Kamis, 04 November 2010

~ DI SHARM EL SHEIKH, JUDI PUN LEGAL ~(mesir (16)


 
Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat

Ada sebuah kota di negara Mesir yang sangat terkenal di kalangan wisatawan Barat, yaitu Sharm el Sheikh. Kota pantai yang sangat indah ini berada di tepi Laut Merah, di pertemuan dua lautan yang menjorok ke Teluk Aqabah dan Teluk Suez. Posisinya berada di ujung paling selatan Gurun Sinai. Sebagian besar wisatawan menyebut kota ini sebagai kota pantai paling indah di kawasan Timur Tengah.

Sharm el Sheik memiliki karakteristik dan andalan wisata yang berbeda dengan kota-kota lain di Mesir. Sebagai contoh, Kairo adalah kota wisata yang menonjolkan miniatur masyarakat Mesir yang agamis dan liberal. Luxor, kota yang kaya dengan peninggalan zaman Firaun. Aswan, identik dengan bendungan raksasa serta suku Nubianya. Dan, Alexandria yang kental dengan nuansa Romawinya.

Sharm el Sheik adalah kota yang penataannya terasa sangat Barat. Memasuki kawasan ini, rasanya tidak sedang berada di negara Mesir. Melainkan, seperti berada di kawasan Eropa modern. Kotanya memanjang di tepian Laut Merah yang indah, menghadap ke laut lepas. Di beberapa bagiannya, terdapat teluk-teluk kecil yang dijadikan sebagai pusat aktifitas wisata laut, seperti snorkeling dandiving, dimana kapal-kapal laut yang membawa wisatawan berseliweran.

Memasuki pintu gerbang kota, kita sudah langsung berhadapan dengan hamparan laut Merah. Karena aktifitas wisatanya berada di laut, maka tak heran di sepanjang pantainya berdiri hotel-hotel bertaraf internasional, bintang empat dan lima. Mereka menyediakan payung-payung pantai berwarna-warni yang berkelompok-kelompok, disertai kolam renang air tawar di sekitarnya.

Kotanya bersih dan tertata rapi. Tak sulit untuk menebak, bahwa kota ini didesain dan dibangun dari nol. Sebuah kota yang sama sekali baru, bukan dibangun dengan cara ’tambal sulam’ mempertahankan kota lamanya. Memang, Sharm el Sheikh yang dulunya hanya sebuah kota nelayan kecil dan terpencil itu, kini berubah 180 derajat menjadi kota internasional kebanggaan Presiden Husni Mubarak. Tidak heran, Presiden yang sudah berkuasa hampir 30 tahun itu sering menggelar pertemuan internasionalnya disini. Termasuk beberapa konferensi internasional di bidang perdamaian. Sehingga kota ini pun memperoleh julukanThe City of Peace.

Saya sempat menyusurinya bulan lalu, yaitu saat melakukan Ekspedisi Sungai Nil. Sebagaimana kota-kota Mesir lainnya, udara di kota ini juga panas. Berkisar antara 30 – 40 derajat di musim panas. Meskipun, kelembabannya relatif lebih tinggi karena berada di tepi pantai. Kini, menjelang musim dingin, udaranya turun berkisar antara 20 – 30 derajat celsius.

Sharm el Sheikh lebih hidup di malam hari. Terutama di musim panas. Sebenarnya, ini memang menjadi kelaziman di negara Mesir. Disebabkan siang yang panas – hawa padang pasir – kebanyakan masyarakatnya lebih suka beraktifitas di malam hari. Namun, di Sharm el Sheik, kehidupan malam harinya ‘lebih seru’ dibandingkan dengan kota-kota Mesir lainnya.

Budaya Barat sangat terasa di kota ini. Menjelang matahari tenggelam, di jalanan kota sudah berseliweran para wisatawan mancanegara dengan pakaian bebasnya. Sangat dominan turis-turis bule. Kebanyakan mereka datang dari Eropa. Saya merasakan suasananya mirip Kuta, Bali, meskipun lebih tertib. Mulai dari lobi hotel, rumah makan, cafe, pusat jajanan, pusat perbelanjaan, bazar pakaian dan pernak-pernik, Bar & Pubs, Spa, Night Club, sampai tempat-tempat perjudian, ramai turis-turis mancanegara.

Di lobi hotel tempat saya menginap pun, suasananya sudah ramai. Di beberapa pojok sofa saya melihat sejumlah turis main kartu. Tidak pakai taruhan uang, memang. Mungkin sekedar bermain-main, atau berlatih menghadapi judi yang sebenarnya di tempat-tempat legal yang sudah disediakan. Ada belasan Casino di sepanjang jalanan utama, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Diantara yang memasang billboard besar adalah: Casino Royale, Casino Sharm, dan Sinai Grand Casino.

Uniknya, di deretan jalan utama itu juga saya melihat ada masjid besar dengan halaman yang luas. Cuma, pada malam-malam Ramadan itu saya tidak melihat jamaah yang berduyun-duyun. Kalah dengan para turis yang berseliweran menuju ke tempat-tempat hiburan. Salah satu sebabnya, populasi kota Sharm el Sheik memang tidak banyak. Yang dominan adalah para pendatang dan wisatawan.

Penduduk lamanya dikonsentrasikan di sebuah kawasan yang disebut sebagai Old Town, yang agak jauh dari kawasan pantai. Sedangkan pusat keramaiannya berada di kawasan sekitar pantai yang didominasi oleh para pendatang dan turis. Penduduk Mesir di kawasan ini, kebanyakan pendatang yang mengadu nasib sebagai pekerja. Ada yang bekerja di bidang perhotelan, biro perjalanan, rumah makan, kafe, dan lain sebagainya.

Menariknya, sebagian besar pekerja itu membawa budaya Mesirnya yang sangat religius. Demikian pula sejumlah petugas keamanannya. Di kendaraan, mereka menyetel radio atau CD pengajian al Qur’an. Dan kemana-mana membawa al Quran saku. Saya melihat Ahmad, seorang pegawai hotel yang sedang istirahat, menyempatkan membaca al Quran. Sebuah pemandangan yang sebenarnya lazim di kota Kairo.

’’Bagaimana Anda bisa memadukan antara religiusitas dan kebebasan yang ada di kota ini?,’’ tanya saya kepadanya. Dia menjawab, bahwa semua itu terserah kepada pribadi masing-masing. ’’Tetapi, kalau ada kesempatan bekerja di tempat lain yang lebih Islami, saya akan memilih pindah dari sini,’’ ungkapnya pelan. (agusmustofa_63@yahoo.com/ Dimuat di Grup Jawa Pos, 3 Oktober 2010).

Tidak ada komentar: