Rabu, 10 November 2010

~ MASJID TUTUP SEUSAI SHALAT FARDHU ~(mesir 17)

Ebook islam, sholat sempurna, cara sholat nabi, sholat berjamaah di masjid, sholat khusyu, web islam, jadwal waktu sholat, artikel islami, makna bacaan dan doa solat


Tidak gampang mencari masjid yang masih buka, setelah shalat fardu usai. Hal itu saya alami selama tinggal di Mesir. Terutama, ketika melakukan perjalanan jauh antar kota seperti bulan lalu. Memang, kebanyakan masjid di Mesir ditutup seusai shalat lima waktu. Kecuali masjid-masjid tertentu yang digunakan aktifitas selain shalat.

Maka, kalau ingin shalat di masjid harus tepat waktu. Yakni, sesuai jadual shalat lima waktu. Karena, pintu masjid benar-benar dikunci, sehingga kita tidak bisa masuk. Diantara masjid yang masih buka seusai shalat, adalah masjid-masjid yang memiliki tempat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Atau, masjid-masjid yang dimiliki oleh perorangan.

Maka, bagi orang yang sedang melakukan perjalanan jauh ada tiga pilihan untuk melaksanakan kewajiban shalat. Yang pertama, shalat di masjid sesuai jadual shalat. Yang kedua, dijamak alias dikerjakan bersamaan di salah satu waktu shalat. Misalnya, Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam satu waktu. Atau, mencari tempat selain masjid di perjalanan. Misalnya, musala di pusat perbelanjaan, yang itu juga tidak selalu ada. Sedangkan tempat pengisian BBM (bahan bakar minyak) di Mesir tidak menyediakan musala seperti di Indonesia.

Walhasil, selama perjalanan panjang menyusuri sungai Nil ribuan kilometer saya sering menjamak shalat. Sesekali, berhenti di masjid ketika tepat waktu jadual shalat. Sesekali shalat di dalam mobil, karena melintasi jalanan padang pasir yang kering kerontang. Dan, pernah sekali, shalat di atas unta ketika sedang naik ke gunung Sinai di waktu Subuh. Untunglah, agama Islam memberikan kemudahan-kemudahan seperti itu dalam menjalankan ibadah.

Masjid dipersepsi sebagai tempat untuk shalat berjamaah. Karena itu, jika tidak shalat berjamaah sesuai waktunya, tidak perlu melakukan di masjid. Bisa di mushala, di rumah, di tempat kerja, atau dimana pun saat itu kita berada. Maka, tidak jarang saya menemukan seseorang shalat di teras toko, di trotoar, di kebun, atau di ruang duduk sebuah pusat perbelanjaan. Orang Mesir melakukan hal seperti itu sebagai sesuatu yang biasa saja.

Di Mesir, sebagian besar masjid dikelola oleh pemerintah, di bawah Kementerian Wakaf alias departemen Agama. Jumlahnya sekitar 24 ribu di seantero negeri, atau sekitar 4000 buah di Kairo. Takmir dan mubalighnya digaji oleh pemerintah. Demikian pula biaya perawatan masjid. Karena itu, pengelolaan masjid tidak bergantung kepada infak jamaah. Ada atau tidak ada infak, operasional masjid bisa berjalan. Saya tidak menemukan adanya kotak amal yang bisa ’berjalan’ seperti di masjid-masjid Indonesia. Infak seperti itu hanya diberikan kepada penjaga penitipan sandal dan sepatu, serta penjaga tempat wudu. Atau, jika ada acara-acara khusus untuk acara bersama ataupun acara sosial yang membutuhkan infak jamaah.

Bagi jamaah yang ingin menyalurkan rezekinya untuk beramal, mereka biasanya mengadakan acara pembagian zakat dan infak di masjid dengan mengundang kaum dhuafa atau pun pelajar dan mahasiswa. Biasanya, satu orang memperoleh santunan sebesar 100 LE atau sekitar Rp 170 ribu. Cara pembagiannya menggunakan kupon dan antrean, kadang sampai 2-3 hari. Banyak yang melakukan pembagian semacam itu di bulan Ramadan.

Program-program masjid di Mesir sepenuhnya dikendalikan pemerintah dan dibiayai oleh pemerintah. Memang, ada nilai lebih kurangnya. Kelebihannya, operasional masjid setiap harinya stabil, tidak bergantung infak jamaah. Dan jamaah yang datang tidak merasa ’dibebani’ oleh pembiayaan operasional masjid, kecuali acara-acara tertentu saja. Tetapi nilai kurangnya, ’suara masjid’ menjadi sangat pro pemerintah.

Mubalighnya biasanya hanya satu orang, yang sekaligus bertugas sebagai pembina masjid. Ia adalah pegawai pemerintah. Karena itu, di kebanyakan masjid Mesir, penceramah atau pun khatib shalat Jumatnya adalah orang itu saja. Tidak seperti di Indonesia yang berganti-ganti. Kebanyakan mereka dipilih dari lulusan al Azhar dan diangkat sebagai pegawai tetap. Bahkan setingkat Mufti dan Grand Sheikh pun diangkat oleh pemerintah.

Banyak diantara mubaligh  pembina masjid itu adalah hafizh al Quran. Tanda para penghafal al Qur’an itu terdapat pada penutup kepala. Mereka mengenakan semacam kopiah haji, tetapi bagian atasnya berwarna merah. Sedangkan baju gamisnya berwarna abu-abu.

Maka, citra sebuah masjid sangat identik dengan mubalighnya. Ada yang suka berbicara tentang fikih, karena mubalighnya lulusan fakultas Syariah. Ada yang suka membahas filsafat dan tasawuf, karena mubalighnya alumni Ushuluddin. Dan ada juga yang suka berceramah tentang jihad. Tetapi, sangat jarang yang ’berani’ berbicara politik. Apalagi politik dalam negeri. Mungkin, karena mereka adalah pegawai pemerintah.

’’Ada yang pernah bersuara agak keras tentang kebijakan pemerintah Mesir terkait dengan serangan Israel ke Gaza beberapa waktu yang lalu, maka gaji mubalighnya ditunda selama beberapa bulan,’’ ungkap salah seorang takmir Masjid Indonesia Kairo, yang tidak mau disebut namanya. (agusmustofa_63@yahoo.com/ Dimuat Jawa Pos, 9 Oktober 2010).

Tidak ada komentar: