Senin, 29 November 2010

~ SALAH KAPRAH MEMAHAMI ‘SERIAL DISKUSI TASAWUF MODERN’ ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Ada kesalahkaprahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Apalagi ketika kita memahaminya dengan ‘hati jernih’ dan ‘tidak apriori’. Yaitu, persepsi terhadap buku-buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang saya terbitkan selama ini.

Sejak awal terbitnya, buku-buku tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk menampilkan ‘kebenaran baru’. Karena, bagi saya memang tidak ada kebenaran lama maupun kebenaran baru. Kebenaran adalah ’kebenaran’, yang mutlak milik Allah semata. Yang kita lakukan sebagai manusia hanyalah mencoba melihat dan memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang yang berbeda dan terbatas, sebagai makhluk. Karena itu, kebenaran setiap kita adalah bersifat relatif, sesuai dengan background masing-masing.

Dalam prakteknya, memang ’kebenaran mutlak’ selalu menjadi ’kebenaranku’, ’kebenaranmu’, dan ’kebenarannya’. Dan semua itu, sama-sama bukan kebenaran yang sesungguhnya. Melainkan sekedar ’tafsir kebenaran’ belaka. Jadi, kadang terasa lucu juga jika kita memperdebatkan dan memperebutkan yang namanya ’kebenaran’. Lha wong, itu bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Sehingga dengan tegas, Allah mengatakan di dalam Kitab-Nya bahwa yang tahu tentang kebenaran itu hanya Allah sendiri. Bukan kita. Dialah nanti yang akan menilai apakah seseorang itu ’tidak benar’, ’kurang benar’, ’agak benar’, ’lebih benar’, dan ’semakin benar’. Tetapi tidak akan pernah ’benar’ dengan sebenar-benarnya.

Lantas, kenapa saya menulis buku-buku ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’ yang seakan-akan ingin memperbarui ’kebenaran lama’ menjadi ’kebenaran baru’? Mestinya, pembaca sudah bisa menyimpulkan dari sub judul yang selalu saya cantumkan di halaman sampul setiap buku saya itu. Bahwa ini sekedar ’ajakan berdiskusi’. Karenanya, saya namakan: ’Serial Diskusi Tasawuf Modern’. Bukan’Serial Kebenaran Tasawuf Modern’, misalnya.

Tapi, kenapa saya mesti mengajak umat Islam untuk berdiskusi? Jawabnya sederhana saja: karena saya ingin menyambut perintah Allah, mengajak manusia menuju jalan Tuhan dengan cara yang dianjurkan-Nya. Sebagaimana ayat yang sering saya kutip, berikut ini.

QS. An Nahl (16): 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yangbaik dan berdiskusilah dengan mereka secara baik. Sesungguhnya TuhanmuDialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Saya tidak bosan-bosannya menyampaikan ayat ini di berbagai forum, termasuk disini. Bahwa setiap kita diberi tugas oleh Allah untuk menyampaikan ’kebenaran mutlak’ milik Allah itu kepada orang lain. Padahal, sudah pasti kita tidak memiliki ’kepahaman mutlak’ sebagaimana dimaksudkan Allah? Ternyata tiidak apa-apa, cukup sejauh yang kita pahami saja. Dan, Allah tetap memerintahkan kepada kita untuk melakukan syiar, mengajak manusia ke jalan Tuhan.

Lantas bagaimana caranya? Ikuti saja kalimat dalam ayat tersebut, yakni harus menggunakan hikmah (substansi alias kedalaman makna beragama) dan yang kedua harus menggunakan mau’idhatul hasanah (metode dan sistematika pengajaran yang baik). Tapi, bukankah sebaik apa pun metodenya dan sedalam apa pun hikmah yang terkandung di dalamnya, setiap kita memiliki perbedaan dalam memahami? Lantas bagaimana kalau terjadi kondisi semacam itu? Ya, ikuti saja kalimat berikutnya dalam ayat di atas: ... ’’berdiskusilah dengan cara yang baik...’’

Nah, buku-buku saya adalah sebuah upaya untuk mengimplementasikan kandungan ayat tersebut. Sebuah ajakan diskusi dengan penuh hikmah danmau’idhatul khasanah. Tapi, lantas dipersepsi sebagai menyalahkan orang lain dan membenarkan diri sendiri. Itulah yang saya maksudkan terjadi kesalahkaprahan pada sebagian orang dalam mempersepsi buku-buku saya.

Bagi yang membaca buku-buku saya dengan hati jernih dan tidak apriori, insya Allah akan melihat bahwa apa yang saya sampaikan itu sekedar ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’saya’. Dan sangat mungkin berbeda dengan ’kebenaran relatif’ dalam sudut pandang ’Anda’ dan ’mereka’. Karena sesungguhnya, saya sangat tahu diri bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah semata.

Pengungkapan pemikiran yang berbeda itu memang saya sengaja, kenapa? Tentu saja supaya terjadi diskusi, sebagaimana sub judul yang selalu saya tuliskan di sampul buku-buku itu. Kalau saya menampilkan pemikiran yang sama dengan kebanyakan pembaca, tentu tidak akan terjadi diskusi. Tidak mengena pada maksud diterbitkannya buku tersebut.

Lantas, kenapa harus dalam bentuk diskusi? [ Syukurlah saya tidak menyampaikan dalam bentuk doktrin... :) ]. Karena Allah memerintahkan kepada kita, agar umat Islam dalam peroses beragamanya tidak cuma ikut-ikutan. Harus paham benar apa yang dilakukan. Bertabayyun. Ingatlah, di akhirat nanti, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban masing-masing. Kenapa melakukan ini, kenapa melakukan itu, dan apa alasannya. Lha, kalau cuma ikut-ikutan tentu kita akan ’gelagapan’ ketika Hari Pengadilan itu datang.

Lantas, kenapa saya menyampaikan semua itu dengan gaya ’seakan-akan’ saya sudah benar? Ah, masa iya, saat mengajak Anda berdiskusi, saya harus sambil mengatakan bahwa pendapat saya ini ’tidak benar’. Tentu, Anda tidak tertarik untuk berdiskusi. Lha wong, saya sebagai ’penyampai materi’ sudah tidak yakin terhadap apa yang saya kemukakan. Namun sebaliknya, bukankah saya juga tidak pernah mengatakan bahwa pendapat saya ini adalah sebuah ’kebenaran’. Dan bukankah di setiap akhir ulasan, saya selalu mengatakan ’Allahu a’lam bishshawab – hanya Allah yang lebih tahu kebenarannya’...?

Maka, sesungguhnya yang terjadi hanya sekedar sensitivitas dalam berdiskusi. Karena argumentasi yang saya sampaikan seakan-akan menabrak pendapat seseorang, atau sekelompok orang. Padahal yang saya maksudkan adalah ajakan untuk berdiskusi dengan sudut pandang berbeda, terbuka, dan egaliter alias sederajat, dalam memahami ilmu-ilmu Allah. Tentu, agar ajakan diskusi ini memperoleh sambutan dari khalayak, saya harus pintar-pintar ’menarik perhatian’. Tanpa harus mengorbankan misi ataupun melakukan klaim-klaim kebenaran.

Namun yang lebih penting dari itu semua, apa yang saya lakukan ini sebenarnya didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat mendalam terhadap SDM umat Islam yang stagnan alias ’jalan di tempat’. Umat yang didesain Allah sebagai umat teladan ini, ternyata sekarang tidak lagi menjadi teladan dalam kancah peradaban dunia sebagaimana zaman keemasan Islam. Bukan hanya 10 – 20 tahun, melainkan sudah 700 tahun terakhir. Di bidang politik kita tidak teladan. Di bidang ekonomi kita tidak teladan. Di bidang militer kita tidak teladan. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kita juga tidak teladan. Sebutlah seluruh bidang-bidang dalam kehidupan kita, apakah umat Islam teladan..?! Bahkan di rumah tangga, pergaulan antar-tetangga, bermasyarakat dan bernegara, kita tidak menjadi teladan.

Ada apa ini dengan umat Islam? Umat yang didesain sebagai umat teladan koktidak menjadi teladan? Pasti ada yang ’salah kaprah’ dengan kita dalam beragama. Kalau cara beragama kita benar, tidak akan begini jadinya umat Islam. Pasti akan menjadi teladan di segala bidang. Ekonomi, politik, militer, sains & teknologi, kesehatan dan kedokteran, pendidikan, dan lain sebagainya. Itulah yang disebut Allah sebagai tatanan masyarakat yang ’rahmatan lil alamin’ dimana umat Islam sebagai khalifah alias panutannya.

Maka, saya ingin mengajak semua umat Islam untuk menata kembali cara beragamanya. Dimulai dari mana? Tentu saja dari ’pola pikir’ dulu. Mind-set yang Qur’ani. Kalau pola pikirnya saja sudah keliru, tentu semua tindakan berikutnya akan keliru. Dan tidak menghasilkan efek yang dijanjikan oleh al Qur’an. Buku-buku yang saya tulis dan forum-forum yang saya hadiri, adalah media untuk mengurai benang kusut yang belum kelihatan ujung pangkalnya itu. Saya kira, kita harus 'banyak bicara' untuk mengurai masalahnya terlebih dahulu. Kita harus berdiskusi tentang segala hal terkait dengan agama dan prakteknya dalam masyarakat. Dan, setelah itu baru melakukan action secara lebih tertata. Kalau dalam pembicaraan aja kita belum bisa mendeteksi masalahnya, maka sudah pastiaction kita tidak akan terarah.

Memang, barangkali akan butuh waktu panjang, lintas generasi, untuk mengatasi masalah kemunduran SDM ini. Tetapi, tidak bisa tidak, harus kita mulai sekarang. Masalah yang paling utama, adalah membuka pola pikir umat Islam seluas-luasnya. Membiasakan diri menerima kebenaran darimana pun itu datangnya. Karena kebenaran yang kita miliki ternyata berbeda dengan kebenaran yang orang lain miliki. Sikap membuka diri terhadap segala kebenaran yang bersumber dari semangat Al Qur’an ini akan menghasilkan arus informasi dan alternatif penyelesaian masalah yang sangat berguna bagi umat Islam ke masa depan. Bukan malah menutup diri terhadap dinamika realitas yang terus bergerak.

Umat Islam selalu ketinggalan kereta. Karena tidak terbiasa berada bersama dengan kenyataan yang melingkupinya. Dan lebih senang terkungkung pada masa lalunya. Padahal Islam dan Al Qur’an diwariskan kepada kita semua untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah keumatan yang semakin kompleks ke masa depan. Maka, kita harus menggali terus mutiara-mutiara hikmah yang ada di dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya di dalam kitab ajaib inilah solusi yang akan mengentas umat Islam untuk menjadi umat teladan kembali di pentas dunia...

QS. Ali Imran (3): 110
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh kepada yang ma`ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman hanya kepada Allah semata ...

 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~

Tidak ada komentar: