Kamis, 25 November 2010

~ SALAH KAPRAH TENTANG ‘SANTUN & MENGULTUSKAN' ~

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Ternyata masih ada yang bingung membedakan antara makna kata ‘santun’ dan ‘mengultuskan’. Sehingga, memunculkan 'tanda tanya' di hati saya: apakah diskusi ini bisa diteruskan ke bagian yang ‘lebih dalam’? Karena, ternyata ada setumpuk persepsi yang ‘tidak klop’. Khawatir hanya akan menjadi debat yangkontraproduktif.

Allah memuji-muji Rasulullah sebagai orang yang santun dan berbudi pekerti tinggi. Jangan-jangan, nanti dipersepsi sebagai: Allah mengultuskan Rasul-Nya. Apalagi sampai memuji-mujinya di dalam Kitab Suci yang dibaca oleh miliaran manusia. Masih ditambahkan pula, memerintahkan kepada malaikat dan kita semua untuk bershalawat kepada beliau. Bisa-bisa dipersepsi dengan salah kaprah nantinya...

QS. Al Qalam (68): 4
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.

QS. Al Ahzab (33): 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Nabi Ibrahim pun dipuji-puji oleh Allah karena kesantunannnya. Dengan sangat terbuka Allah menyebut beliau sebagai manusia yang sangat santun dan berhati lembut. Bahkan kepada orang tuanya yang jelas-jelas musyrik pun. Jangan-jangan pula, nabi Ibrahim disimpulkan mengultuskan orang tuanya yang musyrik.

QS. At Taubah (9): 114
Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu memusuhi Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

QS. Huud (11): 75
Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah.

Lebih jauh, Al Qur’an mengajari kita semua untuk menjadi orang yang santun. Apalagi kepada sesama saudara muslim. Sehingga dalam ayat berikut ini Allah menunjukkan kepada kita, para sahabat Rasul saling mendoakan, sambil memohon untuk tidak dihinggapi rasa dengki kepada para pendahulunya. Dan doa itu disampaikan kepada Allah, Dzat Yang Maha Penyantun.

QS. Al Hasyr (59): 10
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkankedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Maka, ajaran dari manakah yang diambil oleh seseorang yang mengaku dirinya muslim tetapi ungkapannya setiap saat adalah kata-kata kasar, sumpah serapah, caci maki, dan penghinaan kepada sesama saudara dalam agama? Masih layakkah ia mengaku dirinya pengikut nabi Muhammad yang demikian santun dan berbudi pekerti tinggi?

Juga masih layakkah dia mengaku dirinya Islam, sebagaimana Nabi Ibrahim yang dijadikan contoh keteladanan tertinggi dalam agama ini, sehingga puncak rukun Islam adalah meneladani dan menapaktilasi keluarga beliau yang santun dan lemah lembut, dengan cara berhaji?

Juga masih pantaskah ia menyebut dirinya sebagai hamba Allah yang Maha Penyantun, dan selalu mengajarkan kesantunan kepada siapa saja? Jangan-jangan, ia hanya pura-pura saja jadi orang Islam. Untuk menebarkan bibit-bibit kebencian di dalam agama Islam yang sempurna ini? Yang kasih sayang menjadi landasan utama di dalamnya...

QS. Ali Imran (3): 108
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi temankepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Sungguh, santun berbeda jauh dengan mengultuskan. Mengultuskan adalah ’mendewa-dewakan’. Sedangkan santun adalah menghargai dengan tulus dan penuh kasih sayang. Jauh dari kebencian. Mengultuskan adalah menjadikan seseorang itu sebagai ’bagian’ dari unsur ketuhanan. Dan ini, tentu saja sangat 'tidak disukai' oleh Allah. Jangankan mengultuskan orang seperti saya. Mengultuskan Rasul saja dilarang oleh Allah. Padahal, jelas-jelas beliau adalah utusan Allah. Sebagaimana terjadi pada nabi Isa, yang kemudian dikoreksi lewat turunnya Rasul berikutnya, Nabi Muhammad SAW. Beliau pun mengatakan, bahwa dirinya adalah manusia biasa.

QS. AL Kahfi (18): 110
Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (biasa) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Sehingga dalam kesempatan lain beliau diperintahkan oleh Allah untuk menegaskan bahwa beliau tidak menguasai perbendaharaan ciptaan Allah, atau pun hal-hal gaib, dan bukan pula seorang malaikat. Sepenuhnya manusia biasa. Sebuah statemen yang mengombinasikan ‘kesantunan’ dan ‘ketinggian budi pekerti’, sekaligus tidak mengultuskan sang Nabi.

QS. Al An’aam (6): 50
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikutikecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Maka, segala yang saya lakukan adalah sekedar meniru Rasulullah dalam menyampaikan wahyu-Nya kepada sesama pencari jalan menuju Allah. Meminjam istilah ayat di atas: Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan (al Qur’an)...

Karena itu, Anda akan ‘dengan jelas’ melihat dan membaca dalam buku-buku saya: isinya penuh dengan ayat-ayat Qur’an. Bukan karya ilmiah dari ulama-ulama terdahulu yang justru dikultuskan oleh para pengikutnya sampai kini. Yang kitab-kitabnya disetarakan dengan al Qur’an. Yang ijtihadnyadianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tidak boleh diutak-atik lagi. Yang kalau dikritisi sedikit saja, para pengikutnya ’mencak-mencak’ sambil mengucapkan sumpah serapah dan caci maki...(?!)

Oh, siapa mengultuskan siapa...?!
Kenapa saya yang dituding jadi sumber pengultusan? Sementara, saya justru sedang mengritisi pengultusan yang berlebih-lebihan kepada para ulama - yang saya yakin - mereka tidak ingin dikultuskan. Meminjam istilah ayat di atas:Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu tidak (bisa) berpikir?

Saya justru sedang mengajak kawan-kawan muslim, sesama ’pencari jalan’ untuk hanya ‘mengultuskan’ Allah saja, dan menghormati setinggi-tingginya Rasulullah dengan bershalawat kepada manusia agung yang berbudi sangat mulia itu. Dan, menyejajarkan saudara-saudara sesama muslim - siapa pun dia - selain Allah dan Rasul-Nya. Kok, malah saya dituduh jadi sumber pengultusan?

Lha wong buku-buku saya selalu saya labeli: Serial Diskusi Tasawuf Modern. Tanpa ada pretensi sedikit pun untuk mengklaim sebuah kebenaran. Melainkan sekedar ajakan untuk berdiskusi secara egaliter – sejajar – dan penuh prasangka baik untuk mencari petunjuk Allah.

Saya juga mencoba ‘mengeliminasi’ dominasi ‘guru’ - dalam pengertian konvensional - yang selama beratus tahun dijadikan sebagai ‘panutan mutlak’, dan menjadi sumber pengultusan. Yang kalau tidak diikuti, sang guru lantas mengatakan: siapa saja belajar agama tanpa guru, maka gurunya adalah setan... (?) Sehingga saya sendiri pun tidak mau dan ‘risih’ disebut sebagai guru, ustad, kiai, syech, dan lain sebagainya. Saya cuma ingin meniru Rasulullah, yang tidak pernah mengangkat dirinya sebagai guru. Beliau menyebut umat Islam yang hidup sezaman dengan beliau sebagai sahabat. Anda tidak akan pernah mendengar Rasulullah Muhammad punya murid. Dan statemen seperti ini, bisa Anda baca dalam banyak buku-buku yang telah saya terbitkan.

Saya juga mencoba membongkar ‘paradigma-paradigma’ lama yang mengatakan bahwa belajar agama harus ‘manut’ saja kepada mereka yang disebut sebagai ‘’kiai, syech, habib, ustad, ustadah, guru, prof, doktor, atau apa pun sebutannya’’. Saya sedang ‘berjuang’ untuk membongkar pengultusan, lha kokmalah dapat ‘hadiah’ predikat sumber pengultusan... :(

Sampai-sampai, ada kawan yang bilang begini: ‘’makanya pak Agus, jangan merebut lahan tetangga...! Nanti banyak yang marah lho...’’

Oh, demi Allah saya melakukan semua ini hanya karena Allah semata...
 Agus Mustofa
Wallahu a’lam bishshawab.
~ salam ~

Tidak ada komentar: