengalahkan gedung-gedung tinggi pencakar langit yang menyesaki kawasan padat. Maka, untuk menuju ke kuburan penguasa Mesir Kuno itu hanya butuh waktu 20-30 menit saja.

Ada tiga Piramid yang berjejer secara diagonal. Yang paling besar piramid Cheops, berada di tengah. Diapit dua piramid yang lebih kecil Chevren, dan lebih kecil lagi Menkaura. Saya sempat masuk ke salah satu piramid bersama anak-anak saya. Bukan yang paling besar, melainkan yang nomer dua. Isteri saya tidak berani masuk ke dalamnya, karena jalan masuknya memang agak ’mengerikan’. Seperti lubang sumur yang curam dan gelap. Kedalamannya sekitar 30 m. Dengan arah lubang tidak tegak lurus ke bawah, melainkan turun dengan kemiringan sekitar 45 derajat.

Dari mulut gua yang curam itu, remang-remang kelihatan lantai dasar yang jauh disana. Di ujung anak tangga yang berjumlah ratusan langkah. Kalau setiap anak tangga berjarak 25 cm, maka ada minimal 120 anak tangga untuk sampai ke lantai dasarnya, yang entah akan mengantarkan kita kemana.

Yang lebih mengerikan, selain curam dan remang-remang, lubang masuknya tidak cukup dilalui dengan cara berdiri. Tinggi atap gua itu cuma sekitar 1 meter. Jadi, harus dengan cara membungkuk. Bisa Anda bayangkan, berjalan membungkuk sejauh 120 anak tangga, dan menurun curam dengan kemiringan 45 derajat. Saya awalnya ragu. Tetapi, didorong rasa ingin tahu, dan rayuan anak-anak, akhirnya saya pun membulatkan tekat untuk merasakan petualangan masuk ke kuburan Fir’aun.

Saya turun duluan. Di belakang, menyusul anak-anak saya Citra, Oka, dan Nindya. Berjalan membungkuk sambil menuruni anak tangga yang curam ternyata tidak mudah. Saya, berjalan sambil berpegangan pagar besi di kanan kiri tangga. Yang agak menyulitkan, cahaya di depan saya menjadi remang-remang karena tertutup oleh badan kami berempat. Ya, cahaya dari mulut gua di belakang kami terhalang.

Maka, saya turun dengan hati-hati, karena takut terpeleset. Jika itu terjadi, sungguh berbahaya, karena saya bisa menggelinding seperti batu yang jatuh dari lereng bukit. Setiap anak tangga saya jejaki dengan cermat. Di setiap bibir anak tangga itu dipasangi batang besi, untuk menahan agar anak tangga yang sudah berusia ribuan tahun tidak longsor. Maka, saya bisa menjejak dengan cukup kuat.

Semakin ke bawah, suasananya semakin seram dan misterius. Tetapi anak-anak di belakang saya berusaha mencairkannya dengan bercanda, sambil sesekali mengingatkan saya agar hati-hati dalam melangkah. Saya merasakan keringat dingin mulai meleleh di kening. Dan ada sesuatu yang menghimpit di dada. Nafas mulai memburu. Saya agak heran, kenapa bisa demikian.

Meskipun medannya agak berat dan curam, mestinya saya tidak perlu ngos-ngosan seperti itu. Karena saya tidak sedang mendaki. Saya sedang turun, dengan langkah yang hati-hati. Dan mestinya tidak mengeluarkan tenaga terlalu besar, kecuali tercekam oleh suasana yang agak misterius saja. Tetapi, saya merasakan keringat semakin banyak meleleh, dan nafas semakin berat.

Tak berapa lama, kami sampai di dasar gua. Atau, lebih tepat saya sebut ’sumur miring’ itu. Ruangannya agak lapang, kira-kira berukuran 3 x 3 meter. Disini saya bisa berdiri tegak, sambil melepas lelah karena selama sekitar 15 menit harus berjalan sambil membungkuk. Cahaya matahari pun agak terang menyinari dasar gua. Yang pertama karena mata kami sudah beradaptasi; dan yang kedua karena tidak terhalang lagi oleh badan kami seperti saat di tangga tadi.

Tapi, saya masih merasa aneh, karena keringat dingin terus meleleh di kening dan leher. Dan, dada saya semakin terasa sesak. Berat bernafas. Badan juga agak loyo. Ouhh, tiba-tiba saya menjerit tertahan. Saya baru sadar, ini adalah efek kekurangan oksigen. Ya, saya kekurangan oksigen, disebabkan turun ke dalam ‘sumur miring’ sedalam 30 meter. Jantung saya berdegup kencang, karena tahu bahaya yang sedang mengancam. Kami bisa mati lemas di dalam sini. Terkubur bersama Firaun...!

Saya menjadi bimbang untuk meneruskan petualangan. Saya melihat di depan saya ada anak tangga lagi yang bisa mengantarkan kami masuk ke wilayah lebih dalam. Ruangannya lebih gelap. Tapi, saya dengar ada suara bergema-gema, cukup ramai.

Tiba-tiba, semburat belasan anak muda menuruni tangga, keluar dari ruangan gelap itu. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak dan terengah-engah melewati ’ruangan transit’ dimana kami berada. Mereka berebut merayapi anak tangga yang baru saja saya turuni. Dan bergegas naik ke mulut gua, 30 meter ke atas sana. Rupanya, mereka adalah turis-turis lokal dari luar kota Kairo. Mereka tidak kuat berlama-lama di ruangan bagian dalam itu. Kondisinya sama, kurang oksigen! Apalagi dimasuki oleh belasan orang, benar-benar berebut oksigen diantara sesama mereka.

Udara di sekitar ’ruangan transit’ pun terasa lebih panas. Badan saya semakin berkeringat. Nafas pun serasa lebih sesak, berebut udara dengan anak-anak yang semburat menaiki tangga. Saya menoleh kepada anak-anak saya. Dan bertanya, apakah mereka mau melanjutkan petualangan ke bagian yang lebih dalam...

Mereka menampakkan wajah penasaran. Sebaliknya, saya khawatir. Saya maklum, anak-anak muda memiliki rasa keingintahuan yang lebih besar dibandingkan orang tuanya. Maka, saya katakan ke mereka, bahwa mereka boleh masuk lebih ke dalam, tetapi dengan catatan: harus segera kembali jika oksigennya semakin tipis. Tandanya, bernafas terasa semakin berat.

Maka, Citra, Oka dan Nindya pun bergerak menapaki tangga naik di depannya, menuju ruangan bagian dalam. Sedangkan saya, memutuskan untuk kembali ke atas, ke mulut gua. Belum jauh saya memanjat ’tangga miring’ sambil membungkuk, saya mendengar anak-anak saya berteriak-teriak memanggil saya. Terengah-engah mereka berebut memanjat tangga menyusul saya, untuk kembali ke mulut gua.

Perjalanan memanjat tangga sepanjang 30 meter itu terasa sangat lama dan mencekam. Kami seperti sedang diburu ’hantu Firaun’ yang mengancam jiwa. Dalam keadaan kurang oksigen, kami harus memanjat tangga yang curam seperti itu. Benar-benar sangat riskan. Bisa-bisa kami kolaps di tengah perjalanan, karena oksigen yang kami butuhkan untuk menghasilkan energi tidak mencukupi..!

Tapi syukurlah, akhirnya kami sampai juga di mulut gua. Dengan kaki lemas, hampir tak kuat melangkah. Meskipun, kami sangat lega dan bahagia karena bisa bernafas lagi dengan leluasa di udara terbuka. Alhamdulillaahh...

Di dalam hati kami menggerutu: ’’huhh, ada-ada saja Fir’aun itu. Sudah lama mati, masih juga menyusahkan orang-orang yang ingin ’menziarahinya’...!’’
 Agus Mustofa
(agusmustofa_63@yahoo.com)

Tidak ada komentar: